Penyembuhan Orang Buta dan Pembaptisan

Penyembuhan Orang Buta dan Pembaptisan

Minggu ke-4 Masa Prapaskah [A]
19 Maret 2023
Yohanes 9:1-41

Ada tujuh tanda (atau mukjizat) dalam Injil Yohanes. Secara naluriah, Gereja melihat ketujuh mukjizat ini sebagai simbol dari tujuh sakramen. Lalu, kisah penyembuhan orang yang buta sejak lahir ini yang kita dengarkan Minggu ini berhubungan dengan sakramen apa? Jawabannya adalah sakramen Pembaptisan. Dan, karena tema dasar dari masa Prapaskah adalah pembaptisan, Gereja pun tidak ragu-ragu untuk menempatkan bacaan ini pada masa suci ini. Namun, benarkah mukjizat ini berhubungan dengan pembaptisan? Dan bagaimana kita sungguh tahu?

Kisah ini dimulai dengan Yesus dan para murid yang melihat seorang yang menderita kebutaaan sejak lahir. Kemudian, murid-murid-Nya mulai bertanya kepada-Nya, “Rabi, siapakah yang berdosa, orang ini atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta (Yoh 9:2)? Murid-murid Yesus percaya bahwa penderitaan yang dialami orang ini adalah akibat dari dosa-dosa pribadinya, atau setidaknya dosa orang-tuanya. Namun, Yesus menunjukkan bahwa baik orang yang buta ini maupun orang tuanya tidak melakukan sebuah dosa yang menyebabkan kebutaan. Meskipun penderitaan dan kematian memang berkaitan dengan dosa, tetapi hubungan tersebut tidaklah sejajar, melainkan sebuah misteri. Orang itu tidak melakukan dosa, tetapi ia menanggung konsekuensi dari dosa. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?

Gereja mengajarkan kondisi ini sebagai dosa asal. Setiap keturunan Adam dan Hawa dilahirkan ke dunia sebagai ‘musuh’ Allah. Sejak dalam kandungan ibu kita, kita adalah ‘orang berdosa’, bukan karena kita melakukan dosa pribadi, tetapi karena kita jauh dari Allah dan tidak memiliki persahabatan rohani dengan-Nya. Oleh karena dosa asal tersebut, kita rentan terhadap berbagai penderitaan dan juga bergumul dengan concupiscentia (lihat juga renungan saya dua minggu yang lalu). Kondisi pria yang buta ini menjadi simbol dari kondisi dosa asal.

Bagaimana Yesus menyembuhkan orang buta ini? Yesus meludah ke tanah dan membuat tanah liat dengan ludah-Nya, lalu mengoleskan tanah liat tersebut ke matanya. Lalu, Dia meminta orang buta itu untuk membasuh dirinya dengan air. Mengapa Yesus melakukan pengobatan yang aneh dan tidak higienis seperti itu? Jawabannya ada di Perjanjian Lama. Yesus melakukan apa yang Allah lakukan di kisah penciptaan manusia. Ketika Allah menciptakan Adam, Dia mengunakan tanah. Ada sebuah tradisi Yahudi yang mengatakan bahwa Allah menggunakan air liur-Nya untuk membuat tanah menjadi lebih mudah dibentuk. Yesus melakukan hal yang sama di sini. Dia membawa orang yang buta menjadi sembuh dengan ‘menciptakannya kembali’. Kemudian, kesembuhan menjadi nyata ketika orang itu membasuh dirinya dengan air.

Apa yang terjadi pada orang yang disembuhkan itu, juga terjadi pada setiap orang saat pembaptisan. Apa yang kita lihat di mata kita, adalah seseorang dibasuh dengan air, tetapi secara rohani, Tuhan sedang membentuk kita menjadi ciptaan yang baru. Semua dosa, baik dosa asal maupun dosa pribadi, dibersihkan. Jiwa kita diubah menjadi serupa dengan Kristus dan diangkat menjadi anak-anak Allah. Dengan demikian, kita memanggil Allah sebagai Bapa kita, bukan dalam arti kiasan, tetapi dalam arti yang sesungguhnya.

