Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Membangun Identitas Diri yang benar …

Posted by admin on March 31, 2020
Posted in renungan 

1 April 2020

Bacaan Injil Yohanes 8:31-42


31 Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku 32 dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”
33 Jawab mereka: “Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapapun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?”

34 Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. 35 Dan hamba tidak tetap tinggal di dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah. 36 Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.”
37 ″Aku tahu, bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha untuk membunuh Aku karena firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu.
38 Apa yang Kulihat pada Bapa, itulah yang Kukatakan, dan demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapamu.

39 Jawab mereka kepada-Nya: “Bapa kami ialah Abraham.”
Kata Yesus kepada mereka: “Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. 40 Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham. 41 Kamu mengerjakan pekerjaan bapamu sendiri.”
Jawab mereka: “Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah. ”

42 Kata Yesus kepada mereka: “Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku. ”

Renungan

(Dalam krisis seperti pendemic corona ini, semakin jelas siapakah kita dan jati diri kita …)

Salah satu sebab keresahan batin dan kegalauan hidup adalah karena ketidakjelasan Identitas Diri. Atau mungkin lebih tepat ada kerancuan ID.

Identitas Diri atau jati Diri bukanlah suatu tempelan dari luar. Banyak orang memiskinan dirinya dengan memahami bahwa ID-nya melekat pada pekerjaan dan profesinya; ID ku ialah gelar dan prestasi yang kumiliki; ID ku melekat pada ras, Passport… dan semacamnya. Ini tidak keliru. Tapi ID yang menempel dari luar ini tidak akan mengubah kualitas hidup.

Itulah pula yang dilakukan orang Yahudi. Ketika mereka beradu argumen dengan Yesus , aspek keturunan inilah yang mereka desakkan: kami keturunan Abraham, kami anggota bangsa terpilih …

Agaknya ini mirip dengan pemahaman kita terkait identitas. Identitas kita sebagai orang Katolik ialah surat Baptis, anggota komunitas umat, warga paroki tertentu dan seterusnya. Meski tak seluruhnya salah, model ini sangat rapuh dan tidak memberi stamina yang kuat untuk hidup sebagai murid Yesus yang setia. Lalu bagaimana?

Identitas yang benar itu dibangun dari dalam diri kita. Ini ibarat membangun “sense” dalam hidup. Kalau sense itu ada, maka ia akan terungkap dalam perilaku dan ungkapan lahir lainnya. Kalau aku pria, maka kepriaanku itu akan terungkap dalam caraku berpikir, berbicara, berpakaian, bergaul, hobi …dst. Sense yang lebih terkait dengan hati daripada intelek ini, akan terungkap dalam banyak hal secara spontan dan konsisten. Tetapi sense perlu dilatihkan, dikelola, dibiasakan lama …Sama halnya dengan identitas kita sebagai: orang tua, sebagai sahabat, sebagai dokter …

Bagaimana dengan ID-ku sebagai orang Katolik, murid Yesus? Apakah dalam diriku ada sense of being disciple of Jesus? Kalau ada, ia akan terungkap secara spontan dan konsisten dalam bentuk apapun. Ini perlu latihan setiap hari dan tidak pernah selesai. Itulah yang sering disebut sebagai pembatinan ajaran Yesus. Dengan bantuan rahmatNya, perlahan-lahan kita menjadikan nilai Yesus ini menjadi milik kita. Apa yang kita tangkap dalam Kitab Suci, kita beri ruang untuk merasuki hati, pikiran dan perilaku kita.

Itulah yang juga dilakukan Yesus. Sebagai Putera Bapa, Yesus mendengarkan sabda dan kehendak Bapa. Setiap kali Yesus berhenti dari karya pelayanan yang sibuk itu lalu menyendiri untuk semakin menyatukan hatiNya dengan hati Bapa.

Itulah yang kita lakukan sebagai murid Yesus. Kita dengarkan SabdaNya dalam hening, kita kunyah dan cerna dalam hati dan dalam kesibukan hidup. Biarkanlah ajaran dan nilai Yesus itu menjadi kisah jatuh bangun kita sebagai muridNya. Perlahan-lahan, firman yang kita latihkan ini akan membebaskan kita dari berbagai kelekatan daging dan duniawi. Kita akan mengalami bahwa kebenaran dalam sabda ini akan memberi kedamaian sejati. Kemuridan dan iman tanpa kisah, selalu ada bahaya menjadi kemuridan yang semu.

Dalam situasi krisis wabah virus corona seperti sekarang ini, kita lebih bisa mengenali kualitas kemuridan kita pada Yesus …

Life begins at the end of your comfort zone …

Posted by admin on March 30, 2020
Posted in renungan 

Bacaan Injil : Yohanes 8:21-30

8:21 Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak: “Aku akan pergi dan kamu akan mencari Aku tetapi kamu akan mati dalam dosamu. Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang.” 8:22 Maka kata orang-orang Yahudi itu: “Apakah Ia mau bunuh diri dan karena itu dikatakan-Nya: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang?” 8:23 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Kamu berasal dari bawah, Aku dari atas; kamu dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini. 8:24 Karena itu tadi Aku berkata kepadamu, bahwa kamu akan mati dalam dosamu; sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Akulah Dia, kamu akan mati dalam dosamu.” 8:25 Maka kata mereka kepada-Nya: “Siapakah Engkau?” Jawab Yesus kepada mereka: “Apakah gunanya lagi Aku berbicara dengan kamu? 8:26 Banyak yang harus Kukatakan dan Kuhakimi tentang kamu; akan tetapi Dia, yang mengutus Aku, adalah benar, dan apa yang Kudengar dari pada-Nya, itu yang Kukatakan kepada dunia.” 8:27 Mereka tidak mengerti, bahwa Ia berbicara kepada mereka tentang Bapa. 8:28 Maka kata Yesus: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu, bahwa Akulah Dia, dan bahwa Aku tidak berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri, tetapi Aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepada-Ku. 8:29 Dan Ia, yang telah mengutus Aku, Ia menyertai Aku. Ia tidak membiarkan Aku sendiri, sebab Aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya.” 8:30 Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya.

Ada banyak cara memahami dinamika hidup ini. Hampir semua pemahaman itu bersifat dinamis, gerak dan berubah. Misalnya, hidup itu sebuah perjalanan yang mesti dilalui dan diselesaikan. Dan itulah yang dikatakan oleh Gereja: kita ini umat Allah yang tengah berziarah … Kedengaran klise dan sederhana. Tetapi kalau kita maknai dalam keheningan, di balik yang sederhana itu ada kedalaman yang kaya dan tidak mudah ditekuni. Misalnya, perjalanan mengandaikan melepaskan dan meninggalkan sesuatu di masa lalu. Perjalanan harus memiliki arah yang jelas, stamina cukup untuk menyelesaikannya serta perlengkapan memadai. Kita tidak berbicara soal kuantitas, tapi kita berbicara soal kualitas.

Hidup Yesus sering dilukiskan sebagai perjalanan dari Nazareth ke Yerusalem. Untuk itu, Yesus mesti meninggalkan Nazareth: masa dan mentalitas anak dan remaja, kelekatan pada keluarga yang mesti dilepaskan… Yesus juga mesti melewati kawasan Samaria: orang-orang yang tidak sepaham dan tidak setuju dengan cara hidupnya. Yesus juga melewati Yeriko: perjumpaan dengan mereka yang menderita dan butuh bantuan dan hati untuk terlibat. Sebelum masuk Yerusalem, Yesus melewati Betania: tempat keluarga Marta, sahabat Yesus. Itu artinya, sahabat pun perlu dilepaskan untuk bisa sampai ke Yerusalem. Banyak kisah suksesNya yang juga dilepaskan agar fokusnya tetap di Yerusalem …

Itulah ungkapan simbolis bahwa untuk melakukan misi utama Yesus, yaitu melakukan kehendak BapaNya, ternyata penuh perjuangan dan pergulatan. Dan itu semua baru mencapai puncaknya di Yerusalem. Itulah saat Yesus harus mengalami sengsara, dibunuh dan dibangkitkan Bapa …

Sebagai muridNya, perlu dipertegas apakah arah hidup kita sama dengan arah hidup Sang Guru ini? Bagaimana mengetahuinya? Tak ada cara lain kecuali melihat kembali apakah kita punya kemauan dan kemampuan melatihkan dan menjalani ajaranNya. Pasti melewati jatuh bangun. Tak apa, karena kita memang rapuh. Inilah perjiarahan hidup kita sebagai muridNya.

Kalau kita mau seperjalanan dengan Dia, apakah jelas bagi kita apa yang de facto kulepas kan dan dan apa yang de facto kuperjuangkan. Dari sini sudah semakin jelas bahwa setiap saat kita mesti berjerih payah memanggul salib dalam bentuk penyangkalan diri. Dalam perjalanan ini, apakah kita memiliki kemauan dan kemampuan pendisiplinan diri atas kecenderungan dunia, kesibukan yang kronis, nafsu yang serba narsis … demi nilai Injil. Tanpa penyangkalan diri, tidak akan ada pertumbuhan rohani, tak mungkin menyatu dengan Yesus dalam kebangkitanNya. Bukan hanya kebangkitan nanti di akhir jaman, tetapi sekarang ini juga. Karena setiap penyangkalan diri demi pertumbuhan kemuridan kita pada sang Guru, itulah kebangkitan.

Bersama Tuhan kita melakukan kehendak Bapa.

Hukum mana yang kuikuti?

Posted by admin on March 29, 2020
Posted in renungan 

Bacaan Injil : Yohanes 8:1-11

8:1 tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun. 8:2 Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. 8:3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. 8:4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. 8:5 Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?” 8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. 8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Iapun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” 8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. 8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. 8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” 8:11 Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Bangsa Yahudi percaya dirinya sebagai bangsa terpilih. Allah tak akan pernah meninggalkan mereka. Salah satu bentuk penyertaan Allah pada mereka ialah Hukum Taurat. Di sana semua kehendak Allah dituliskan dengan rapi dan detail. Siapapun yang menaati HukumNya, akan selamat. Dan yang melanggar akan dihukum. Maka kerohanian Yahudi erat terkait dengan ketaatan setia pada hukum Tuhan ini. Di sini tak terhindarkan praktek iman dan mentalitas yang dilandasi oleh reward and punishment. Kita tak usah berpikir negatif atas mereka dan mulai mengritik; karena dalam kadar yang berbeda, kita pun melakukan yang sama.

Kasus wanita tertangkap berjinah (kata mereka) menjadi menarik untuk kita. Bagi kaum Yahudi ini bukan lagi bahan untuk didiskusikan, tetapi putusan sudah jelas, yaitu wanita itu harus dirajam sampai mati. Kejam dan sadis. Namun setiap orang Yahudi yang baik, akan setuju soal ini. Lebih takut pada Allah daripada manusia. Dan itulah strategi mereka: mencobai si Guru baru ini, yaitu Yesus. Di mata Yahudi, apapun pilihan Yesus, ia akan salah ….

Kalau Dia setuju pembunuhan, orang akan melihat bahwa ternyata Dia sama saja dengan Yahudi lain; ini sudah cukup membuat para pengikutNya akan bubar. Tapi kalau dia menentang, persepsi umum akan mengatakan bahwa Dia bukan salah satu dari kita, minimal bukan Yahudi yang baik karena melawan hukum Allah, maka Yesus tak berhak mengajarkan apapun pada kita …

Rupanya Yesus mengerti kelicikan para pemuka agama itu. Ini mirip kasus membayar pajak pada kaisar …Ternyata kuasa roh jahat bisa dengan mudah masuk dalam lembaga agama: doktrinnya, lembaga, pimpinannya … Dan arah roh jahat ialah membawa perpecahan, kekerasan dan akhirnya kematian. Ini berlawanan dengan Roh Baik yang selalu membawa kehidupan.

Yesus tidak menjawab mereka dengan adu argumentasi pada mereka; karena kalau itu yang terjadi, Yesus masuk perangkap mereka. Yesus hanya diam. Dalam keheningan biasanya nurani akan bicara. Ternyata Yesus keliru … karena mereka masih ribut. Maka Ia jongkok sambil nulis di tanah … Mereka masih berisik (itulah salah satu cara roh jahat bekerja: berisik, ribut, kacau, seolah darurat …).

Akhirnya Yesus melemparkan bola pada mereka: Okey. Silahkan yang merasa tidak punya dosa, melemparkan batu yang pertama pada wanita itu … Dan kita tahu apa yang terjadi. Kita juga mengerti, mengapa batu pertama yang jatuh ke tanah itu batu terbesar yang dipegang oleh orang yang paling tua … Dan akhirnya yang ada di tempat itu tinggal Yesus, si wanita dan batu-batu…

Hukum biasanya diberikan untuk mereka yang belum dewasa, yang perlu aturan dan diawasi. Makin manusia itu tumbuh dewasa, hukum mestinya tertulis dalam hati. Dan Allah menuliskan hukum kasihNya dalam hati kita: itulah panduan kita. Tanda kalau orang itu dewasa ialah kalau ia tak perlu lagi hukum dan pengawasan dari luar, karena hukum itu ada dalam hatinya. Meski sendirian dan tidak ada pengawasan, ia tak akan korupsi atau selingkuh … karena ia menaati kehendakNya yang tertulis dalam hatinya. Itulah yang dilakukan Yesus: Aku pun tidak menghukum engkau, pergilah dan jangan berdosa lagi …

God’s Loving Touch

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 28, 2020
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Fifth Sunday of Lent [A]

March 29, 2020

John 11:1-45

Among the five human senses, the sense of touch is the most basic and foundation to other senses. The sense of sight needs to be in touch with the light spectrum. The sense of taste requires to be in contact with the chemical in the food. The sense of hearing must receive air vibration or sound waves. This sense makes us a human being, a bodily being. No wonder that many traumatic experiences [even mental problems] are rooted in the lack (or excess) of touch.

God, our creator, understands our fundamental need of touch. Thus, to fulfill our deepest desire, He made a radical choice and became a man like all of us. Because Jesus is true God and true man, the disciples were able to see, hear, touch and feel Him. Yet, He gave a more radical gesture as He offered Himself as food to eat and drink to eat, “for my flesh is true food and my blood is true drink [Jn 6:55].” While the pagan deities were feasting on the human blood and sacrifice, our God does the opposite. He gave up His life so that we may live and feel His love.

Following the example of our Savior, the Church is filled with tangible means and bodily gestures as a sign and symbols of the divine presence. No wonder our churches are equipped with beautiful crucifixes, adorned with flowers, and mystified by the burning candle and incense. A sacrament is no other than the visible sign of the invisible grace, and sacraments really intend to connect to our bodies, like blessed water and oil that touch our forehead, the bread that we consume, and words of forgiveness that we need to hear. Amazingly, the Church is called the body of Christ, and our call is to unite as one people of God around this table of Eucharist.

However, the terrible thing befalls our Church. The pandemic caused by the Covid-19 is basically reversing the movement of our faith. We are facing a reality that touching can mean illness, the gathering may bring disaster, and worship may mean death. For the good of the flock, our leaders are forced to close the churches. We now feel the pain of separation from the Body of Christ.

Perhaps, we are like Lazarus who are experiencing spiritual suffering and death. Perhaps, we are like Martha who is asking the Lord, “why are you not coming sooner?” Perhaps, we are like Mary who cannot do anything but mourns and is reduced into silence.

The Gospel of John tells us that Jesus loves Lazarus, Martha and Mary as His close friends. Yet, Jesus did not rescue Lazarus when he got gravely ill, and even Jesus visited them after Lazarus died four days. Jesus allowed terrible things to take place in the life of Lazarus, Martha, and Mary, not because He wanted to punish them, or He does not care, but because He loves them.

In His love, God allows us to endure the sense of losing God, and experience suffering and even death. God knows too well that through suffering, we may love even deeper, we grow in faith, and re-discover God, alive and even closer. After all, there is no true resurrection, unless we enter the darkness of the tomb.

My deepest gratitude and prayer for our medical personal who give their all in to fight the disease and save lives.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Urbi et Orbi live stream

Posted by admin on March 26, 2020
Posted in renunganvideocast