Imam dari Ars: Yohanes Maria Vianney
Suasana terpencil dari Desa Ars yang terletak di Negara Prancis hingga kini masih terasa. Sangking terpencilnya desa ini, tidak ada kendaraan umum yang membuka akses menuju ke Ars. Padahal secara geografis, Ars hanya berjarak 6 km dari Kota Sur Saone, kota terdekat yang memiliki stasiun kereta. Saat kami berkunjung ke Ars, kami harus memesan taksi pribadi supaya bisa menjangkau tempat tersebut. Terbayangkan betapa kecil, sederhana dan tenangnya desa yang jauh dari hiruk pikuk kota ini……
Ketika Vianney pertama kali datang ke Ars di musim dingin 1818, dia juga tak tahu di mana desa ini. Dalam perjalanannya sang imam bertanya kepada seorang anak gembala, Antonio: ”Dimanakah Ars?” Sang gembala menjawab, “Itu Bapa…. Terlihat dari sini!” Vianney menjawab, “Karena engkau telah menunjukkan jalan bagiku, aku akan menunjukkan jalan ke surga bagimu.” Kedatangan Vianney ke Ars adalah tugas perutusan pertamanya sebagai seorang imam yang baru saja ditahbiskan
Masa Pendidikan menjadi Imam: Frater yang ‘pas-pasan’
Sebenarnya, ketika masih menjalani pendidikan sebagai calon imam (Biasa disebut ‘Frater’), banyak guru Vianney di seminari tak mengharapkannya untuk meneruskan pendidikan sebagai imam. Mengapa? Banyak kali Vianney harus mengulang ujian, karena tak berhasil mencapai hasil minimal. Meski sudah berusaha keras, ia lebih sering tertinggal dalam pelajaran dari teman-temannya. Kalau jaman sekarang, Vianney ibarat seorang mahasiswa yang sudah terancam drop out karena indeks prestasinya tidak memenuhi syarat minimal
Satu-satunya orang yang mendukung Vianney untuk terus menjadi imam adalah pastor pendamping rohaninya. Sang pendamping rohani mengatakan, “Mungkin ia tak pandai secara intelektual, tapi ia seorang yang taat beribadah, dan baik!”
Tahbisan menjadi Imam: Imam Underdog
Melalui perjuangan panjang dan jatuh bangun, akhirnya Yohanes Maria Vianney menyelesaikan masa studinya sebagai calon imam. Ia ditahbiskan dalam sebuah perayaan kecil dan dia ditugaskan di daerah terpencil karena dianggap tak mampu menangani paroki yang besar. Lebih baik, Vianney ditugaskan di sebuah desa, tempat orang-orang pinggiran yang sibuk mengurus ternak dan tanaman, tak terlalu sibuk dengan soal pendidikan, dan tak dituntut banyak untuk mengubah kehidupan mereka. Inilah awal kisah Yohanes Maria Vianney di Desa Ars!
Imam di Ars : Karya untuk orang kecil
Desa Ars hanya dihuni sekitar 300 orang petani, dan sebagian besar anak-anak mereka tak mengenal sekolah. Di tahun pertama, Vianney dibantu oleh dua orang perempuan, salah satunya bernama Magdalena, yang membantu Vianney membangun sekolah dan mengurus panti asuhan bagi anak-anak di Ars.

Orang makin mengenal Vianney sebagai pendoa dan imam yang menghabiskan banyak waktu di kapel. Kalau umat mencari imam parokinya, mereka pasti akan menemukan sang imam yang sedang berdoa di kapel Maria, tempat doa kesayangan Vianney di dalam gereja. Kotbah-kotbahnya sangat sederhana, dan mudah dipahami para petani dan orang sederhana.

Sering kali dia berkotbah mengulang hal-hal yang sama. Sembari menunjuk pada tabernakel, dia hanya berkata, “Dia ada di sana….dia ada di sana!” kemudian terdiam selama beberapa saat, tak bisa berkata-kata. Dan umat sungguh tahu bahwa Yesus hadir sungguh dalam Ekaristi. Mereka percaya kata-katanya yang sederhana.
Kesetiaan pada Ars : pribadi sejati yang membawa orang berjumpa dengan Yesus sendiri
Selama 41 tahun Vianney melayani desa Ars, sudah tiga kali dia ingin pergi dari desa ini karena merasa pelayanannya sia-sia dan tak menghasilkan banyak hal. Dia merasa tidak berguna bagi umat di Ars. Ia sudah melangkah pergi di malam hari, keluar dari desa itu. Namun ia kembali karena cintanya pada umat di Ars melebih kekecewaannya pada diri sendiri.
Kesucian, hidup sederhana, dan doanya mulai memikat hati orang. Perlahan-lahan hingga akhirnya ribuan orang datang padanya setiap hari dan meminta nasehat rohani pada Vianney. Setiap hari lebih dari dua ribu orang datang padanya meminta pengakuan dosa dan nasehat rohani.
Ternyata, Vianney memiliki kemampuan dalam soal membangun relasi pribadi dengan umat. Ia tidak begitu pandai dalam berbicara di depan public, gugup, dan terlihat kurang meyakinkan. Namun saat perjumpaan pribadi, dia menjadi orang yang sungguh luar biasa berbeda. Ia mampu melihat hati orang, dan memahami kebutuhan terdalam mereka. Seorang perempuan yang mengaku dosa padanya berkata, “Ia bagaikan Yesus sendiri yang berbicara pada kita!”
Akhirnya Vianney kewalahan memikul tugasnya sebagai imam paroki, sekaligus pembimbing rohani umat. Hidupnya habis di ruang pengakuan dosa; sekitar 14 jam setiap hari selama 33 tahun. Tugas paroki di serahkan pada imam lain, dia hanya melayani misa, pengakuan dosa, dan tugas katekese. Ritme hidupnya sangat luar biasa. Pengakuan dosa mulai pukul dua dini hari hingga pukul sembilan malam, diselingi misa harian, makan sekali sehari pada siang hari, ibadat, dan mengajar umat.
Tiga hal utama dalam imamatnya adalah hidup doa, penyelamatan jiwa-jiwa lewat sakramen tobat dan Ekaristi, serta hidup suci menjadi pertanda hidup sebagai seorang imam yang melayani jemaat.
Ternyata, sebagai seorang suci, Vianney masih saja tak pandai berkotbah! Kemampuannya lebih pada keutamaan untuk mendengarkan orang secara pribadi, memahami persoalan mereka, dan memberi nasehat yang personal. Ia bukan orator ulung yang berkobar-kobar memberi semangat umat, tapi ia seorang konselor sejati, yang membawa jiwa orang bertemu Yesus sendiri.
Dalam kunjungannya ke Ars, Paus Yohanes Paulus II menegaskan, “Tubuhnya yang masih utuh sampai sekarang menjadi tanda kekudusan dan pelayanan pada umat yang tak akan habis!”