Terakhir, menjelang akhir cerita, Yesus bertanya kepada orang itu, “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Lalu, orang itu menyatakan imannya kepada Yesus dan menyembah Dia. Iman adalah bagian yang tidak terpisahkan dari baptisan. Tidak masalah, jika kita percaya sebelum pembaptisan (seperti dalam kasus baptisan orang dewasa) atau setelah pembaptisan (dalam kasus baptisan bayi). Namun, yang terpenting adalah baptisan hanyalah permulaan, dan iman kita harus terus bertumbuh.

Kita tidak tahu apa yang dilakukan orang tersebut setelah kesembuhan yang diterimanya, tetapi kita dapat percaya bahwa ia menjadi murid Yesus dan mengikuti Dia. Setelah pembaptisan dan iman awal kepada Yesus, Gereja mendorong kita untuk melanjutkan perjalanan kekudusan kita. Kita bertumbuh dalam iman melalui hidup di dalam Kristus, menghindari dosa, melakukan karya amal, dan menerima sakramen-sakramen lainnya.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Healing of the Blind Man and Baptism

Healing of the Blind Man and Baptism

4th Sunday of Lent [A]
April 19, 2023
John 9:1-41

There are seven signs (or miracles) in the Gospel of John. Naturally, the Church has recognized these seven miracles corresponds to the seven sacraments entrusted to her. The healing of the man born blind turns out to be the sign to the sacrament of Baptism. Since the basic theme of Lenten season is baptism, the Church does not hesitate to place this reading during this holy season. But, is true that this miracles is related to baptism? And how do we know?

The story begins with Jesus and disciples saw a poor blind man. Then, His disciples start to ask Him, ‘Rabbi, who sinned, this man or his parents, that he was born blind (John 9:2)?’ Jesus’ disciples believe that his sufferings are consequences of his personal sins, or at least his parents. Yet, Jesus immediately teaches them the truth. Jesus points out that neither blind man nor his parents have sinned to cause him blindness. Although sufferings and death are indeed related to sin, but the relation is not linear, but a mystery. The man does not commit personal sins, but he bears the consequence of sin. How is it possible?

The Church recognizes this condition as the original sin. Every descendant of Adam and Eve was born into the world as ‘enemies’ of God. Since we are in the womb of our mothers, we were ‘sinners’, not because we commit any personal sins, but because we are far from God and do not have a spiritual friendship with Him. Thus, because of the original sin, we are susceptible to various sufferings as well as struggling with concupiscence (check also my reflection two weeks ago).

How does Jesus heal this blind man? Jesus spats on the ground and makes clay with the saliva, and smears the clay on his eyes. Finally, He asks the blind man to wash himself with water. Why does Jesus perform such a weird and unhygienic treatment? Jesus performs what God did in the beginning: the creation of man. When God created Adam, He molded a soil of the ground. There is a Jewish tradition that says that God used His own saliva to make soil easier to form. Jesus does the same here. He is bringing the man with blindness into healing by ‘re-creating’ him. Then, the final healing takes place when the man wash himself with water.

What happens to the healed man, takes place also in every person during the baptism. What we see in our eyes is someone is washed with water, but spiritually, God is making us a new creation. All sins, both original and personal sins, are cleansed. Our souls are transformed into the likeness of Christ and are elevated into the adopted children of God. Thus, we call God our Father, not in the metaphorical sense, but in the real one.

Lastly, towards the end of the story, Jesus asks him, ‘Do you believe in the Son of Man?’ Eventually, the man professes his faith in Jesus and worships Him. Faith is integral part of baptism; whether we believe before the baptism (like in the case of adult baptism) or after baptism (in the case of infant baptism). However, baptism is just the beginning, and our faith must also grow.

