Mengapa Musa mengizinkan perceraian?

Hari Minggu ke-27 dalam Masa Biasa [B]
6 Oktober 2024
Markus 10:2-16

Orang-orang Farisi sekali lagi menguji Yesus. Kali ini, mereka mengajukan pertanyaan tentang perceraian. Namun, Yesus melakukan sesuatu yang tidak terduga. Dia ‘mengubah’ hukum perceraian. Mengapa Yesus “menghapus” hukum perceraian?

Yesus menjawab para Farisi dengan menanyakan dasar dari hukum perceraian ini. Orang-orang Farisi menunjuk Musa sebagai sumber hukum karena dia mengizinkan perceraian selama sang suami memberikan surat cerai kepada istri (lihat Ul. 24:1). Kemudian, Yesus membalas, “Karena kekerasan hatimu, maka Ia menuliskan perintah ini kepadamu. Tetapi sejak awal penciptaan, ‘Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan’.” (Mar 10:5-6) Yesus menegaskan bahwa perceraian bukanlah kehendak Allah, tetapi Musa terpaksa mengizinkannya karena “kekerasan hati” bangsa Israel. Namun, apakah kekerasan hati ini?

Kita perlu tahu bahwa bangsa Israel pada zaman Musa sangat terbiasa dengan praktik-praktik hidup Mesir kuno, termasuk perceraian. Di Mesir kuno, pernikahan pada dasarnya adalah acara pribadi, bukan agama. Pasangan itu sendiri yang mengatur pernikahan. Mereka akan menceraikan pasangan mereka jika mereka tidak lagi melihat pernikahan mereka menguntungkan. Tapi perceraian bukanlah satu-satunya solusi. Jika seorang pria merasa istri pertamanya tidak lagi menarik, ia dapat menikahi istri yang lain tanpa harus menceraikan istri pertamanya.

Ketika Tuhan membebaskan bangsa Israel dari Mesir, Tuhan memperkenalkan kembali kehendak-Nya bahwa pernikahan itu kudus dan merupakan bagian dari rencana Tuhan bagi pria dan wanita. Pernikahan tidak hanya didorong oleh faktor biologis atau budaya, tetapi juga didirikan oleh Allah sendiri. Oleh karena itu, Allah menetapkan bahwa pernikahan haruslah monogami dan tidak dapat diceraikan. Namun, memperkenalkan rencana awal Allah kepada bangsa Israel kuno terbukti sulit. Memang, bangsa Israel secara fisik telah dibebaskan dari Mesir, tetapi mentalitas mereka tetap diperbudak. Orang Israel mungkin dapat menerima pernikahan monogami, tetapi menambahkan persyaratan lain, yaitu ‘tidak boleh bercerai’ terlalu berlebihan dan terlalu cepat bagi mereka. Musa tahu bahwa jika dipaksakan, bangsa Israel akan melakukan lebih banyak pemberontakan, dan bahkan para pria akan membunuh istri mereka untuk menyingkirkan mereka. Oleh karena itu, Musa mentolerir perceraian selama hak-hak para wanita terlindungi melalui surat cerai.

Sekarang, ratusan tahun setelah Musa, Tuhan menganggap bahwa waktunya telah tiba untuk membawa kehendak asli Tuhan ke dalam pernikahan. Oleh karena itu, Yesus datang bukan untuk ‘mengubah’ hukum perceraian, melainkan untuk memperkenalkan kembali kehendak Allah yang asli. Selain itu, Yesus juga membawa Roh Kudus untuk menciptakan kembali hati manusia, dari hati batu menjadi hati yang lembut. Sekarang, pilihan ada di tangan kita. Akankah kita mengikuti kehendak Tuhan dalam hidup dan pernikahan kita dengan mengandalkan kasih karunia-Nya, atau sebaliknya, akankah kita menjadi keras kepala dan mengikuti rancangan kita sendiri?

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi
Apakah kita berhati keras dan menolak kehendak Allah dalam hidup kita? Bagaimana kita memahami pernikahan? Apakah pernikahan merupakan kebutuhan biologis, konvensi sosial, atau sesuatu yang dilembagakan secara ilahi? Bagaimana perasaan kita tentang pernikahan? Apakah itu sebuah beban, kewajiban, atau berkat? Apa yang ingin kita capai dalam pernikahan? Apakah kesenangan, kesejahteraan, kenyamanan, atau kekudusan? Apa yang kita lakukan ketika kita menghadapi kesulitan dalam pernikahan? Apakah kita melihat pernikahan tanpa perceraian sebagai sebuah kutukan atau jalan menuju surga?

Posted in renungan | Tagged , | Leave a comment

Jumat Pekan Biasa XXVI

Fr Gunawan Wibisono O.Carm

4 Oktober 2024

Ayb 38, 12-21 + Mzm 139 + Luk 10: 13-16

Lectio

Pada waktu itu berkatalah Yesus: ‘celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! karena jika di Tirus dan di Sidon terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung. Akan tetapi pada waktu penghakiman, tanggungan Tirus dan Sidon akan lebih ringan dari pada tanggunganmu. Dan engkau Kapernaum, apakah engkau akan dinaikkan sampai ke langit? Tidak, engkau akan diturunkan sampai ke dunia orang mati! Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku’.

Meditatio

Korazim, Betzaida dan Kapernaum dikecam habis oleh Yesus. Mereka mendapatkan kecaman keras sepertinya karena mereka itu tidak tahu berterima kasih atas segala kebaikan yang telah mereka terima. Banyak mukjizat yang telah diadakan di tengah-tengah mereka, tetapi tidak sedikitpun rasa tobat muncul dari hati dan budi mereka; tidak ada rasa syukur dalam diri mereka untuk semakin berpaut dan mengandalkan kepada Tuhan Allah. Pelaksanaan kewajiban agama sepertinya tidak mengalami pertumbuhan dengan adanya aneka berkat Tuhan yang mereka terima. Tirus dan Sidon pasti akan bertobat, bila mendapatkan belaskasihan seperti itu; itulah keyakinan Yesus. Kedatangan Yesus ke tengah-tengah mereka tidak menggetarkan hati dan budi mereka untuk bersyukur kepadaNya.

Apakah kecaman Yesus menunjukkan bahwa Tuhan Allah pamrih dengan aneka pemberianNya? Tuhan memang parih dalam perihal keselamatan! Mengapa? Karena Dia amat mengharapkan semua orang beroleh keselamatan; dan keselamatan hanya ada dalam Tuhan Allah sang Empunya kehidupan; di luar keselamatan itu kebinasaan. Allah amat menghendaki, agar semua orang beroleh keselamatan.

Kiranya pengalaman orang-orang Tirus, Sidon dan Kapernaum menjadi  peringatan bagi kita, agar kita selalu berani bersyukur kepada Tuhan atas segala yang baik dan indah yang kita terima dari Tuhan. Hendaknya kita pun semakin berani mendekatkan diri kepadaNya, karena karunia-karunia yang kita terima daripadaNya. Kiranya belaskasih Tuhan Yesus semakin membuat kita berani menikmati kehadiranNya; minimal ketika sabda disampaikan kepada kita dalam setiap peristiwa sabda. Ketika Kitab Suci dibacakan, kiranya kita tidak melihat siapa yang membacakan, tetapi kita merasakan bahwa sabdaNya disampaikan kepada kita. Tuhan Allah bersabda dan menyapa kita. Mendengarkan pewartaan tentang Dia berarti mendengarkan Dia yang bersabda; dan itulah yang dikatakan Yesus juga hari ini: ‘barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku’

Oratio

Yesus Kristus, kami bersyukur kepadaMu atas segala berkat dan kasihMu yang Engkau limpahkan kepada kami. Semoga kami semkin menjadi orang-orang yang tahu berterima kasih dan selalu mengandalkan kekuatan dariapadaMu, sebagaimana diteladankan oleh Santo Fransiskus Asisi. Amin.

Contemplatio ‘Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku’

Posted in renungan | Leave a comment

PANEN BANYAK PEKERJA SEDIKIT


Kamis 3 September 2024
Hari Biasa, Pekan Biasa XXVI
Lukas 10:1-12

Fr. Ignasius Adam Suncoko

Hanya dalam Injil Lukas, kita menemukan bacaan tentang Yesus mengutus sekelompok besar tujuh puluh dua orang dan sambil memanggil mereka untuk meminta kepada yang empunya tuaian supaya mengirimkan lebih banyak lagi pekerja untuk tuaian. Karya Tuhan dalam berbagai bentuknya tidak hanya dapat dipercayakan kepada sekelompok kecil orang; karya itu membutuhkan banyak orang untuk terlibat. Panennya berlimpah dan beragam; semakin banyak pekerja semakin baik. Ini adalah pesan yang sangat penting bagi gereja di zaman kita saat ini, khususnya di Paroki, Komunitas, Kelompok Kategorial, dan Keuskupan kita. Semakin banyak orang dibutuhkan untuk bertanggung jawab atas kehidupan menggereja untuk karya Tuhan.

Dalam perutusan kelompok besar ini, Yesus dengan cepat memperhatikan kesulitan yang akan mereka hadapi. Yesus mengingatkan bagi mereka yang diutus untuk mengantisipasi bahwa beberapa kota tidak akan membuat mereka merasa diterima. Namun, Yesus menekankan bahwa apakah orang menyambut mereka atau tidak, para murid harus mewartakan “kerajaan Allah sudah sangat dekat denganmu”. Tuhan sangat dekat, apakah Dia disambut atau tidak. Tuhan selalu hadir baik Dia diterima atau tidak. Tuhan terus berkarya di dalam dan melalui mereka yang siap menjadi pekerja-Nya, terlepas dari apakah karya itu dihargai atau tidak. Kita terus-menerus dihadapkan pada kehadiran kerajaan Allah, kuasa Allah di dalam dan melalui Putra-Nya; tidak ada jalan keluar dari kenyataan itu. Satu-satunya cara bagi kita adalah menanggapi realitas tertinggi itu untuk terlibat dalam karya-karya Tuhan. Bagaimana dengan hidup kita? Sudahkah kita mendoakan supaya banyak panggilan khusus: menjadi imam, biarawan-biarawati dan rasul awam yang tangguh di paroki dan keuskupan kita? Sudahkah kita mau terlibat dalam karya besar Tuhan dengan melibatkan diri dalam kehidupan menggereja paroki kita? Pilihan terbaik kita adalah persembahan terbaik untuk Tuhan. Semuanya demi kemuliaan Tuhan. Amrih Mulya Dalem Gusti. Ad Maiorem Dei Gloriam.

Pekerja Tuhan harus punya kesungguhan
Kobarkan motto jangan hanya diam
Semuanya untuk Kemuliaan Tuhan
Pekikan “Ad Maiorem Dei Gloriam”.

Posted in renungan | Leave a comment

Peringatan Wajib Para Malaikat Pelindung (Mat 18:1-5.10)

Rabu, 02 Oktober 2024

      Teknologi dengan segala bentuk modifikasi AI (Artificial Intelegence) yang dihadirkan menjadi fenomena sekaligus realita yang tidak terhindarkan. Hal ini tentunya memudahkan manusia modern dalam menyelesaikan berbagai persoalan, kebutuhan, dan inovasi yang tak terpikirkan sebelumya. Lebih dari itu, kemajuan dan kecanggilan teknologi dewasa ini menjadi satu keyakinan baru yang merasuki diri banyak orang bahwa kualitas pengamaan dan perlindungan ditentukan oleh kualitas teknologi yang digunakan dengan perhitungan dan analisa detilnya. Pertanyaan reflektif yang bisa saja muncul dari kenyataan konkret ini ialah apakah kemajuan teknologi dapat pula menjadi penentu perlindungan dan keamanan jiwa seseorang? Segala sesuatu haruslah sesuai dengan perhitungan matematis, logis, dan praktis?

      Hari ini Gereja memperingati Peringatan Para Malaikat Pelindung. Siapa mereka dan apa perannya bagi saya dan Anda yang beriman katolik ini? Dalam ajaran Gereja Katolik ditegaskan bahwa Allah memberikan malaikat pelindung kepada setiap orang beriman. Peran penting dari malaikat pelindung ialah melindungi dan membimbing manusia pada pemikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik dan benar, serta mengarahkan manusia untuk mempersembahkan hidup doa, karya, dan pelayanan terarah kepada Allah semata. Kata kunci penting di sini adalah setiap orang beriman. Keyakinan ini hanya dapat dimengerti dalam konteks iman, bukan teknologi dan pengetahuan ilmiah modern. Maka dari itu, kemajuan teknologi bukanlah pondasi utama guna menciptakan kualitas perlindungan dan pengamanan jiwa, terlebih iman kekatolikan atau kekristenan. Namun, kualitas hati nurani menjadi benteng perlindungan dari godaan si jahat yang dapat menghampiri setiap waktu membawa manusia makin menjauh dan meninggalkan Allah.

      Pesan indah Sabda Tuhan hari ini dalam perikop Injil Matius yaitu “Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak kecil ini. Sebab Aku berkata kepadamu: Malaikat mereka di surga selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di surga.” (Mat 18:10) Ada pesan apakah di balik ajakan untuk bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini guna menjadi yang terbesar dalam Kerajaan Surga? Kekhasan seorang anak kecil yaitu gembira, kreatif, dan rohani. Sifat ini pula yang menjadi upaya setiap orang berimana dalam tuntunan para malaikat pelindungnya untuk terus menerus berupaya merasakan kegembiraan berkat imannya dalam segala dinamika hidup, menemukan kreativitas yang bersumber dari Sabda Tuhan, dan bersyukur karena segala perkara terlampui berkat penyertaan Bapa di surga. Marilah kita menyapa para malaikat pellindung dalam setiap doa, refleksi, dan waktu hening pribadi yang kita sediakan. (RD Daniel Aji Kurniawan)

Posted in renungan | Leave a comment

Homily for the twenty sixth Tuesday 2024 (the feast of St Theresa Liseux)

Fr Agustinus Sutiono O.Carm

Difficulties, illnesses, sufferings and pains that come our lives seem to something common to everyone. Regardless of the age that we may have, whether we are child, adolescent, mature or elederly, they likely have touched everyone. The common reaction is always the same. Everyone tries to avoid them. When this prudent attempt is not successfull and they keep coming, we do not have other choice except accepting them. While we try to accostum ourself with things unwanted that we cannot avoid, we try to deal with them in many ways in order to keep ourself survive, for example, by seeking for psycological or legal or spiritual advices, undertaking series of medical treatments or therapies. Our experiences show that none is immune from difficulties, problems, illnesses, pains, sufferings. Neither are the righteous, the pious, the good, the virtuous and the most blessed persons. The bad, the naughty and the evil ones are the same. The virtuous and pious Job, the gentle and meek Saint Therese of the Child Jesus and many more saints, and even Jesus and his disciples are no exception.

However, the way how people face those challenges is not always the same. Job thought that he was so blessed that he had so much fortune, beautiful children and tremendous wealth. Then all were gone at a sudden. Even his last belonging, that was his health, was taken away too. He had drawn himself in a profound silence, pondering his very sins. His Friends advised him to quit from being pious and suggested him to curse God and shed his anger or disppointment to him. Some others faithfully accompanied him in his silence. After a long period of struggle he finally came to an understanding. He said: “Naked I came from my mother’s womb, and naked shall I return there; the Lord gave, and the Lord has taken away; blessed be the name of the Lord.” Saint Therese Liseux dealt with her own challenges. Illnesses, the loss of her beloved and other difficulties had turned her into a person with great humility and simplicity who showed a strong trust to the love and mercy of God.

The disciples and Jesus faced rejection from the people of Samaria. On their way to Jerusalem, his messengers entered a Samaritan village to prepare for his reception there, but they would not welcome him because the destination of his journey was Jerusalem. When the disciples James and John saw this they asked: “Lord, do you want us to call down fire from heaven to consume them?” Jesus turned and rebuked them, and they journeyed to another village. Both Jesus and the disciples experienced the same challenge but the way how they reacted to was different. The disciples tried to manipulate the power of Jesus to revenge and to cause destruction to the people of Samaria. But Jesus did not want to misused the power he had. O Lord, grant us a heart that is capable to understand your heart and your love in whatever situations we are going through. Grant us practical knowledge and wisdom that we can act and react wisely. Amen.

Posted in renungan | Leave a comment