KOMUNIKASI DENGAN TUHAN

Senin, 25 September 2023

Lukas 8:16-18

Tuhan Yesus mendorong kepada para murid-Nya untuk memberikan kesaksian iman dalam tindakan sehingga banyak orang bisa mengenal dan percaya kepada Yesus Kristus Tuhan dan diselamatkan. Dengan demikian kehadiran mereka dimana pun mereka berada dan dalam situasi apa pun yang mereka alami, mereka bisa menghantar banyak orang untuk datang kepada Tuhan Yesus. Seperti pelita yang cahayanya memancarkan kehangatan, demikian juga kesaksian hidup mereka memancarkan harapan, suka-cita, damai, pengampunan, dan keselamatan yang bersumber dari Tuhan. “Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya.”(Luk 8:16).

Oleh karena itu, mereka telah menerima anugerah panggilan yang mulia untuk menyebarluarkan Kerajaan Allah, sekalipun mereka tetap sebagai pribadi yang terbatas. Namun kekuatan Roh Kuduslah yang menopang mereka untuk menjalankan Misi mulia tersebut. Dengan demikian, setiap murid Kristus telah dibekali daya Ilahi ( lewat sakramen Baptis) yang tidak akan bisa redup untuk terus menyemangati mereka dalam pelayanan demi meluaskan Kerajaan Allah. “Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita.”(2 Tim 1:14).

Oleh karena itu penting sekali menjaga komunikasi dengan Tuhan Yesus sumber kehidupan dan keselamatan, dengan cara terus menbuka hati untuk mendengarkan Sabda-Nya, sebab dari sanalah komunikasi tersebut dimulai.
“Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya.”(Luk 8:18). Sebab dengan komunikasi yang lancar bersama dengan Kristus, maka pelita iman akan terus menyala.

Didik, CM

Posted in renungan | Leave a comment

Hidup adalah Kristus

Minggu ke-25 dalam Masa Biasa [A]

24 September 2023

Matius 20:1-16a

Filipi 1:20c-24, 27a

Hari ini, Santo Paulus menulis kalimat sangat menarik, “Aku rindu meninggalkan dunia ini dan bersama dengan Kristus, karena itulah yang jauh lebih baik [Flp. 1:23].” Apakah St. Paulus ini ingin mengakhiri hidupnya atau bunuh diri? Atau ada hal lain yang sebenarnya terjadi?

Kita harus memahami konteks surat Santo Paulus kepada jemaat di Filipi untuk menjawab pertanyaan ini. Surat kepada jemaat di Filipi adalah salah satu surat Paulus dari penjara [termasuk surat ke jemaat di Efesus dan Kolose]. Jika kita mengingat kembali kehidupan rasul besar ini, kita tahu bahwa Paulus dianiaya dan ditangkap oleh orang-orang Yahudi yang menentang pemberitaan Injil Yesus Kristus. Saat menghadapi pengadilannya, Paulus kemudian menggunakan hak istimewanya sebagai warga negara Romawi untuk mengajukan banding kepada Kaisar. Dengan demikian, dia dibawa ke Roma, ibu kota kekaisaran. Sementara dia menunggu Kaisar mendengar bandingnya, dia menjadi tahanan rumah, dan bahkan dirantai. Namun, ia diizinkan untuk terus mewartakan Injil dan mengirim surat ke berbagai komunitas. Salah satu suratnya adalah kepada jemaat di Filipi [lihat Flp. 1:14]. Dalam masa penantian ini, Paulus bisa saja dinyatakan tidak bersalah, tetapi ada kemungkinan besar Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Dari konteks ini, kita memahami bahwa Paulus tidak sedang berpikir bagaimana mengakhiri hidupnya, melainkan tentang kematiannya sebagai martir. Sementara bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup kita sendiri, menjadi martir adalah kematian yang disebabkan oleh kebencian terhadap iman. Namun, yang menarik adalah bagaimana Paulus bereaksi terhadap kematian sebagai martir. Ia tidak takut, tidak cemas berlebihan, dan bahkan tidak mengalami depresi. Sebaliknya, ia menunjukan diri penuh dengan sukacita. Bahkan, jika kita membaca surat kepada jemaat di Filipi, kita akan segera merasakan bahwa suasana umum dari surat ini adalah sukacita. Paulus menulis, “Bersukacitalah selalu dalam Tuhan, aku berkata, Bersukacitalah (Flp. 4:4)! Hal ini sangat membingungkan. Bagaimana Paulus dapat bersukacita ketika ia dianiaya dan menghadapi kematian yang sudah dekat?

Jawabannya adalah karena Paulus telah melihat nilai sejati dari Yesus Kristus. Paulus menulis, “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus [Flp. 3:8].” Paulus mengerti betapa berharganya Kristus, dan karena kebijaksanaan ini, Paulus memiliki hirarki prioritas yang benar dalam hidupnya. Segala sesuatu, termasuk kehidupan itu sendiri, haruslah di dalam Kristus dan untuk Kristus. Dengan demikian, Paulus, yang telah memberikan segalanya untuk Kristus dan hidup di dalam Kristus, bersukacita dalam menghadapi kematian karena ia tahu bahwa ia akhirnya dapat bersatu dengan Kristus.

Paulus memberi kita sebuah kiat berharga untuk keselamatan: kenali Kristus, dan betapa pentingnya Dia bagi kita. Kita perlu menetapkan prioritas kita dengan benar. Kristus dahulu, dan yang lain akan jatuh pada tempatnya. Ya, kekayaan materi memang penting, makanan dan tempat tinggal sangat penting, dan pendidikan juga penting, tetapi semua itu adalah sarana untuk hidup di dalam Kristus dan untuk Kristus. Kita mungkin kehilangan uang atau harta benda, dan itu tidak masalah, tetapi jika kita kehilangan Kristus, kita akan kehilangan keselamatan dan sukacita kekal. Saat kita kehilangan Kristus, segala kesuksesan di dunia ini akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bersukacitalah karena bagi kita, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Posted in renungan | Tagged , | Leave a comment

Life is Christ

25th Sunday in Ordinary Time [A]

September 24, 2023

Matthew 20:1-16a

Phil 1:20c-24, 27a

Today, St. Paul wrote a disturbing line, “I long to depart this life and be with Christ, for that is far better [Phil 1:23].” Did the great saint want to end his life?

We must understand the context of St. Paul’s letter to the Philippians to answer this question. The letter to the Christians in Philippi is one of Paul’s prison letters. If we recall the life of this great apostle, we know that Paul was persecuted and arrested by his fellow Jews who opposed his preaching of the Gospel. During his trials, Paul used his privilege as a Roman citizen to appeal his case to Caesar. Thus, he was transported to Rome, the capital of the empire. While he was waiting for Caesar to hear his appeal, he was under house arrest, and he was literally in chains. Yet, he was allowed to continue preaching the Gospel and sending letters to different communities. One of the letters is to the Philippians [see Phil 1:14]. Paul could be proclaimed innocent, but there was also a big possibility that Caesar placed him on death row.

From this context, we recognize that Paul was completing nothing about suicide but rather his martyrdom. While suicide is willfully taking one’s own life, martyrdom is death brought by hatred of faith. However, what is interesting is how St. Paul reacted to his martyrdom. He was not afraid, not overly anxious, and undoubtedly not depressed. On the contrary, he was full of joy. If we read the letter to the Philippians, we quickly feel that the general atmosphere of the letter is joy. Paul even wrote, “Rejoice always in the Lord, I say, Rejoice! [Phil 4:4]. Now, this is highly puzzling. How could St. Paul rejoice when he was persecuted and facing imminent death?

Firstly, we need to recognize that here, Paul did not have a mental problem that made him unable to feel pain or regulate his emotions. If we read his other letters, Paul articulated his emotions well. He was angry when he needed to correct and to grieve when his children did not live according to the Gospel. So, why joy amid suffering and in the face of death?

The answer is that Paul has seen the actual worth of Jesus Christ. Paul wrote, “I regard everything as loss because of the surpassing value of knowing Christ Jesus my Lord. I have suffered the loss of all things for his sake, and I regard them as rubbish [Phil 3:8].” Paul has the correct hierarchy of priorities in his life. Everything, including life itself, should be in Christ and for Christ. Thus, Paul, who has given everything for Christ and lived in Christ, rejoices in the face of death because he knew he could finally be united with Christ.

Paul gives us a life hack to salvation: know the value of Christ, which is eternal. We need to set our priorities right. Yes, material wealth is substantial, food and shelter are essential, and education is necessary, but these are means to live in Christ and for Christ. We may lose money or material belongings, which is okay, but if we lose Christ, we may also lose our salvation and eternal joy despite our earthly success. Thus, rejoice because, for us, life is Christ and death is gain.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Posted in renungan | Tagged , , | Leave a comment

Mitos tentang Pengampunan

Minggu ke-24 dalam Masa Biasa [A]

17 September 2023

Matius 18:21-35

Ada tiga mitos tentang pengampunan yang sering kita dengar. Di sini, kita akan mencoba mematahkan mitos-mitos tersebut dan mendalami makna pengampunan yang sejati.

Mengampuni berarti melupakan.

Ini adalah kalimat yang paling sering diulang-ulang tentang pengampunan. Kita mendengar bahwa cara terbaik untuk memaafkan adalah dengan melupakan kejadian yang menyakiti kita serta orang-orang yang melukai perasaan kita. Namun, ini bukanlah pengampunan melainkan pelarian yang nyaman. Faktanya, semakin kita mencoba melupakannya, semakin kita dihantui. Upaya keras untuk menekan pengalaman menyakitkan kita justru akan menyebabkan masalah mental dan spiritual. Pengampunan yang sejati adalah menghadapi dan merangkul kenangan menyakitkan kita dan menghadapi orang-orang yang telah menyakiti kita. Jalan menuju pengampunan seringkali membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menemukan kedamaian sejati.

Memaafkan adalah untuk orang-orang yang lemah.

Tidak ada yang lebih jauh dari kebenaran daripada pernyataan ini. Perasaan alamiah kita ketika kita disakiti adalah kemarahan, kebencian, dan kepahitan; karena perasaan-perasaan ini, kecenderungan alamiah kita adalah membalas dendam atau melarikan diri. Semakin besar rasa sakitnya, semakin kuat kecenderungan tersebut. Inilah sebabnya mengapa untuk melakukan hal yang sebaliknya (memaafkan) membutuhkan kekuatan akalbudi yang besar dan keberanian kehendak. Memaafkan sejatinya hanya untuk mereka yang kuat. Hal lainnya adalah kita perlu membedakan antara balas dendam dan keadilan. Sementara balas dendam berusaha untuk menghancurkan musuh-musuh kita dengan menimbulkan kerusakan sebesar mungkin, keadilan mengupayakan perbaikan, pertobatan, dan rekonsiliasi.

Memaafkan adalah hal yang bodoh.

Bayangan yang biasa muncul ketika kita memaafkan adalah bahwa kita mengizinkan orang lain untuk terus melecehkan kita. Singkatnya, kita menjadi ‘keset’ bagi orang lain. Namun, ini bukanlah pengampunan yang sejati, melainkan kepengecutan. Pengampunan yang sejati dimulai dengan keadilan dan keberanian. Pengampunan juga mencakup pertobatan dari mereka yang menyakiti kita. Pertobatan dapat datang dalam berbagai bentuk. Contoh terbaik adalah kasus Paus Yohanes Paulus II dan Ali Acka yang menembaknya. Paus mengampuni Ali, tetapi Ali masih harus menjalani hukuman di penjara sebagai bagian dari keadilan. Orang yang menyakiti kita terkadang menolak untuk mengubah perilaku mereka, jadi kita harus meninggalkan mentalitas korban (mentalitas keset) dan tidak membiarkan diri kita dilukai berulang kali.