We are not sure what the man does after the healing he received, but we may believe that he becomes Jesus’s disciple and follow Him. After baptism and initial faith in Jesus, the Church encourages us to continue our journey of holiness. We grow in faith through living in Christ, works of charity, and proper reception of other sacraments.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

PENYANGKALAN DIRI

PENYANGKALAN DIRI

Kamis, 16 Maret 2023



Lukas 11:14-23

Ketika Yesus mengusir setan yang menyebabkan seseorang menjadi bisu, maka ada orang yang menuduh Yesus dengan tuduhan; Yesus mengusir setan dengan kekuatan Beelzebul penghulu setan. “Tetapi ada di antara mereka yang berkata: “Ia mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan.”(Luk 11:15). Dengan demikian, menjadi jelas, tidak semua orang mampu menerima kebaikan dan kasih Tuhan. Cara menolak kebaikan Tuhan diungkapkan mereka dengan cara mulai dengan acuh tak acuh, meremehkan, dan sampai akhirnya tidak percaya dan lebih percaya dengan pemikirannya sendiri.

Oleh karena itu, apa yang menjadi akar dan persoalan seseorang mengapa tidak mampu merasakan kebaikan Tuhan karena tidak percaya kepada Tuhan Yesus dan hal itu terjadi karena mereka lebih percaya pada diri sendiri. Dengan demikian kuasa, kasih dan kebaikan Allah yang curahkan lewat Yesus Kristus bisa  dialami oleh manusia, jika mereka berani menyangkal diri mereka sendiri , dan apa yang disangkal adalah kesombongan manusia.
“Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”(Mat 16:24).

Masing-masing orang memiliki kesempatan yang sama dari Tuhan untuk memikirkan, merenungankan, dan kemudian memutuskan, apakah mereka siap menerima Tuhan atau tidak. Dalam proses tersebut, yang dibutuhkn manusia adalah kerendahan hati, keterbukaan hati akan campur tangan Roh Kudus yang akan membimbing dan menerangi jalan, sehingga manusia bisa mengambil keputusan yang benar dihadapan Allah. “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”(Luk 11:13).

Didik, CM 

PENGGENAPAN HUKUM TAURAT

PENGGENAPAN HUKUM TAURAT

Rabu, 15 Maret 2023



Matius 5:17-19

Yesus menyatakan bahwa Diri-Nya datang ke dunia bukan menghilangkan hukum Taurat tetapi untuk menggenapinya. “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”(Mat 5:17). Dengan demikian Yesus mendorong para pengikut-Nya untuk percaya bahwa apa yang telah ditulis oleh Kitab Taurat dan yang diramalkan oleh para Nabi bahwa akan hadir Sang Penyelamat Dunia (Mesias), kini sudah tergenapi dan terlaksana di dalam Diri Yesus Kristus. “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.”(Yes 7:14).

Oleh karena itu, di dalam Yesus Kristus, Allah telah menyatakan bahwa melalui Kristus pengampunan dan keselamatan dianugerahkan kepada umat manusia. Dia menjadi jawaban atas kerinduan seluruh umat manusia akan jalan penebusan dosa dan harapan baru yang menghadirkan rekonsiliasi /damai antara Allah dan manusia. “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami.”( 2 Kor 5:19).

Dengan demikian, Yesus mengharapkan kepada setiap orang yang merindukan belas kasih Allah, agar mereka mau datang kepada-Nya dengan segala pergulatan masing-masing, maka Dia akan menganugerahkan Roh-Nya yang akan mampu menguatkan mereka dalam hidup.
“Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”(Yoh 14:6). 

Didik, CM 

Kisah Perempuan Samaria

Kisah Perempuan Samaria

Minggu Ketiga Masa Prapaskah [A]
12 Maret 2023
Yohanes 4:5-42

Untuk hari Minggu ketiga Prapaskah, Gereja telah memilihkan kisah perempuan Samaria dari Injil Yohanes. Kisah ini tidak hanya muncul pada tahun liturgi ini (Tahun A), tetapi juga pada tahun-tahun lainnya (Tahun B dan C). Mengapa Gereja memilih bacaan ini untuk masa Prapaskah? Mengapa kisah ini menjadi sangat istimewa karena setiap tahun kita diundang untuk mendengarkan dan merenungkan kisah ini?

