Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Musa

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 22, 2025
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-3 Masa Prapaskah [C]

23 Maret 2025

Keluaran 3:1-8a, 13-15

Musa adalah salah satu tokoh terbesar dalam Perjanjian Lama. Ia memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir, menjadi perantara perjanjian Sinai, mengajarkan hukum-hukum Allah, dan bahkan melakukan mukjizat. Kehidupan dan ajarannya dicatat dalam empat kitab: Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Namun, ketika kita melihat lebih dalam ke dalam kehidupannya, kita menemukan bahwa kisahnya tidak selalu tentang kehebatan dan kesuksesan. Musa juga memiliki masa lalu yang kelam.

Musa dilahirkan sebagai suku Lewi pada saat Mesir memerintahkan pembunuhan terhadap semua bayi laki-laki Ibrani. Untuk menyelamatkannya, ibunya menyusun rencana untuk menempatkannya di dalam keranjang di Sungai Nil, di mana ia ditemukan oleh seorang putri Firaun. Putri itu menariknya dari air dan menamainya “Musa” (Kel 2:10). Meskipun lahir sebagai orang Israel, Musa diadopsi oleh sang putri dan dibesarkan sebagai bagian dari keluarga kerajaan, menikmati hak-hak istimewa yang disediakan untuk bangsawan Mesir.

Kisah Musa mungkin saja memiliki “akhir yang bahagia” seandainya ia tidak melibatkan dirinya dalam penderitaan para budak Ibrani. Dia bisa saja hidup dengan nyaman sebagai seorang pejabat Mesir, menikahi seorang wanita Mesir, membesarkan sebuah keluarga, dan menikmati masa tua yang berkelimpahan. Namun, dia tidak bisa mengabaikan ketidakadilan yang menimpa bangsanya. Dalam sebuah momen kemarahan, dia membunuh seorang Mesir yang menindas seorang Israel. Musa percaya bahwa dia telah menyembunyikan kejahatannya, tetapi dia salah. Ketika dia mencoba menengahi perselisihan antara dua orang Israel, mereka justru membongkar rahasianya, mengekspos dia sebagai seorang pembunuh. Kehidupannya yang nyaman hancur, dan dia terpaksa melarikan diri dari Mesir. Setelah ditarik dari air, Musa kini menemukan dirinya tenggelam dalam keputusasaan.

Di Midian, Musa memulai hidup baru. Dia melindungi anak perempuan seorang imam Midian dari gangguan para gembala, dan sebagai tanda terima kasih, imam itu menyambutnya dan memberikan putrinya, Zippora sebagai istri Musa. Hal ini menandai kehidupan Musa yang kedua. Meskipun tidak semewah kehidupannya di Mesir, namun kehidupan Musa di sana terasa tenang. Namun, ketika Musa berusia sekitar 80 tahun, Tuhan menampakkan diri kepadanya di semak yang menyala dan memanggilnya untuk menjadi alat-Nya dalam membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Musa sangat meragukan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang pembunuh dan buronan yang telah mengkhianati kebaikan hati orang Mesir, dan juga tidak mempercayai rekan-rekannya sesama orang Israel. Dia juga sudah tua dan puas dengan kehidupannya di Midian.

Terlepas dari masa lalu Musa yang kelam dan penuh dosa, dan juga penuh keraguannya, Allah tetap memilihnya. Mengapa? Karena kisah Musa pada akhirnya bukanlah tentang Musa, melainkan tentang Allah, yang menebus Israel melalui seorang manusia yang tidak sempurna dan rapuh. Namun, Musa bukanlah sekadar alat. Ketika ia melakukan perjalanan bersama Tuhan, ia juga menemukan penebusannya sendiri.

Seperti Musa, kita juga jauh dari sempurna. Kita lemah dan bergumul dengan dosa dan keterikatan yang tidak teratur. Kita gagal sebagai orang tua, pasangan, anak, dan teman. Kita menyakiti orang lain dan diri kita sendiri. Kita meragukan diri kita sendiri dan sering kali merasa kurang. Namun, Tuhan tetap memilih kita. Dia ingin kita menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri dan mengundang kita untuk berjalan bersama-Nya untuk menemukan penebusan. Pada akhirnya, kita hanya dapat bersyukur, karena terlepas dari kehancuran dan ketidaksempurnaan kita, Tuhan menjadikan kita indah.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Nilai apa yang kita temukan saat kita mengingat cerita tentang Musa?  Apakah kita memiliki kesamaan dengan Musa? Jika ya, apakah itu? Apakah kita memiliki masa lalu yang kelam seperti Musa? Apakah kita mengalami kegagalan seperti Musa? Apakah kita meragukan rencana Allah bagi kita, seperti Musa? Apa yang dapat kita pelajari dari Musa ketika ia menerima panggilan Allah? 