Berbuat salah itu manusiawi, tetapi memaafkan itu ilahi.

Bagian terakhir ini bukanlah mitos, melainkan kebenaran. Secara manusiawi, mengampuni sangatlah sulit karena kecenderungan alamiah kita adalah membalas dendam atau melarikan diri. Oleh karena itu, kita membutuhkan bantuan rahmat untuk mengatasi kelemahan manusiawi kita. Kita ingat Injil hari ini bahwa “Allah telah mengampuni kita dan itulah sebabnya kita mengampuni.” Oleh karena itu, hidup dalam rahmat diperlukan untuk pengampunan. Kita memohon rahmat melalui partisipasi rutin kita dalam Ekaristi dan sakramen rekonsiliasi. Kita juga memohon kepada Tuhan untuk kekuatan dalam doa-doa kita, dan juga berdoa bagi mereka yang menyakiti kita agar mereka bertobat. Mencari dukungan dan nasihat dari teman-teman yang kita percayai dan para profesional yang cakap juga sangat penting karena Tuhan dapat menjadikan mereka sebagai alat-Nya untuk menolong kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Posted in renungan | Tagged , | Leave a comment

Myths about Forgiveness

24th Sunday in Ordinary Time [A]

September 17, 2023

Matthew 18:21-35

There are three myths about forgiveness that we often hear. Here, we try to debunk these myths and go deeper into the meanings of genuine forgiveness. 

To forgive is to forget.

This is the most repeated line about forgiveness. We are told that the best way to forgive is to forget about the events that hurt us as well as the persons who offended us. Yet, this is not forgiveness but rather a convenient escape. In fact, the more we try to forget it, the more it hurts us. Violent efforts to suppress our painful memories lead to mental and spiritual problems. True forgiveness is to face and embrace our painful memories and confront people who have hurt us. The path to forgiveness often takes months and even years to find true peace.

To forgive is for the weak people.

Nothing is far from the truth than this statement. Our natural feelings when we are wronged are anger, hatred, and bitterness; because of these feelings, our natural tendency is to take revenge or run away. The bigger the pain, the more powerful is the tendency. This is why to do the opposite (to forgive) needs an enormous force of mind and courage of will. To forgive is only for the strong. Another point is that we need to distinguish between revenge and justice. While revenge seeks to destroy our enemies by inflicting the most extensive damage possible, justice is ‘to give/receive one’s due.’ Justice seeks reparation, repentance, and reconciliation.

To forgive is stupid.

The usual imagination when we forgive is that we allow people to keep abusing us. In short, we become ‘doormat’ of others. Yet, this is not true forgiveness but cowardice. Real forgiveness starts with justice and courage. Forgiveness also includes repentance of those who harm us. Repentance may come in different forms. The best example will be the case of John Paul II and Ali Acka. The Holy Pope forgave Ali, but Ali still needed to serve his sentence in prison. People who hurt us sometimes refuse to change their behaviors, so we must raise the victim’s mentality and not allow ourselves to be abused repeatedly. 

To err is human, but to forgive is divine.

The last part is not a myth but the truth. Humanly speaking, forgiving is extremely difficult because our natural tendency is to take revenge or run away. Thus, we need the help of grace to rise above our human weakness. We remember that “God has forgiven us and that is why we forgive.” Therefore, living in grace is necessary for forgiveness. We ask for graces through our regular participation in the Eucharist and the sacrament of reconciliation. We ask the Lord also for strength in our prayers, as well as we pray for those who hurt us for their repentance. To seek support and advice from our trusted friends and capable professionals is also crucial because God may make them His instruments in helping us. 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Posted in renungan | Tagged , , | Leave a comment