Kisah perempuan Samaria menawarkan kepada kita sebuah kisah pertobatan. Oleh karena itu, kisah ini sangat cocok untuk masa Prapaskah. Mari kita masuk lebih dalam ke dalam kisah ini. Yohanes Penginjil tidak menyebutkan nama perempuan ini dan juga rincian lainnya, tetapi ada satu informasi yang menonjol. Sang perempuan pernah memiliki lima suami, dan saat ini, ia hidup dengan seorang pria lain. Sekali lagi, kita tidak memiliki rincian tentang hal ini. Tampaknya wanita tersebut telah menjalani siklus pernikahan, perceraian, dan pernikahan kembali. Untuk alasan yang tidak diketahui, para mantannya terus menceraikannya (lihat Ul 24, untuk proses perceraian di Hukum Musa).

Mungkin, ada masalah pernikahan yang serius. Mungkin, juga ada masalah dengan kepribadiannya dan juga karakter suaminya, yang membuat mereka tidak dapat hidup dalam hubungan yang permanen dan sehat. Sekali lagi, kita tidak yakin, tetapi kita dapat mengatakan bahwa ia telah melalui masa yang sangat sulit, dan pengalaman ini sangat menyakitkan dan traumatis, sampai-sampai ia memutuskan untuk hidup dengan seorang pria tanpa pernikahan yang sah. Pada saat yang sama, dia harus menghindari bangsanya karena malu, dan menjauhkan diri dari Tuhannya.

Pada awalnya, mendengar bahwa wanita ini memiliki lima pernikahan terdengar sulit dipercaya. Namun, hal ini tidak sepenuhnya mustahil. Namun, yang lebih penting adalah bahwa perempuan Samaria ini telah menjadi cerminan dari sebagian dari kita, atau orang-orang yang dekat dengan kita. Sebelum saya memulai studi saya di Roma, saya melayani sebagai asisten pastor paroki di Surabaya. Berada di paroki di sebuah kota besar, pelayanan saya terkait dengan pernikahan dan keluarga Katolik. Saya beruntung bahwa saya diberi kesempatan untuk memberkati lebih dari lima puluh pernikahan. Namun, sayangnya, saya juga bertemu dengan banyak pasangan yang mencari bantuan untuk menghadapi masalah perkawinan mereka. Ketika saya mendengarkan cerita mereka, saya dapat merasakan rasa sakit, frustrasi dan terkadang kemarahan. Konsekuensinya sangat menyakitkan dan traumatis: relasi menjadi hancur, keluarga retak, dan anak-anak menderita.

Untungnya, kisah perempuan Samaria tidak berakhir dengan tragedi. Yesus secara tak terduga menunggunya dan dengan penuh belas kasih menawarkan pengampunan dan kehidupan yang baru. Meskipun awalnya perempuan itu ragu-ragu, ia mengakui dosa-dosanya dan menemukan Mesias yang sejati. Kita tidak diberitahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya, tetapi kita dapat berasumsi bahwa ia mengubah hidupnya karena ia memiliki keberanian baru untuk menghadapi bangsanya dan mewartakan Yesus.

Ketika saya mendampingi pria dan wanita yang bergumul dengan pernikahan mereka, banyak hal yang sulit dan menyakitkan, tetapi bukan berarti tanpa harapan. Beberapa pasangan akhirnya berekonsiliasi, tetapi ada juga yang menghadapi situasi yang lebih sulit. Namun, terlepas dari situasi yang sulit, banyak yang menolak untuk jatuh dalam dosa, tetapi memilih untuk bertumbuh dalam kekudusan. Saya merasa terhormat bertemu dengan beberapa di antaranya. Meskipun ditinggalkan oleh pasangan mereka, mereka menolak untuk membalas dengan kekerasan. Mereka juga menolak godaan untuk hidup dengan pria atau wanita lain di luar pernikahan, tetapi berkomitmen untuk membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Mereka memiliki hak untuk marah dan kecewa kepada Tuhan karena kondisi yang mereka alami, tetapi mereka tidak membiarkan emosi negatif mengendalikan mereka. Yang lebih luar biasa lagi, mereka memutuskan untuk melayani juga di dalam Gereja.

Mari kita rangkul dan dukung saudara atau sahabat kita yang sedang bergulat dengan pernikahan mereka.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP