Minggu ke-24 dalam Masa Biasa [A]
17 September 2023
Matius 18:21-35
Ada tiga mitos tentang pengampunan yang sering kita dengar. Di sini, kita akan mencoba mematahkan mitos-mitos tersebut dan mendalami makna pengampunan yang sejati.
Mengampuni berarti melupakan.
Ini adalah kalimat yang paling sering diulang-ulang tentang pengampunan. Kita mendengar bahwa cara terbaik untuk memaafkan adalah dengan melupakan kejadian yang menyakiti kita serta orang-orang yang melukai perasaan kita. Namun, ini bukanlah pengampunan melainkan pelarian yang nyaman. Faktanya, semakin kita mencoba melupakannya, semakin kita dihantui. Upaya keras untuk menekan pengalaman menyakitkan kita justru akan menyebabkan masalah mental dan spiritual. Pengampunan yang sejati adalah menghadapi dan merangkul kenangan menyakitkan kita dan menghadapi orang-orang yang telah menyakiti kita. Jalan menuju pengampunan seringkali membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menemukan kedamaian sejati.
Memaafkan adalah untuk orang-orang yang lemah.
Tidak ada yang lebih jauh dari kebenaran daripada pernyataan ini. Perasaan alamiah kita ketika kita disakiti adalah kemarahan, kebencian, dan kepahitan; karena perasaan-perasaan ini, kecenderungan alamiah kita adalah membalas dendam atau melarikan diri. Semakin besar rasa sakitnya, semakin kuat kecenderungan tersebut. Inilah sebabnya mengapa untuk melakukan hal yang sebaliknya (memaafkan) membutuhkan kekuatan akalbudi yang besar dan keberanian kehendak. Memaafkan sejatinya hanya untuk mereka yang kuat. Hal lainnya adalah kita perlu membedakan antara balas dendam dan keadilan. Sementara balas dendam berusaha untuk menghancurkan musuh-musuh kita dengan menimbulkan kerusakan sebesar mungkin, keadilan mengupayakan perbaikan, pertobatan, dan rekonsiliasi.
Memaafkan adalah hal yang bodoh.
Bayangan yang biasa muncul ketika kita memaafkan adalah bahwa kita mengizinkan orang lain untuk terus melecehkan kita. Singkatnya, kita menjadi ‘keset’ bagi orang lain. Namun, ini bukanlah pengampunan yang sejati, melainkan kepengecutan. Pengampunan yang sejati dimulai dengan keadilan dan keberanian. Pengampunan juga mencakup pertobatan dari mereka yang menyakiti kita. Pertobatan dapat datang dalam berbagai bentuk. Contoh terbaik adalah kasus Paus Yohanes Paulus II dan Ali Acka yang menembaknya. Paus mengampuni Ali, tetapi Ali masih harus menjalani hukuman di penjara sebagai bagian dari keadilan. Orang yang menyakiti kita terkadang menolak untuk mengubah perilaku mereka, jadi kita harus meninggalkan mentalitas korban (mentalitas keset) dan tidak membiarkan diri kita dilukai berulang kali.
Berbuat salah itu manusiawi, tetapi memaafkan itu ilahi.
Bagian terakhir ini bukanlah mitos, melainkan kebenaran. Secara manusiawi, mengampuni sangatlah sulit karena kecenderungan alamiah kita adalah membalas dendam atau melarikan diri. Oleh karena itu, kita membutuhkan bantuan rahmat untuk mengatasi kelemahan manusiawi kita. Kita ingat Injil hari ini bahwa “Allah telah mengampuni kita dan itulah sebabnya kita mengampuni.” Oleh karena itu, hidup dalam rahmat diperlukan untuk pengampunan. Kita memohon rahmat melalui partisipasi rutin kita dalam Ekaristi dan sakramen rekonsiliasi. Kita juga memohon kepada Tuhan untuk kekuatan dalam doa-doa kita, dan juga berdoa bagi mereka yang menyakiti kita agar mereka bertobat. Mencari dukungan dan nasihat dari teman-teman yang kita percayai dan para profesional yang cakap juga sangat penting karena Tuhan dapat menjadikan mereka sebagai alat-Nya untuk menolong kita.
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP