Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

PERINGATAN SANTA MARIA, BUNDA GEREJA

Posted by admin on May 31, 2020
Posted in renungan 

Senin, 1 Juni 2020

Yoh 19:25-34

            Satu hari setelah Hari Raya Pentakosta, Gereja memperingati Bunda Maria adalah Bunda Gereja. Paus Fransiskus mempublikasikan peringatan ini pada tanggal 03 Maret 2018. Namun demikian pemahaman mengenai Santa Perawan Maria, Bunda Gereja sudah dituliskan dalam Lumen Gentium oleh Paulus VI pada tahun 1964. Bunda Maria sebagai Bunda Gereja dapat dipahami dalam kaitannya bahwa Yesus Kristus menyerahkan hidupNya bagi Gereja, umat Allah. Gereja adalah Tubuh Kristus sendiri. Oleh karena itu Bunda Maria, yang adalah Bunda Sang Penebus, menjadi Bunda Gereja, Bunda kita semua. Peneguhan Yesus mengenai Maria sebagai Bunda Gereja juga dapat kita temukan dalam Yoh 19:27, “kemudian kataNya kepada muridNya :’Inilah ibumu!’ Peringatan ini mengingatkan kita juga bahwa hidup kita sebagai seorang kristiani bersumber dari Misteri Salib Kristus, penyerahan diri Yesus yang kita kenangkan dalam Perayaan ekaristi dan Bunda Maria adalah Bunda dari Sang Penebus yang menyelamatkan umat manusia.

            Panggilan Maria sebagai Bunda Allah tidak dapat dipisahkan dari misi Yesus sendiri. Dengan menjadi Bunda Penyelamat, Maria dianugerahi Roh Kudus untuk menjalankan panggilan itu. Ketaatan dan kerendahan hati Bunda Maria yang ia nyatakan dalam jawaban “YA” untuk melaksanakan kehendak Allah, menjadi sangat penting dalam sejarah keselamatan. Melalui teladan hidup Bunda Maria : kesetiaan, ketaatan dan kerendahan hati dalam menjalankan panggilan Allah, kita pun dipanggil untuk berjuang dalam menghidupi suatu nilai ketaatan, kesetiaan, kerendahan hati, kerelaan untuk  berkorban dan berdaya tahan dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Oleh karena itu marilah kita memohon Rahmat Roh Kudus agar mampu taat dan setia dalam menghayati panggilan kita sebagai seorang kristiani.

“Allah Bapa yang ada di surga, Engkau telah mencurahkan Rahmat Roh KudusMu kepada kami semua melalui Kebangkitan PuteraMu Yesus Kristus. Bantulah kami untuk menghidupi Rahmat itu seturut teladan Bunda Maria, yang setia dan percaya kepada kehendakMu

The Birthday of the Church

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on May 30, 2020
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Pentecost Sunday [A]

May 31, 2020

John 20:19-23

“Happy Birthday!” today is the feast of Pentecost, and today is the birth of the Church. We should rejoice because our Church is getting older by age, but getting ever stronger by vitality and creativity in preaching the Good News. Yet, the question is why we celebrate the birthday of the Church on the Pentecost Sunday?

To answer this, we need to understand the biblical meaning of the celebration of Pentecost and what took place to the disciples on the day the Holy Spirit descended upon them. The word Pentecost means the fiftieth, and the feast of Pentecost takes place on the fiftieth day after Sunday Easter. However, the Christian feast itself is originally a Jewish religious festival: the feast of Shavuot or the Feast of Weeks. The feast took place seven weeks after the grand celebration of the Passover. Together with Passover and the Feast of Tabernacle (Booths), Pentecost are the major pilgrimage festivals that require any male Jews to make their way to Jerusalem. Initially, the feast is agricultural in nature. The people of Israel gave thanks for the successful harvests and offered the fruits of their harvest to the Lord. Yet, it also gained a religious meaning. In the feast of Shavuot, the Israelites commemorate the giving of the Law and the making of the covenant with the Lord God in Mount Sinai.

This explains why many people from different nations gathered in around the place of the disciples: they were pilgrims of Pentecost. This answers a more fundamental question about the identity of the Holy Spirit: Why did the Holy Spirit have to present Himself as fire, and no other image like a dove? If we go back to the Sinaitic event itself, we are going to find something remarkable. When God made His covenant and handed down His Law, He appeared Himself to entire Israel as fire [see Exo 19:18]. The Holy Spirit appeared in fire simply because He was the same God who manifested Himself in Sinai. The Pentecost Sunday reveals the fundamental truth about the Holy Spirit that the promised Paraclete is divine.

In Sinai, the Israelites received the Law and entered into a covenant with the Lord. God embraced them and made them “a priestly kingdom and a holy nation [see Exo 19:6]. Israelites became a nation that belongs to God. In the new Pentecost, the Holy Spirit came upon the disciples and instilled in them the New Law of Love. He fashioned them to be new People of God [see Pet 2:9]. The new community of God’s family has been born!

Yet, these new people are even greater. The Holy Spirit empowered the disciples to preach the Good News to people from different nations and languages. The Pentecost reversed the negative effect of the tower of Babel [see Gen 11:1-9]. When people were so proud of themselves and tried to become like God with their power, different languages turned out to be a curse that divides them. Yet, with the Holy Spirit that transformed the hearts and instilled humility, languages become a blessing that unites the different people.

We thank the Holy Spirit that gave birth to the Church. We give thanks to the Holy Spirit that has called us to part of the new people of God.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Merenungkan Sabda

Posted by admin on May 29, 2020
Posted in renungan 

“Masih banyak hal-hal lain yang dibuat oleh Yesus, tetapi jika semua itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu (Yoh 21: 25)

Dari manalah kita mulai membaca Kitab Suci? ini pertanyaan yang sering diajukan orang saat akan mulai membaca Sabda Allah. “Baca saja dari Injil matius sampai Yohanes! jawab saya. Membaca Injil biasanya lebih memudahkan orang mengikuti cerita karena sudah terbiasa mendengarkannya saat Perayaan Ekaristi.

Untuk memahami sabda Tuhan, hanya ada satu cara yaitu membacanya dengan penuh ketekunan dan kesetiaan. Santo Ambrosius mengatakan bahwa membaca Kitab Suci seharusnya ada dalam suasana yang tenang, tidak tergesa-gesa dalam membaca dan dibaca kata per kata untuk mengaktifkan kemampuan manusiawi dalam merefleksikannya. Membaca adalah langkah pertama untuk mendengar Dia yang berbicara kepada manusia dan menunjukkan kasih-Nya.

Yohanes dari Salib (1542-1591) mengatakan, “Sabda Tuhan tidak akan diterima dengan iman jika ia masuk melalui otak bagian atas dan tidak mengakar dalam hati.” Dengan membaca, orang diajak untuk fokus pada sabda Tuhan dan tidak membiarkan pikirannya mengembara kemana-mana. Distraksi biasanya terjadi karena orang terlalu aktif dalam menanggapi firman Tuhan. Di sini, orang hanya perlu membaca dan membiarkan Tuhan sendiri yang berbicara. Dengan membangun komunikasi yang pasif terhadap firman Tuhan, ia membiarkan sabda Allah mengubah pikiran, sikap dan perilakunya. 

Tahap membaca diawali dengan mempersiapkan kutipan teks Kitab Suci, persiapan batin (hening sejenak), bersyukur kepada Allah atas karunia sabda-Nya dan mohon pemahaman atas apa yang akan Tuhan sampaikan. Jika doa dilaksanakan di rumah, orang perlu mengkondisikan suasana rumah dengan memilih tempat (ruangan), waktu dan meminta anggota keluarga yang lain supaya menjaga ketenangan. Pengkhususan ruang, waktu dan anggota keluarga menunjuk pada rasa hormat kepada Kitab Suci dan wahyu ilahi yang tersimpan di dalamnya.

Dalam tradisi Benediktin, pembacaan dilakukan dengan lantang dan penuh perhatian (mata melihat dan telinga mendengarkan). Perhatian yang penuh dan total memungkinkan orang masuk ke dalam realitas ilahi yang belum pernah dialaminya. Orang meninggalkan kesibukannya dan masuk ke dalam realitas ilahi yang terbentuk oleh firman yang dibaca terus-menerus. Orang tidak perlu berfikir teks atau frase mana yang bermakna baginya. Namun, ia membiarkan kalimat atau frase yang dibaca akan menembus kedalaman hati dan tinggal tetap di sana. Ketika sabda itu berdiam dalam hatinya, orang menemukan dengan sendirinya makna baru dibalik teks tersebut.

(Renungan dikutip dari Skripsi, “Pertemuan Macapat Jawa dan Macapat Injil dalam Lectio Divina” – oleh Fr. Brian Kurniawan, Agustinus.

Terikat seperti Petrus

Posted by admin on May 28, 2020
Posted in renungan 

“Amin, amin Aku berkata kepadamu, “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.”

Kata “Amin..Amin..” menguatkan kalau katai-kata ini berasal dari Yesus untuk menyatakan bagaimana masa depan Petrus. Mungkin saat itu Petrus tidak ingin mendengarnya! Saat itu sepertinya Petrus masih terlihat muda, penuh energi dan bersemangat untuk mengikuti Yesus. Namun Yesus mengingatkan kalau di saat tuanya, Petrus akan merentangkan tangan dan dibawa ke tempat yang tidak diinginkannya yaitu kematian. 

Dalam kisah tradisi Kristen Perdana, Petrus mati sekitar tahun 66-67 Masehi saat dia disalibkan di masa Kaisar Nero. Petrus tidak hanya akan mengulurkan tangan di palang salib tapi juga ia akan menderita sama seperti Kristus yang tersalib. Di saat muda Petrus bisa pergi ke mana saja, ia bisa memakai pakaian apa saja. Namun akan tiba saatnya, orang akan menyeretnya dan salib menjadi penutup badannya. Dengan cara itulah kematian Petrus menjadi jalan untuk memuliakan Tuhan. 

Kesaksian awal tentang kematian Petrus berasal dari Santo Klemen yang menulis surat tahun 96. Ignatius dari Antiokia juga menulis karya dan kepemimpinan Petrus di Roma. Para uskup Roma awal juga menyebutkan bahwa Petrus adalah uskup Roma yang pertama. Setelah Petrus mati, santo Linus menggantikannya sebagai uskup Roma. 

Penggalian pertama kali dibawah Gereja Basilika st. Petrus dilakukan sekitar bulan Mei 1939. Dalam penggalian awal itu, sisa-sisa pusat kota Roma kuno ditemukan. Selama 10 tahun penggalian, arkeolog menemukan makam abad 2-4 Masehi. Patung-patung Nero ditemukan diseputarnya. Disamping makam orang Roma, ada pula makam kuno kelompok Kristen perdana. Di salah satu pemakaman itu tertulisa dalam Bahasa latin : Petrus rogat Iesus Christus pro sanctis hominibus chrestianis ad corpus suum sepultis. Artinya, Petrus berdoa pada Yesus Kristus bagi orang-orang Kristen yang dimakamkan dekat tubuhnya. Artinya, di daerah itu pastilah ada makam Petrus. 

Sebenarnya perkataan Yesus itu tidak hanya diberika pada Petrus. Namun setiap dari kita akan menjadi tua, dan orang lain akan menuntun hidup kita. Kebebabas kita akan berkurang. Perjalanan kita akan melambat. Tenaga kita juga tidak bertambah hebat. Itulah saatnya kita belajar berpasrah dan menyerahkan orang lain mengikat kita makin kuat beriman dalam Kristus. 

Mengenal lebih dalam

Posted by admin on May 27, 2020
Posted in renungan 

Ya Bapa yang adil, memang dunia tidak mengenal Engkau. Tetapi Aku mengenal Engkau dan mereka ini tahu bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku!

Saya masih ingat saat ikut acara Married Encounter di Sacramento. Ada 5 tahap komunikasi dalam relasi antara suami dan istri. Pertama adalah komunikasi formal. Komunikasi formal merupakan komunikasi yang sekedar basa-basi. Komunikasi ini bersifat dangkal karena hanya basa-basi berisi tentang keadaan yang dialami baik oleh suami maupun istri. Contoh dari komunikasi formal misalnya bertanya tentang bagaimana kabar dari suami ataupun istri.

Kedua adalah komunikasi tentang orang lain. Sesuai dengan namanya, komunikasi tentang orang lain terjadi antara suami-istri yang hanya membahas tentang apa yang terjadi di luar diri mereka. Bentuk komunikasi ini misalnya membicarakan tentang situasi yang terjadi di lingkungan masyarakat atau tentang berita yang dilihat ataupun didengar oleh suami maupun istri. Komunikasi mereka hanya bersifat informatif.

Ketiga adalah komunikasi tentang diriku tetapi lebih bicara dari logika kepala. Komunikasi yang terjadi antara suami dan istri dalam hal ini hanya berupa pendapat, ide dan pemikiran dari salah satu pihak yang dikomunikasikan kepada pihak yang lain. Komunikasi ini lebih bersifat diskusi dan lanjutan dari komunikasi sebelumnya.

Keempat disebut sebagai komunikasi tentang diriku dari isi hatiku. Komunikasi ini bersifat pribadi. Sifatnya yang pribadi menjadikan komunikasi ini lebih sebagai sharing. Sharing tentang pengalaman yang dialami yaitu, pengalaman suka maupun duka yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk komunikasi ini memungkinkan orang untuk melibatkan rasa perasaan di dalamnya. Sharing akan membantu pasangan untuk berkomunikasi dari hati ke hati agar dapat memahami satu dengan yang lain serta lebih mengenal dan memahami.

Terakhir yang paling inti adalah komunikasi tentang diriku sampai pada hal yang mendalam dan intim. Komunikasi ini menjadi komunikasi yang bersifat intim. Intimitas itu menumbuhkan kepercayaan satu dengan yang lain. Kepercayaan menjadi hal yang sangat penting dalam komunikasi ini sehingga dalam kepercayaan orang bisamenjadi sahabat dekat yang tahu satu sama lain dan saling mendukung. 

Mengenal Yesus Kristus dalam doa menjadi tempat manusia u ntuk membangun kesatuan, persahabatan dan relasi yang mendalam dengan Kristus. Orang tidak hanya bercerita yang formal dan informasi saja dalam doanya. Namun doa menjadi tempat untuk membuat diri kita dekat dan mengenal Yesus lebih intim. 

Translate »