Transfigurasi dan Kemah

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 16, 2025
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Hari Minggu Prapaskah ke-2 [C]

16 Maret 2025

Lukas 9:28b-36

Minggu Prapaskah kedua memberikan kita kisah Transfigurasi, di mana Yesus digambarkan memancarkan cahaya, menjadi terang itu sendiri. Dua tokoh terbesar dari Perjanjian Lama, Musa dan Elia, muncul dan bercakap-cakap dengan Yesus. Kemudian, Petrus mengajukan tawaran yang menarik kepada Yesus: sebuah kemah. Tetapi mengapa Petrus tiba-tiba menawarkan sebuah kemah?

Alasan yang praktis adalah karena Yesus dan murid-murid-Nya berencana untuk berdoa di atas gunung, dan mereka mungkin perlu tinggal di gunung untuk waktu yang lebih lama. Mengetahui hal ini, mungkin saja Yesus telah meminta ketiga murid-Nya untuk membawa kemah. Oleh karena itu, tawaran Petrus seharusnya tidak mengejutkan kita, karena kemungkinan besar mereka telah mempersiapkan kemah. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa kemah-kemah itu sekarang ditujukan untuk Musa dan Elia, bukan untuk para murid. Namun, adakah makna yang lebih dalam dari tawaran ini, yang lebih dari sekadar memperpanjang masa tinggal mereka di gunung?

Kemah adalah tempat tinggal sementara dan portabel, biasanya digunakan saat bepergian. Pada zaman dahulu, orang melakukan perjalanan untuk berbagai alasan, termasuk perdagangan, militer, dan ziarah. Pada masa itu, mereka tidak memiliki bus, mobil, atau pesawat terbang. Perjalanan darat sebagian besar dilakukan dengan berjalan kaki, dan para pejalan sering kali perlu beristirahat, terutama ketika jauh dari kota atau desa terdekat. Dalam keadaan seperti itu, kemah adalah sebuah kebutuhan.

Dalam Perjanjian Lama, bangsa Israel melakukan perjalanan dari Mesir ke Kanaan dan menghabiskan waktu kurang lebih empat puluh tahun di padang gurun, menjalani sebagian besar hidup mereka di dalam kemah. Namun, di antara semua kemah Israel, ada satu kemah khusus yang menjadi pusat perkemahan, yaitu kemah di mana Tuhan tinggal di tengah-tengah umat-Nya. Kemah ini secara tradisional disebut “Tabernakel”. Kata “tabernakel” sendiri berasal dari bahasa Latin yang berarti “kemah.” Dalam bahasa Ibrani, kemah Tuhan ini disebut מִשְׁכָּן (miškān), yang secara harfiah berarti “tempat tinggal” dan berasal dari akar kata שָׁכַן (šākan), yang berarti “hadir; tinggal”. Dari akar kata ini, kita mendapatkan kata Shekinah (שְׁכִינָה), yang berarti “Kehadiran” – kehadiran Allah di antara umat-Nya. Allah memilih untuk tinggal di dalam Kemah Suci agar Dia dapat berjalan di antara umat-Nya, dan bangsa Israel dapat mendekat kepada Allah mereka.

Sekarang, kembali ke Injil, tampaknya Yesus menolak tawaran Petrus untuk mendirikan kemah, tetapi pada kenyataannya, Dia hanya menundanya. Yesus tahu bahwa suatu hari nanti, Dia memang akan tinggal di dalam kemah di antara umat-Nya. Dalam Gereja Katolik, Tuhan berjalan bersama umat-Nya sampai akhir zaman saat Dia hadir dalam Ekaristi. Kita juga memiliki sebuah “kemah”, yaitu Tabernakel, di mana Tuhan yang telah bangkit dan berdiam sementara di antara kita, yang memungkinkan kita untuk berkunjung dan dekat dengan-Nya. Namun, kita memahami bahwa kemah ini hanyalah tempat tinggal sementara; tempat tinggal-Nya yang sejati adalah di surga.

Kita juga harus ingat bahwa kita adalah peziarah di dunia ini, yang mendirikan kemah di sini untuk sementara waktu. Kita mungkin memiliki kemah yang indah dan luas, tetapi itu tetaplah kemah. Tempat tinggal kita di dunia ini hanya sementara, dan kita tidak boleh memperlakukan tempat tinggal sementara ini sebagai rumah kita yang kekal dan permanen. Rumah kita yang sejati adalah bersama Tuhan di surga.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Apakah kita menyadari bahwa kita hanyalah peziarah di bumi ini? Bagaimana kita mempersiapkan diri kita untuk mencapai rumah kita yang sejati? Apakah kita mengunjungi Tuhan di dalam kemah-Nya? Bagaimana kita menerima Tuhan ke dalam “kemah” kita?

Roh Kudus dan Padang Gurun

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 8, 2025
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Hari Minggu Pertama Masa Prapaskah [C]

9 Maret 2025

Lukas 4:1-13

Ketika kita memulai masa Prapaskah, kita sekali lagi diajak untuk merenungkan kisah Yesus yang diuji di padang gurun selama empat puluh hari. Namun, Injil Lukas memberikan detail yang menarik: Roh Kuduslah yang membawa Yesus ke padang gurun, tempat di mana Ia berpuasa dan menghadapi si jahat. Apa artinya ini?

Dengan membawa Yesus ke padang gurun selama empat puluh hari, Roh Allah bermaksud agar Yesus menghidupkan kembali peristiwa penting dalam Perjanjian Lama, yaitu perjalanan bangsa Israel di padang gurun. Seperti bangsa Israel, Yesus juga menghadapi tantangan dan kesulitan. Cuaca padang gurun yang sangat keras, dengan panas yang menyengat di siang hari dan dingin yang menusuk tulang di malam hari. Makanan dan air sangat langka, dan padang gurun merupakan rumah bagi binatang-binatang buas yang mengancam kehidupan manusia. Yesus menghidupkan kembali pengalaman bangsa Israel, yang mengalami kondisi yang sama sulitnya. Tetapi selain itu, Iblis melihat kesempatan untuk mencobai Yesus, karena ia tahu bahwa Dia sedang lapar dan lemah secara badani. Ini adalah roh jahat yang sama yang mencobai bangsa Israel di padang gurun. Lukas mengungkapkan tiga pencobaan yang dihadapi Yesus: kenikmatan jasmani (membuat roti), kekayaan duniawi (asal menyembah setan), dan kemuliaan pribadi (dengan mempertunjukkan mukjizat di tempat umum).

Bangsa Israel di padang gurun menghadapi tiga godaan yang sama. Ketika mereka lapar dan haus, mereka bersungut-sungut kepada Allah, bahkan menyalahkan-Nya karena telah membebaskan mereka dari Mesir (Kel. 16). Ketika Musa berdoa di atas gunung, orang Israel menuntut ilah baru, menggantikan Allah yang hidup dengan anak lembu emas-sesuatu yang secara materi berharga dan menarik, tetapi pada akhirnya tidak bernyawa (Kel. 32). Beberapa orang Israel, yang dipenuhi dengan kesombongan, mencari kemuliaan untuk diri mereka sendiri. Harun dan Miryam mencoba mengklaim kepemimpinan atas Musa (Bil. 12), sementara Korah dan para pengikutnya berusaha merebut posisi imam besar (Bil. 16). Dengan memasuki padang gurun dan menghidupkan kembali peristiwa ini, Yesus menjadi Israel yang baru dan sempurna. Secara fisik Dia lemah, diuji, dan dicobai, tetapi Dia tidak jatuh. Dia bahkan mengalahkan Iblis dalam peperangan rohani yang pertama ini.

Injil mengatakan bahwa Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun, di mana Dia “dicobai” oleh Iblis. Apakah ini berarti bahwa adalah kehendak Allah untuk “mencobai” Yesus? Kata Yunani yang digunakan di sini adalah “πειράζειν” (peiratsein), yang dapat diterjemahkan sebagai “menggoda”, tetapi juga “menguji”. “Menggoda” dan “menguji” ini bukan sinonim, tetapi keduanya berkaitan erat karena saat pengujian sering kali mencakup kesempatan untuk godaan. Sama seperti dalam ujian sekolah, kita mungkin merasakan godaan untuk berbuat curang.

Injil mengajarkan kita bahwa Tuhan, dalam hikmat-Nya yang tak terbatas, tidak selalu melindungi kita dari masa-masa sulit, tetapi mengizinkan kita untuk menghadapi ujian hidup. Ujian-ujian ini, seperti kelaparan, masalah keuangan, penyakit, dan relasi yang sulit, sering kali digunakan oleh roh-roh jahat untuk menggoda kita untuk mencuri, menipu, tidak setia, dan menyalahkan Tuhan. Namun, kita harus ingat bahwa Yesus dipenuhi dengan Roh Kudus ketika Dia memasuki padang gurun. Satu-satunya cara untuk bertahan dalam ujian hidup dan melindungi diri kita dari godaan adalah dengan mengandalkan Roh Kudus. Ketika kita mengandalkan diri sendiri, kita pasti akan gagal, tetapi dengan pertolongan Tuhan, kita akan menang, seperti Yesus.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apa saja pengalaman padang gurun kita? Ujian apa yang perlu kita hadapi dalam hidup? Godaan apa yang sering kita hadapi? Apakah kita mengandalkan Roh Kudus di masa-masa sulit ini? Bagaimana kita dapat lebih mengandalkan Tuhan? Hikmat apa yang kita peroleh setelah mengalami pencobaan?

Kasih dan Kuasa

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 22, 2025
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-7 dalam Masa Biasa [C]

23 Februari 2025

Lukas 6:27-38

Yesus mengajarkan kita untuk “mengasihi musuh kita,” tetapi apa artinya ini? Apakah ini berarti kita harus menanggung perbuatan jahat mereka tanpa membela diri? Apakah itu berarti kita harus selalu mengalah pada tuntutan mereka? Apakah itu berarti kita harus melupakan begitu saja apa yang mereka lakukan kepada kita? Syukurlah, Gereja memberikan jawaban kepada kita melalui bacaan pertama kita: kisah Daud dan Saul.

Saul, raja pertama Israel, pada awalnya mendukung Daud sebagai salah satu panglimanya, terutama setelah Daud mengalahkan Goliat. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah melalui berbagai peperangan, Daud menjadi lebih sukses daripada Saul dan bahkan mendapatkan ketenaran yang lebih besar. Merasa terancam oleh popularitas Daud yang semakin meningkat, Saul menyatakannya sebagai musuhnya dan berusaha untuk membunuhnya. Daud terpaksa melarikan diri, dan bersama para pendukungnya, ia melancarkan perang gerilya melawan Saul.

Suatu hari, ketika Saul dan pasukannya mengejar Daud, mereka berkemah untuk bermalam. Daud melihat kemah Saul di dekatnya, dan ketika para penjaga tertidur, Daud diam-diam memasuki kemah Saul dan memiliki kesempatan untuk membunuhnya. Sahabat Daud bahkan mendesaknya untuk mengambil tindakan tersebut, karena mengetahui bahwa Saul telah menyebabkan banyak penderitaan baginya dan anak buahnya. Selain itu, jika Saul terbunuh, Daud dapat mengklaim takhta dan menjadi raja Israel yang baru. Namun, Daud menolak untuk membunuh Saul, karena ia menyadari bahwa Saul masih merupakan raja yang diurapi Tuhan. Dia tahu bahwa hal ini adalah tindakan pengecut. Pada akhirnya, Tuhan memberkati Daud karena telah menunjukkan belas kasihan kepada musuhnya, Saul.

Kisah Daud dan Saul mengilustrasikan bagaimana kita dapat mengasihi musuh-musuh kita. Mengasihi bukan hanya berarti menyukai seseorang, tetapi lebih dari itu, kita harus memilih untuk berbuat baik kepada mereka. Ya, kita mungkin merasa benci kepada musuh kita, tetapi kita masih bisa memutuskan untuk mengasihi mereka dengan tidak menyakiti mereka. Dari kisah Daud, kita juga belajar bahwa mengasihi musuh kita mengandaikan bahwa kita memiliki kuasa atas mereka. Dalam kasus Daud, ia memiliki kuasa untuk mengakhiri hidup Saul. Mengasihi seseorang, termasuk musuh kita, membutuhkan kekuatan dan kuasa.

Kebenaran tentang kasih dan kuasa ini sangatlah penting. Bukanlah kasih yang sejati jika kita hanya memaafkan kesalahan musuh kita karena kita tidak memiliki kekuatan dan kuasa untuk membela diri. Saya sering mengatakan kepada pasangan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bahwa pasrah begitu saja pada tuntutan pasangan yang kasar dan manipulatif bukanlah kasih yang sejati, tetapi kesalahpahaman akan perintah Yesus untuk mengasihi musuh-musuh kita.

Mengasihi orang lain, bahkan musuh kita, adalah untuk mereka yang kuat dan berkuasa. Hanya melalui penggunaan kekuasaan dan otoritas, kita dapat melakukan sesuatu yang benar-benar baik. Tanpa kekuasaan, kita dapat menipu diri kita sendiri dengan berpikir bahwa kita mengasihi musuh-musuh kita, padahal pada kenyataannya, kita hanya mengalah dan pasrah pada tindakan jahat mereka.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan panduan:

Bagaimana kita memahami perintah Yesus untuk mengasihi musuh-musuh kita? Siapakah musuh-musuh kita? Apakah kita mau mengasihi musuh-musuh kita? Bagaimanakah kita dapat mengasihi musuh-musuh kita? Apakah kita yakin bahwa kita mengasihi musuh-musuh kita, atau apakah kita hanya menyerah pada tidakan jahat mereka?

Celakalah Kamu yang Kaya?

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 16, 2025
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-6 dalam Masa Biasa [C]

16 Februari 2025

Lukas 6:17, 20-26

Hari ini, kita merenungkan Sabda Bahagia Yesus menurut Santo Lukas. Tidak seperti versi Matius, di mana Yesus mengucapkan delapan berkat, dalam Injil ketiga, Yesus menyatakan empat berkat dan empat “celaka”. Salah satu pernyataan yang paling mencolok adalah ketika Yesus berkata, “Celakalah orang kaya!” Apakah ini berarti bahwa menjadi kaya secara otomatis membawa kita ke neraka? Apakah Santo Lukas menyimpan kebencian terhadap orang-orang kaya?

Jawabannya adalah TIDAK. Menjadi kaya tidak secara otomatis membawa kita kepada penghukuman, dan Lukas juga tidak membenci orang kaya. Faktanya, Injil yang ditulisnya menjadi bukti pertama akan hal ini. Lukas mendedikasikan Injilnya kepada seorang pria bernama Teofilus, yang seperti telah kita bahas sebelumnya, kemungkinan besar Teofilus adalah orang kaya yang mendukung Lukas dalam usaha penulisan Injilnya. Lukas sangat menghormati Teofilus, dan Teofilus, pada gilirannya, sangat peduli terhadap Lukas dan pelayanannya.

Kedua, penting untuk memahami arti kata “celaka”. Dalam Alkitab, istilah ini tidak berarti kutukan. Sebaliknya, kata ini berfungsi sebagai peringatan keras. Para nabi dalam Perjanjian Lama menggunakan kata “celakalah” untuk memanggil bangsa Israel untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan. Namun, jika orang Israel tetap keras kepala, “celaka” akan menjadi kenyataan, dan mereka akan menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka (lihat Yesaya 5:8-22; Amos 6:1; Habakuk 2:6-20). Dalam Injil, Yesus mengikuti jejak para nabi ini, dengan menggunakan kata “celakalah” sebagai panggilan untuk bertobat dan berubah.

Pada saat yang sama, kita harus membaca kata-kata Yesus secara keseluruhan. Ketika Dia berkata, “Celakalah kamu yang kaya, karena kamu telah menerima penghiburanmu,” jelaslah bahwa “celakalah” tidak ditujukan kepada semua orang kaya, tetapi secara khusus kepada mereka yang menemukan kebahagiaan mereka semata-mata dalam kekayaan mereka. Dengan kata lain, peringatan ini ditujukan kepada mereka yang mengandalkan kekayaan duniawi dan bukan kepada Tuhan. Bahkan orang-orang miskin yang mengidolakan uang dan mengejarnya sebagai segala-galanya dalam hidup pun termasuk dalam kategori “celaka” ini.

Hal yang sama berlaku untuk peringatan-peringatan Yesus yang lain. Celakalah kita jika kita mencari kesenangan jasmani dan kenikmatan duniawi sementara mengabaikan Kerajaan Allah. Celakalah kita jika kita mengejar popularitas dan ketenaran alih-alih berjuang untuk kemuliaan Allah. Kekayaan, kesenangan jasmani, dan ketenaran tidaklah serta merta jahat – semuanya itu bisa saja baik, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai apa yang benar-benar baik. Pada akhirnya, semua hal ini akan lenyap ketika kita mati, dan kita akan berdiri di hadapan penghakiman Tuhan tidak dengan membawa hal-hal ini. Seperti yang pernah dikatakan Ayub, “Dengan telanjang aku keluar dari rahim ibuku, dan dengan telanjang pula aku akan pergi. Tuhan yang memberi dan Tuhan yang mengambil, kiranya nama Tuhan dipuji!” (Ayub 1:21).

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Bagaimana perasaan kita setelah membaca Injil ini? Bagaimana sikap kita terhadap kekayaan dan harta benda duniawi? Bagaimana kita menggunakan kekayaan, harta benda, dan kesenangan jasmani? Bagaimana kita memuliakan Allah dalam hidup ini?

Translate »