Hari Raya Peringatan Santo Hieronimus
Ayub 3: 1-3, 11-17, 20-23
Lukas 9:51-56
Pernahkah anda merasa begitu marah, begitu frustrasi terhadap orang lain sampai anda ingin berdoa supaya Tuhan memberi hukuman pada mereka? Atau anda berharap kalau lebih baik orang itu tidak pernah lahir? Mungkin seperti itulah perasaan murid Yesus, Yakobus dan Yohanes, dua bersaudara yang di Injil Markus disebut “anak guruh” karena mereka mudah kehilangan kesabaran. Ketika Yesus, sang guru yang mereka sanjung, ditolak di sebuah desa di Samaria, mereka langsung ingin desa itu binasa. Kadang bukan orang lain yang kita hakimi, melainkan kita sendiri. Karena suatu tindakan atau kejadian kita merasa begitu bersalah atau menderita sampai kita ingin lebih baik mati saja. Nabi Ayub dalam bacaan pertama juga turut merasa demikian. Penderitaannya begitu besar sampai dia berpikir lebih baik dia tidak pernah lahir ke dunia.
Dalam Injil kita lihat bahwa Yesus tidak menuruti permintaan Yakobus dan Yohanes, malahan Dia menegur mereka. Orang Samaria dalam masa itu adalah musuh bebuyutan orang Yahudi, mereka dianggap sesat dan menistai agama Yahudi yang “benar”. Tapi kita lihat dalam bab berikutnya di Injil Lukas, Yesus bukan menghakimi mereka tetap malahan memberi perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati. Dalam kisah Ayub, Tuhan senantiasa mendampinginya dalam segala penderitaanya. Pada akhirnya Tuhan berbicara pada Ayub dan memulihkan keadaannya.
Kardinal Walter Kasper dari Jerman baru-baru ini mengatakan bahwa Gereja tidak bisa hanya menghakimi, tapi harus pertama-tama mencoba mengerti dan kemudian mendampingi setiap orang. Fokus pikirannya adalah kerahiman atau kemurahan hati, suatu konsep yang sering dikemukakan oleh Paus Fransiskus. Terkadang orang yang membuat kita marah atau frustrasi susah kita pahami. Hal paling mudah adalah menghakimi mereka dan langsung memvonis mereka salah dan kita benar sehingga mereka patut dihukum.
Hari ini kita mengenang Santo Hieronimus. Hidup di abad keempat, Hieronimus terkenal dari karyanya Vulgate Latin, terjemahan Alkitab ke bahasa Latin yang dia terjemahkan langsung dari bahasa aslinya. Saat itu Perjanjian Lama dalam bahasa Latin adalah terjemahan dari “Septuaginta” yang artinya 70. Dalam sejarahnya, Septuaginta dianggap karya 70 ahli kitab Yahudi yang menterjemahkan kitab-kitab Perjanjian Lama dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani. Hieronimus berpikir bahwa akan lebih akurat kalau dia menterjemahkan langsung dari versi Ibrani asli ke Latin. Hal ini membuatnya ditentang oleh banyak tokoh gereja, termasuk St. Agustinus, yang beranggapan bahwa versi Septuaginta adalah tradisi suci yang diinspirasi Roh Kudus lebih dari versi asli dalam bahasa Ibrani. Dalam prosesnya, Hieronimus dan Agustinus sempat berdebat panas tentang hal ini. Walaupun demikian, keduanya tetap berkomunikasi dan menghormati satu sama lain. Mereka tidak langsung menghakimi, tetapi mencoba mengerti pendapat masing-masing.
Hari ini baiklah kita berdoa pada Tuhan meminta rahmat untuk sabar dan bisa mengerti orang lain. Semoga kita bisa berjalan bersama mereka, walaupun jalan itu penuh batu dan lubang penderitaan dan kesalahpahaman. Seperti Ayub, semoga kita selalu diingatkan bahwa kita tidak sendiri, tapi Tuhan selalu menyertai perjalanan kita.

