Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Selamat Hari Ibu!

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 31, 2019
Posted in renungan 

Perayaan Santa Perawan Maria, Bunda Allah

1 Januari 2020

Lukas 2: 16-21

Beberapa dari kita mungkin bertanya-tanya mengapa Gereja menempatkan perayaan Hari Raya Maria, Bunda Allah pada tanggal 1 Januari, atau pada Tahun Baru? Orang mungkin menduga bahwa Gereja ingin kita menghadiri misa pada hari pertama tahun ini. Bagi mereka yang ingin berlibur panjang, mungkin mengecewakan, tapi bagi sebagian dari kita yang ingin diberkati selama setahun yang baru ini, pergi ke Gereja adalah pemikiran yang bagus. Namun, pasti ada sesuatu yang lebih dalam dari hal-hal ini

Salah satu alasannya adalah bahwa Gereja mengundang kita semua untuk merenungkan tahun lalu dengan rasa syukur ketika kita menghitung berkat-berkat kita, dan dengan demikian, kita dapat melihat ke depan dengan iman dan harapan. Dalam Injil, Maria digambarkan sebagai seseorang yang selalu menyimpan hal-hal di hati dan merenungkannya (lihat Luk 2:19). Seperti Maria, kita diminta untuk berhenti sebentar pada hari penting tahun ini dan merenungkan karya Tuhan dalam hidup kita.

Alasan lain yang saya pikir lebih mendasar adalah bahwa sudah sepantasnya untuk mengakhiri oktaf Natal dengan Bunda Allah. “Oktaf” berarti delapan, dan dalam liturgi Gereja, itu berarti delapan hari perayaan berturut-turut memperingati peristiwa liturgi besar di Gereja seperti Paskah dan Natal. Seperti oktaf Natal berlangsung dari 25 Desember hingga 1 Januari. Jika pada hari Natal, kita merayakan kelahiran Yesus, pada akhir oktaf Natal, kita merayakan wanita yang melahirkan Yesus. Tanpa seorang ibu yang menerima bayi di dalam rahimnya, mengandung bayinya selama sembilan bulan, dan mempertaruhkan hidupnya dalam proses kelahiran, seorang bayi tidak akan dilahirkan. Singkatnya, tanpa Maria, tidak akan ada Yesus, sang Firman yang menjadi daging.

Menjadi seorang ibu adalah bagian alami dari menjadi seorang wanita, namun meskipun alami, tetap merupakan proses yang sangat sulit bagi seorang wanita. Saya bukan seorang wanita, tetapi saya dapat mengatakan bahwa menjadi seorang ibu adalah kehidupan yang penuh pengorbanan karena untuk menjaga Rm. Bayu saja dapat menyebabkan banyak tekanan darah tinggi! Memang benar bahwa tidak semua ibu sempurna. Beberapa memiliki kelemahan dan kesalahan, tetapi fakta bahwa seorang ibu telah memutuskan untuk melahirkan anaknya, ia telah mempertaruhkan nyawanya dalam proses kelahiran.

Sekarang jika menjadi ibu dari manusia adalah memberani dan tangguh, bagaimana dengan menjadi ibu Tuhan? Kita belajar dari Maria sendiri. Dia hamil di tanpa jelas siapa bapaknya, dan ini dapat menyebabkan orang melempari dia dengan batu sampai mati. Dia melahirkan Yesus di kandang kotor tanpa bantuan tenaga medis professional. Ini sangat berbahaya, dan dapat menrenggut hidupnya. Dia membesarkan Yesus yang sering melampaui pemahamannya. Pada akhirnya, dia akan menyaksikan dengan matanya sendiri bagaimana putra satu-satunya dihina, disiksa, dan disalibkan. Betapa pengalaman yang menyakitkan untuk menguburkan anak Anda sendiri! Nubuat Simeon bahwa pedang akan menembus jiwa Maria berubah menjadi kenyataan (lihat Luk 2:35).

Memang, Maria paling diberkati di antara wanita, bahkan di antara semua manusia, tetapi keberkatannya tidak berarti hidup yang mudah. Padahal, justru sebaliknya! St Teresa dari Avila pernah bertanya kepada Tuhan, mengapa Ia memberikan begitu banyak penderitaan kepada orang-orang kudus-Nya. Tuhan menjawab bahwa itu adalah cara Dia memperlakukan teman-temannya. Kemudian, St Teresa menjawab, “Itulah sebabnya Anda tidak memiliki banyak teman!”

Menjadi seorang ibu adalah berkat, tetapi berkat Tuhan tidak berarti hidup yang mudah. Berkat Tuhan berarti kesempatan dan kemampuan untuk mengasihi. Berkat adalah saat kita mengasihi  ditengah-tengah tantangan dan cobaan hidup, memberi sesuatu yang berharga, dan berkorban sampai akhir. Pada Tahun Baru ini, kita merayakan keibuan Maria, juga keibuan setiap wanita. Itu adalah Hari Ibu di Gereja. Kita berdoa untuk setiap ibu agar mereka diberkati dengan karunia kasih.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Firman Menjadi Manusia

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 30, 2019
Posted in renungan 

Hari Ketujuh pada Oktaf Natal

31 Desember 2019

Yohanes 1: 1-18

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. (Yoh 1:14)”

Natal adalah salah satu hari yang paling menggembirakan di dalam Gereja. Tapi, apa yang membuat kita gembira Natal ini?

Yohanes Penginjil menggambarkan kelahiran Yesus hanya dalam satu kalimat, “dan Firman itu telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita.” Ini adalah kalimat yang sangat pendek namun penuh daya. Firman menjadi manusia sejati. Dia menghirup udara yang kita hirup, merasakan apa yang kita rasakan, dan bekerja untuk mencari nafkah seperti halnya banyak dari kita. Dia adalah manusia seperti kita dalam segala hal kecuali dosa (lihat Ibr 4:15).

Namun, manusia ini juga sangat berbeda dengan kita, karena dia adalah Firman. Siapakah Firman ini? Pada awal Injilnya, Yohanes penginjil memberi kita deskripsi Firman yang sangat singkat tetapi penuh kekuatan. Firman bersama Tuhan sejak awal, dan Firman itu adalah Tuhan. Dengan keberanian, Yohanes penginjil menyatakan bahwa Firman ini adalah Allah Putra, pribadi ilahi yang kedua dari Tritunggal Mahakudus. Dia telah ada bersama dengan Allah Bapa dalam kekekalan, dan hanya melalui Dia, semua ciptaan ada. Saat Maria menerima Kabar Sukacita, Firman yang Maha Kuasa ini menjadi manusia, dan pada hari Natal, Dia lahir di Betlehem.

Memang benar bahwa kisah kelahiran Yesus di Lukas dan Matius lebih hidup dan panjang dibandingkan dengan Yohanes. Matius memiliki tiga orang Majus, dan Lukas memiliki malaikat dan gembala. Namun, meski singkat, hanya Yohanes yang menghubungkan Natal dengan sang Firman. Natal mencapai makna terdalamnya saat kita dapat menemukan sang Firman, Putra Allah, yang memutuskan untuk dilahirkan sebagai manusia. Lalu mengapa Tuhan memilih untuk menjadi seorang manusia, rapuh, rentan terhadap rasa sakit dan penderitaan, dan fana seperti kita?

Satu-satunya jawabannya adalah cinta kasih. Tuhan adalah kasih (1 Yoh 4: 8) dan Tuhan sangat mengasihi kita, sehingga Dia memberi Putra-Nya bagi kita. Tuhan sangat mencintai kita, sampai-sampai Ia menjadi salah satu dari kita, dan dengan menjadi seorang manusia, kita dimungkinkan merasakan kasih-Nya dengan cara yang paling radikal. Kita bisa membahas berbagai teori cinta dengan panjang lebar, tapi tanpa tindakan nyata, cinta kasih itu tidak ada artinya. Jadi, cinta kasih Tuhan diwujud nyatakan dengan cara yang paling konkret saat Ia menjadi manusia. Kita mungkin tidak mengerti mengapa Ia mencintai kita seperti ini, tapi Tuhan seperti seorang ibu yang sangat mencintai bayi yang baru lahir, akan melakukan apapun untuk memastikan kesejahteraan sang bayi, bahkan sampai mengorbankan nyawanya sendiri. Natal memang merupakan salah satu peristiwa terindah karena disini kita bisa merasakan dan menghargai kasih Tuhan dengan cara yang paling radikal. Itu adalah karunia cinta kasih, dan hanya cinta sejati yang bisa membuat kita benar-benar bahagia.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hana

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 29, 2019
Posted in renungan 


Hari keenam di Oktaf Natal

30 Desember 2017

Lukas 2: 36-40

Injil berbicara tentang seorang wanita. Dia bernama Hana. Lukas memberi identitas yang cukup lengkap tentang Hana. Kita tahu nama ayahnya, kita pun diberitahu suku asalnya. Lukas juga bahkan menyebutkan usia perkawinannya sebelum suaminya meninggal, dan berapa tahun dia telah menjadi seorang janda. Tak sampai di situ, Lukas juga menjabarkan apa yang dilakukan oleh Hana di dalam Bait Allah.  Dia disebut sebagai seorang nabi yang menunggu penebusan Yahwe.

