Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

A Father Who Never Abandons His Son

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 30, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Fourth Sunday of Lent

March 31, 2019

Luke 15:1-3, 11-32

 

The Parable of the Prodigal Son is one of the most moving stories of Jesus and has been regarded as the all-time favorite. Why? I guess one of the reasons is the story of the Prodigal Son is also our story.

Let us look at some details of the parable especially the father and the younger son. The son demands his inheritance while his father is still alive and well. That’s a no-no! It simply means the son wishes his father’s death, and wills that he is no longer part of the family [see Sir 33:20-24]. The offended father has the authority to discipline the ungrateful son, but he does not! Because of his tremendous love for the son, he allows the son to get what he wants. Like the son, we often offend the Lord, wishing to be away from Him. We choose “the inheritance”, the good things God created like wealth, power, and pleasure above and over Him. We keep abusing His love and kindness, knowing that He is a Good Father.

However, the younger son’s action has a terrible consequence. The farther he is away from his father, the more pitiful his life becomes. The inheritance without the true owner is nothing but a passing shadow. The Jewish young man loses everything, and even becomes the caretaker of pigs, the very animal Jews hate! He becomes so low to the point of eating what the pigs eat. Like the younger son, without God, we become miserable. Yes, we may become richer, more powerful and famous, but we have lost our souls. We never become truly happy because these pleasurable things without God are mere addiction.

The son comes to his sense when he remembers his father and his life with him. Even the father is far away, it does not mean he is idle. He is drawing his lost son through good memories they share. No matter far we are from God, He is constantly pulling us back to Him through His mysterious ways. Yet, it remains our choice to heed the voice of our conscience but ignore it and plunge ourselves further into sin.

The parable also speaks about the father who is patiently waiting, looking forward to the day that his son returns home. The moment he sees his son from distance, without a second thought, he runs toward his son and embraces him and kisses him. The son never thinks that he deserves to be his son once more, and just wants to be treated like a servant. But, mercy precisely is to receive something we do not deserve. The father receives back his young man as his child.

Allow me to close this simple reflection with a story. In 1988, a terrible earthquake hit Armenia. In just four minutes, buildings crumbled, and thousands died. A man immediately ran to a school where his son studied. He had promised to his son that he would be there to fetch him. He saw that the school was now piles of rubbles. He rushed to the site where the class used to be. He started digging barehandedly. Some people tried to help him but stopped afterward. Some people discouraged him, saying, “It is useless. They are dead!” He refused to give up, and continue digging for hours. Then after more than 30 hours of searching, he heard a small voice from the rubble. He shouted, “Arman!” and he heard a response, “Father!” His boy was still alive, and together with him were other pupils. That day, the man had saved 14 children who got trapped. Arman told his friends, “I told you, my father will come no matter what!”

The parable of the Prodigal Son is so beautiful because it does not only reflect who we are but also reveals who our God is. He is a merciful Father who refuses to give up hope on us, however desperate we have become.

 

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

KERAHIMAN TUHAN DAN PENJAHAT YANG DISALIBKAN(audio)

Posted by admin on March 30, 2019
Posted in Podcast 

SOK BENAR, SOK PINTAR DAN SOK SUCI!

Posted by admin on March 29, 2019
Posted in renungan 

Lukas 18:9-14
Sabtu pekan III Prapaskah, 30 Maret 2019

Perumpamaan dalam injil hari ini dikenal sebagai perumpamaan tentang orang Farisi dan Pemungut cukai. Perikop ini hanya terdapat di Injil Lukas dan tidak ditemukan di injil yang lain. Dikisahkan bahwa Yesus mengatakan perumpamaan ini kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain.

Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai. Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak.

Saudari-saudaraku yang terkasih, sebenarnya perumpamaan ini ditujukan bukan hanya kepada orang-orang Farisi, tetapi bagi mereka, barangkali termasuk kita, yang percaya pada diri mereka sendiri bahwa mereka benar dan memandang orang lain dengan jijik. Kita sering terperangkap oleh anggapan pribadi bahwa kitalah sumber kebenaran. Kenyataannya, pembenaranlah yang lebih dominan dalam hidup kita. Kita mudah sekali menyalahkan orang lain, sama persis yang dilakukan oleh orang Farisi.

Semoga kita bukanlah orang yang menganggap diri paling benar dan selalu benar. Dan juga bukan tipe orang yang dengan gampang menghakimi siapa pun dengan semena-mena. Semoga hati kita pun selalu tertuju kepada Tuhan, sumber kebenaran.

Mari kita dengan jujur bertanya pada diri kita sendiri: Apakah isi doa kita termasuk menghina atau mengutuk orang lain? Sudahkah kesombongan mencegah kita bertemu dengan Tuhan? Apa yang akan kita lakukan hari ini?

Tuhan memberkati

APA PRIORITAS TERPENTING BAGI ANDA DALAM MENJALANKAN AGAMA?

Posted by admin on March 28, 2019
Posted in renungan 

Markus 12:28-34
Jumat pekan III Prapaskah, 29 Maret 2019

Seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus mengenai hukum manakah yang paling utama? Yesus memberi jawaban, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”

Apa yang diminta Tuhan dari kita? Jawabannya sederhananya, yakni mencintai apa yang Tuhan cintai! Tuhan adalah cinta dan semua yang dilakukannya mengalir dari cinta-Nya kepada kita. Tuhan mencintai kita terlebih dahulu dan cinta kita kepada-Nya adalah tanggapan atas rahmat dan kebaikan-Nya yang luar biasa terhadap kita. Cinta kepada Tuhan didahulukan dan cinta kepada sesama bertumpu kuat pada cinta kita akan Tuhan. Semakin kita mengetahui cinta dan kebenaran Allah, semakin kita mencintai apa yang Allah cintai dan menolak apa yang dibenci dan bertentangan dengan kehendaknya.

Apa yang membuat cinta kita kepada Tuhan dan perintah-Nya tumbuh di dalam kita? Iman kepada Tuhan dan harapan pada janji-janji-Nya menguatkan kita dalam kasih Tuhan. Iman dan harapan sangat penting untuk hubungan yang baik dengan Tuhan, karena dengan keduanya kita dipersatukan dengan Tuhan. Semakin kita mengenal Tuhan, semakin kita mencintai-Nya dan semakin kita mencintai-Nya, semakin besar kita percaya dan berharap pada janji-janjinya. Tuhan, melalui karunia Roh Kudus, memberi kita kebebasan baru untuk mengasihi sebagaimana yang Dia kasihi (Galatia 5:13). Apakah kita membiarkan sesuatu menjauhkan kita dari kasih Allah dan sukacita melayani orang lain dengan hati yang murah hati?

Orang yang semakin mampu berelasi dengan Allah biasanya juga bisa berelasi dengan manusia secara baik. Orang yang mempunyai pengalaman dan ketrampilan membangun relasi personal dengan Allah lebih potensial bisa membantu orang lain untuk mengalami perjumpaan dan relasi personal dengan Allah serta mencintai Allah.

Cinta Tuhan tidak bisa dipisahkan dari cinta sesama. Keduanya pergi bersama. Cinta kita kepada Tuhan dibuat nyata dan nyata hanya ketika kita menjangkau cinta kepada orang lain.

Akankah cinta kita kepada Tuhan mewujud dalam cinta kita kepada orang lain setidaknya satu orang untuk hari ini?

Tuhan memberkati!

APAKAH AKU AKAN BERSAMA YESUS HARI INI?

Posted by admin on March 27, 2019
Posted in renungan 

Lukas 11:14-23
Kamis pekan III Prapaskah, 28 Maret 2019

Dikisahkan bahwa pada suatu kali Yesus mengusir dari seorang suatu setan yang membisukan. Ketika setan itu keluar, orang bisu itu dapat berkata-kata. Maka heranlah orang banyak.

Dari peristiwa tersebut mengindikasi bahwa tidak ada yang meragukan kekuatan Yesus untuk mengusir dan menyembuhkan. Permasalahan muncul ketika mereka menghubungkan peristiwa tersebut dengan sumber-sumber darimana asalnya kuasa Yesus. Dengan penuh irihati diantara mereka ada yang mengatakan bahwa Yesus mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, sang penghulu setan. Ada pula yang meminta suatu tanda dari surga kepada-Nya, untuk mencobai Dia.

Yesus menjawab tuduhan mereka dengan argumentasi yang menyebabkan mereka diam karena terpojok dan tidak bisa membalas. Yesus mengatakan bahwa setiap kerajaan yang terpecah pasti binasa. Demikian pun dengan setiap rumahtangga yang terpecah-pecah pasti akan runtuh.

Saudari-saudaraku yang terkasih, Injil hari ini mengajak kita untuk terus berbuat baik betapapun kita sering disalah mengerti oleh orang lain. Kita juga diajak untuk mawas diri dengan meminimalisir kencenderungan memojokkan orang-orang lain sebagaimana dilakukan oleh lawan-lawan Yesus. Dan, pengikut Kristus, kita tidak boleh setengah-setangah dalam memilih kebaikan di atas kejahatan. Kita harus berani membuat pilihan yang baik.

Pengarang injil Lukas menutup Injil hari ini dengan kata-kata Yesus, “Siapa yang tidak bersama Aku dia melawan Aku dan siapa yang tidak mengumpulkan bersama Aku dia mencerai-beraikan.” Hanya bersama atau bersatu dengan Yesus, kita akan kuat mengalahkan kuasa iblis baik dalam diri kita mau pun dunia sekitar kita. Tanpa kesatuan dengan Yesus Tuhan, kita akan lemah dan bahkan tidak berdaya menghadapi kuasa kejahatan yang berasal dari kuasa iblis. Oleh karena itu Yesus sangat berharap agar banyak orang hidup bersama Dia.

Saudari-saudaraku terkasih, dalam masa Prapaskah ini, kita bisa menjadikan pertobatan sebagai sarana untuk bersama dengan Tuhan, mendengarkan dan membuka hati untuk TUhan, mohon pengampunan, serta berusaha hidup baru dengan tidak berbuat dosa.

Semoga Tuhan memberkati dan menguatkan kita dan kasihNya senantiasa hadir dalam hidup kita. Tuhan memberkati!

Translate »