
Makam St Katharine Drexel
Posted by admin on October 31, 2015
Posted in videocast | 1 Comment

Makam St Katharine Drexel
Posted by admin on October 31, 2015
Posted in renungan
Bacaan I : Roma 11:1-2,11-12,25-29
Bacaan Injil : Lukas 14:1,7-11
Di Melbourne, ada kisah kecil menarik menyangkut dua Katedral besar di sana. Katedral St Paulus dan Katedral St Patrick. Katedral St Paul, Katedral Gereja Anglikan, terletak di pusat kota, di seberang Stasiun Kereta Api Flinders dan Federation Square. Di masa lalu, pastilah Gereja ini sangat menonjol dengan keindahan dan kemegahannya. Kini, di sekelilingnya tak sedikit bangunan tinggi sehingga jadi nampak agak tersembunyi. Sekitar 15 menit jalan kaki ke arah Timur, berdirilah bangunan megah Katedral Gereja Katolik, St Patrick. Dalam perspektif waktu pendiriannya, gereja ini terletak di luar kota, seperti mendapat tempat kelas 2. Seorang teman menyatakan, itu terjadi karena dulu orang Katolik juga diperlakukan seperti warga kelas 2. Sekarang, tak ada gedung tinggi di sekelilingnya. Yang menonjol adalah taman-taman asri. Alhasil, Gereja megah St Patrick terlihat menonjol dengan keindahannya.
Ada nasehat yang mengatakan: kilat akan menyambar pohon yang paling tinggi. Dalam hidup sehari-hari, hal ini bisa berarti jika kita meonjolkan diri, kita akhirnya akan direndahkan oleh orang lain atau oleh kehidupan. Dan jika kita pakai waktu kita untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, tak akan pernah kita bisa dipuaskan. Di sisi lain, kalau kita merendahkan diri dan mengerjakan tugas-tugas yang dipercayakan pada kita dengan tenang, kita bisa mendapatkan kepuasan dari Tuhan yang mempercayakan tugas-tugas tersebut. Dan kita akan diangkat tinggi oleh Tuhan Alah kita.
Pada akhir segalanya, kita tak akan ditimbang dari banyaknya tepuk tangan dan desah kagum yang kita terima dalam hidup kita, tetapi dari sejauh mana kita mencerminkan Tuhan Yesus Kristus dalam hati dan budi kita. Inilah kriteria kesuksesan bagi kita umat Kristiani. Dan mereka yang merendahkan diri, akan ditinggikan.
Bacaan 1 : Roma 9:1-5
Bacaan Injil : Lukas 14:1-6
Akar kata Farisi (prushim), dekat dengan akar kata suci (qodesh), keduanya berarti disisihkan, dipisahkan. Tersebar di seluruh negeri, mereka mengajar di rumah-rumah ibadat, menjadi penjaga hukum Musa dan pelaksanaannya. Interpretasi atas tradisi serta hukum tertulis dan lesan berkembang dan memiliki wibawa yang tak kalah penting dibanding hukum pokok yang menjadi inspirasinya.
Pertanyaan Yesus pada mereka yang “mengamat-amati Dia dengan seksama” dalam Injil hari ini menggugat pelaksanaan hukum yang lupa akan rohnya: Diperbolehkan menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak? Pertanyaan sulit yang membuat mereka kehilangan akal dan kata untuk menjawabnya. Jika jawabannya adalah “Ya”, mereka jadi kelihatan lemah dalam pelaksanaan hukum yang mereka junjung tinggi. Jika mereka katakan “Tidak”, mereka jadi nampak kejam pada Si Sakit yang berharap mendapatkan mukjijat kesembuhan.
Yesus pun memegang tangan orang sakit itu, menyembuhkannya, dan menyuruhnya pergi. Dengan tenang Yesus lalu melemparkan satu tantangan lagi,pertanyaan refleksi dengan mengambil contoh kasus sehari-hari soal menyelamatkan nyawa anak atau lembu. Dalam hal nyawa, hari Sabat atau bukan hari Sabat tak lagi relevan.
Ketegangan antara pendekatan keadilan dan belas kasih selalu menjadi topik menarik untuk dibahas. Tak sedikit murid-murid Yesus di jaman sekarang ini mengambil peran seperti orang-orang Farisi yang ditantang Tuhan Yesus: hukum adalah segalanya. Di sisi lain tak sedikit yang sangat menekankan belas kasih dan mengikut arus yang mengabaikan atau bahkan menyerang otoritas hukum.
Peringatan Paus Fransiskus lewat Bula yang mencanangkan “The extraordinary Jubilee of Mercy” mungkin dapat memberikan pencerahan bagi kita: Keadilan Tuhan adalah belas kasihnya (no 20). Salib Kristus adalah penghakiman Allah bagi semua dan seluruh dunia, karena melalui salib suci ini Ia menawarkan pada kita kepastian cinta dan hidup (no.21). Pada akhirnya, hanya kasih semata yang sungguh penting. Karena dalam kesempatan lain Yesus pun berpesan: “Pergilah dan belajarlah apa artinya –Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan”.
Bacaan I : Efesus 2:19-22
Bacaan Injil : Lukas 6:12-16
Sinode Keluarga di Roma telah ditutup Sabtu minggu lalu. Dalam sambutannya, Paus Fransiskus mengingatkan kita untuk kembali “berjalan bersama (Syn=bersama; Hodos=jalan)” membawa cahaya Injil, pelukan Gereja dan belas kasih Allah ke setiap bagian dunia, setiap keuskupan, setiap komunitas, setiap situasi. Ditandai dengan keterbukaan, diskusi, konsultasi dan debat yang lebih terbuka, Sinode ini kembali menjadi menyingkap kelompok-kelompok yang berbeda pandangan, bukan saja karena arah kecenderungan teologi yang berbeda, tetapi juga adat kebiasaan dan budaya yang berbeda dari belahan dunia yang berbeda.
Sinode yang merayakan kebinekaan seraya mencari jawaban yang lebih tepat untuk menghadapi persoalan-persoalan keluarga jaman ini, menjadi cermin dari dinamika kemuridan sejak saat Yesus memanggil kedua belas rasul. Santo Simon yang kita peringati hari ini berasal dari kelompok orang-orang Zelot. Mereka adalah kelompok nasionalis fanatik, militant dan legalistik yang sangat menjunjung tinggi pelaksanaan hukum Yahudi. Mereka tercatat sebagai kaum pemberontak yang tak segan mengangkat senjata melawan penjajah Roma. Kita bisa bayangkan, setidaknya saat dia mulai berjalan bersama Yesus dan kesebelas rasul terpilih yang lain, sangat mungkin ia merasakan ketegangan dalam menerima Mateus Sang Pemungut Pajak yang sangat dibenci kaum Yahudi karena bekerja untuk penjajah Romawi. Bersama murid-murid yang lain, ia belajar bahwa Hukum Kasih adalah dasar dan tujuan tertinggi segala hukum dan peraturan. Yesus mengajarkan bahwa pewarta kabar gembira haruslah pergi menjumpai orang-orang di tempat mereka untuk kemudian barulah mengajak pada pertobatan dengan penuh kasih.
Santo Yudas Tadeus dikenal sebagai penulis salah satu surat dalam Perjanjian Baru dan penolong untuk masalah-masalah yang tampaknya tidak ada harapan atau jalan keluarnya. Lewat suratnya, kita dapat melihat persoalan Gereja perdana dalam memperjuangkan ajaran yang benar melawan ajaran sesat (Yudas 3,4), melawan perpecahan dalam Gereja (19) antara lain lewat mendalami pemahaman akan ajaran para rasul (20).
Perbedaan bisa memecah belah seperti yang ditulis Santo Yudas. Bahwa ada ribuan Gereja yang berbeda di dunia menunjukkan peringatan Santo Yudas benar adanya. Tetapi perbedaan bisa juga memperkaya satu sama lain. Yesus memanggil dan mengutus dua belas rasul yang berbeda bahkan bisa bertentangan kepribadian dan latar belakang sosialnya, menyatukan dan memberi tugas yang sama: mewartakan Injil. Hal ini mengingatkan bahwa setiap kita dipanggil untuk menjalanan peran masing-masing dan bekerja sama satu sama lain, saling melengkapi dan mendukung, dalam membangun Gereja. Gereja hendaklah menjadi rumah bagi segala macam orang. Dan seperti para murid, kita tidak diundang Tuhan Yesus karena kita kudus, tetapi untuk memampukan kita bertumbuh sebagai Kristus-Kristus yang lain, menjadi orang-orang kudus. St Simon dan St Yudas, doakanlah kami..
Bacaan I : Roma 8:18-25
Bacaan Injil : Lukas 13:18-21
Seorang mantan tentara Perancis muda berusia 22 tahun memasuki biara Agustinian di pegunungan Alpen. Sayangnya, ia tak cukup cakap dalam usahanya untuk menguasai bahasa Latin. Ketinggian pegunungan Alpen jauh lebih mudah ditaklukkannya daripada puncak-puncak ilmu sintaksis dan tata bahasa Latin. Ia pun mengundurkan diri. Terpukul karena kehilangan impiannya, lemah letih lesu, ia jatuh sakit. Dalam permenungannya ia sadar, hidup membiara bukanlah panggilannya. Ia pun kembali menekuni keahliannya membuat jam dan berdagang batu mulia. Dengan pembawaannya yang pendiam, ia menjadi salah satu orang kecil di kota kecil Alencon.
Seorang perempuan muda dari keluarga tentara bermimpi untuk menjadi biarawati mengikuti jejak kakak perempuannya. Ia ditolak. Alasannya, ia tak cukup sehat. Memang ia punya masalah dengan sistem pernafasannya. Selain itu, sakit kepala datang dan pergi menderanya. Ia pun kembali menekuni keahlian tangannya dan menekuni bisnis pembuatan pernik-pernik kecil renda.
Dua orang yang pernah bermimpi untuk menekuni hidup rohani sebagai biarawan biarawati itu, akhirnya bertemu dan sepakat menyatukan hati dalam perkawinan, 13 Juli 1858. Selama 15 tahun kemudian, mereka dikaruniai 9 anak. Dalam salah satu suratnya, Sang Perempuan muda mengungkapkan, “Kami hidup hanya untuk mereka, merekalah sumber segala kebahagiaan kami.” Anak-anak kecil mereka menjadi tumpuan harapan dan sukacita mereka.
Cinta dan pelayanan pada anak-anak itu tak lepas dari tragedi. Dalam tempo tiga tahun, mereka kehilangan 3 anak bayi serta seorang anak perempuan berusia 5 tahun, meninggal karena bermacam sebab. Dalam kepedihan yang mendalam, Sang Ibu berpegang teguh pada imannya, bahwa mereka akan bertemu lagi dengan anak-anak kecil mereka di rumah abadi di surga.
Anak yang terakhir lahir 2 Januari 1873. Kecil, rapuh dan lemah. Saat Sang Bayi berusia 3 setengah bulan, Sang Ibu sudah kehilangan harapan untuk menyelamatkannya. Namun Tuhan berkehendak lain. Si Kecil dapat melampaui masa-masa sulitnya dan tumbuh segar penuh daya hidup. Cinta kasih yang dicurahkan dua orang tua saleh lewat hal-hal kecil hidupsehari-hari, memberi kekuatan rohani dan inspirasi bagi anak-anaknya. Kelima anak itu akhirnya mewujudkan impian dan doa Sang Ibu: kelimanya menjadi biarawati. Dan Si Bungsu Kecil, menuliskan rahasia Jalan Kecil, jalan kekudusan, yang mengantarnya menjadi salah satu orang kudus Gereja. Orang mengenalnya sebagai Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus, Santa Theresia dari Lisieux. Kedua orang tuanya, Louis dan Zelie Martin, gagal mewujudkan kerinduan menjadi biarawan-biarawati. Namun lewat cinta dan pengabdian mereka dalam hal-hal kecil hidup sehari-hari dalam keluarga, Gereja dan masyarakat, Tuhan memanggil mereka untuk menjadi Orang Kudus, dikukuhkan oleh Gereja 18 Oktober 2015.
Kedua perumpamaan dalam Injil hari ini menyatakan bahwa iman sekecil apa pun, dapat memberi dampak penting dalam hidup yang lebih luas. Awal yang kecil, bisa jadi menuntun kita pada hasil yang sangat penting di kemudian hari. Kita tak pernah tahu. Louis dan Zelie tak pernah kehilangan iman mereka saat impian-impian mereka buyar, saat keempat anak mereka satu demi satu dipanggil dalam usia sangat belia. Ketekunan iman, harapan dan kasih yang mereka curahkan dalam hal-hal kecil hidup mereka, menjadi sumber kekudusan yang mengalir keluar, menjadi seperti pohon di mana burung-burung bersarang dan berteduh di dalamnya, menjadi seperti ragi yang mengembangkan kebajikan, juga lewat kader-kader tangguh mereka: anak-anak yang meneruskan semangat mereka. St Louis dan St Zelie, doakanlah kami.