Hana berasal dari suku Asher, dan suku Asher adalah salah satu suku Israel yang telah hilang saat Asyur menghancurkan kerajaan Israel. Hana menjadi simbol dari mereka yang menantikan Mesias yang akan membawa kembali suku-suku Israel yang hilang.

Hana juga adalah seorang janda. Para janda pada umumnya adalah kaum yang paling lemah, miskin dan paling rentan pada penindasan karena mereka tidak lagi memiliki pelindung. Di sisi lain, Hana adalah seorang Yahudi yang saleh dan mencintai rumah Tuhan. Dia bahkan tidak pernah meninggal Bait Allah dan menghabiskan hidupnya untuk berdoa dan berpuasa. Hana menjadi simbol bagi orang-orang lemah dan tertindas pada zamannya yang hanya bisa mengantungkan hidupnya pada Tuhan.

Namun, Hana diberi rahmat oleh Tuhan untuk menjadi nabi-Nya. Di dalam Kitab Suci, jarang sekali kita melihat seorang nabi yang adalah perempuan, tetapi Tuhan tidak membuat tugas kenabian terbatas pada kaum laki-laki atau berdasarkan garis keturunan. Setiap orang yang diberi rahmat dan khidmat Tuhan, bisa menjadi seorang nabi-Nya. Secara khusus, Hana diberi rahmat untuk melihat rencana penebusan Tuhan terjadi di dalam hidupnya. Tidak heran jika Hana dapat dengan segera mengenali Yesus yang adalah Mesiah yang akan membawa penebusan terhadap bangsa Israel.

Hana menjadi teladan bagi kita semua untuk tetap percaya kepada Tuhan, walaupun hidup seolah-olah tidak menemukan banyak arti dan tanpa tujuan jelas. Hana menjadi contoh bagi kita untuk tidak pernah menyerah walaupun kita harus menunggu dalam waktu yang cukup lama dari penebusan Tuhan. Hana juga menjadi inspirasi bagi kita bahwa hanya karena kesetiaan dalam doa dan imanlah, kita dimampukan untuk melihat keselamatan dalam hidup kita di dalam bentuk yang paling tidak terduga.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Not a Perfect Family

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 29, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Feast of the Holy Family

December 29, 2019

Matthew 2:13-23

If we were given the choice to choose our parents, what kind of parents would we like to have? Perhaps, some of us want to have rich parents. Some of us may desire to have beautiful or genius parents. Some of us may wish to be born in a royal and politically influential family. These are our usual dreams. Yet, surprisingly, these are not the options that God made when He chose His parents. In His beautiful wisdom, God selected Mary and Joseph of Nazareth.

Joseph was a descendant of acclaimed King David, but the Davidic Kingdom was the only thing of the past in the time of Joseph. He was also a carpenter and despite hardworking, this profession just gave enough to survive. Mary was an ordinary young woman from an unknown village called Nazareth. Joseph and Mary were simple if not poor people living within the time where most Israelites were suffering from the oppression of the Roman empire. In the eyes of the world, this couple was nothing.

However, our God is the God of surprises, and He has a hobby to upset “the established world’s order.” For God, the crucial criteria to be His parents are not wealth, popularity, or noble line. God has no need of these things. So, what is the basis of His choice?

The fundamental criterium is faith in God. Joseph and Mary possessed nothing of this world, but both are the man and woman of faith, or the man and woman of God. Joseph was called as the “righteous man,” meaning he was a man who knew the Torah by heart and obeyed them faithfully. Joseph loved God and His laws. Moreover, when Gabriel appeared to Joseph and revealed the plan of God, Joseph immediately got up and followed Angel’s instruction without any question asked. Mary did basically the same thing. When Gabriel told her about God’s plan that she would be the mother of God, Mary did not understand, but she did not simply give her nod, but she accepted God’s design as her own. Joseph and Mary knew well that the moment they participated in God’s way, they had to surrender their own plans, dreams, and hopes. Their lives were practically thrown into the unknown. Yet, their faith is bigger than their fear or pride, and they believed that God’s way is always the best way. These are the kind of parents whom God chose.

Like Joseph and Mary, I do believe that the first attitude that any parents have is faith in God. Every child is a gift, yet this gift will challenge and change the parents who receive them. As a child enters the life of their parents, husband and wife shall also enter the life of sacrifice. Sometimes, I am sudden by the decision of some Catholic couples who refuse to have children. We understand that it is difficult to raise children, but our refusal to accept a gift from God might point to our lack of faith, even to our selfishness, our obsessiveness to our plans, career, and ambitions.

God does not need a perfect couple to raise His Son, He rather chooses a man and woman of faith.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Bukan Keluarga Sempurna

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 29, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Pesta Keluarga Kudus

29 Desember 2019

Matius 2: 13-23

Jika kita diberi pilihan untuk memilih orang tua kita, orang tua seperti apa yang kita inginkan? Mungkin, sebagian dari kita ingin memiliki orang tua yang kaya. Beberapa dari kita mungkin berhasrat untuk memiliki orang tua yang berupa cantik, tampan atau berotak jenius. Beberapa dari kita mungkin ingin dilahirkan dalam keluarga kerajaan dan berpengaruh secara politis. Ini adalah impian-impian kita yang sangat wajar. Namun, yang mengejutkan, ini bukanlah pilihan yang Allah buat ketika Dia memilih orang tua-Nya. Dalam kebijaksanaan-Nya yang indah, Allah memilih Maria dan Yusuf dari Nazaret.

Yusuf adalah keturunan Raja Daud yang terkenal, tetapi Kerajaan Daud sudah tidak ada di zaman Yusuf. Dia juga seorang tukang kayu dan meskipun bekerja keras, profesi ini hanya cukup untuk bertahan hidup. Maria adalah seorang wanita muda biasa dari desa yang tidak dikenal bernama Nazareth. Yusuf dan Maria adalah orang sederhana, bahkan orang miskin yang hidup di masa ketika sebagian besar orang Israel menderita karena penindasan kekaisaran Romawi. Di mata dunia, pasangan ini bukan apa-apa.

Namun, Tuhan kita adalah Tuhan memberi kejutan, dan Dia memiliki hobi untuk mengacaukan “tatanan dunia yang mapan.” Bagi Tuhan, kriteria penting untuk menjadi orang tua-Nya bukanlah kekayaan, popularitas, atau darah. Tuhan tidak membutuhkan hal-hal ini. Jadi, apa dasar dari pilihan-Nya?

Kriteria mendasar adalah iman kepada Tuhan. Yusuf dan Maria tidak memiliki apa pun di dunia ini, tetapi keduanya adalah pria dan wanita beriman, atau pria dan wanita Allah. Yusuf disebut sebagai “orang yang tulus hati,” yang berarti dia adalah orang yang mengenal Hukum Taurat dan menaati mereka dengan setia. Yusuf mencintai Tuhan dan hukum-hukum-Nya. Terlebih lagi, ketika Gabriel menampakkan diri kepada Yusuf dan mengungkapkan rencana Tuhan, Yusuf segera bangkit dan mengikuti instruksi Malaikat tanpa ada pertanyaan. Maria pada dasarnya melakukan hal yang sama. Ketika Gabriel memberi tahu dia tentang rencana Tuhan bahwa dia akan menjadi ibu Tuhan, Maria tidak mengerti, tetapi dia tidak hanya memberikan persetujuannya, tetapi dia menerima rancangan Tuhan sebagai miliknya sendiri. Yusuf dan Maria tahu betul bahwa saat mereka mengambil bagian dalam jalan Tuhan, mereka harus menyerahkan rencana, impian, dan harapan mereka sendiri. Namun, iman mereka lebih besar daripada ketakutan atau kesombongan mereka, dan mereka percaya bahwa jalan Tuhan selalu merupakan jalan terbaik, meski mereka tidak mengerti. Ini adalah tipe orang tua yang Tuhan pilih.

Seperti Yusuf dan Maria, saya percaya bahwa sikap pertama yang harus dimiliki setiap orang tua adalah iman kepada Tuhan. Setiap anak adalah karunia, namun karunia ini akan mengubah orang tua yang menerimanya. Ketika seorang anak memasuki kehidupan orang tua mereka, suami dan istri juga akan memasuki kehidupan pengorbanan. Terkadang, saya sedih mendengar keputusan beberapa pasangan Katolik yang menolak untuk memiliki anak. Kita memahami bahwa tentunya sulit untuk membesarkan anak-anak, tetapi penolakan kita untuk menerima karunia dari Tuhan mungkin menunjukkan kurangnya iman kita, bahkan keegoisan kita, obsesi kita terhadap rencana, karier, dan ambisi kita.

Tuhan tidak membutuhkan pasangan yang sempurna untuk membesarkan Putranya, Ia lebih memilih seorang pria dan wanita yang memiliki iman.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »