Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Di Dalam Dia Ada Kekuatan

Posted by admin on August 31, 2021
Posted in renungan 

Selasa, 31 Agustus 2021

Lukas 4:31-37

            Yesus Kristus hadir memberikan harapan bagi manusia. Harapan yang dihadirkan oleh Yesus  bersumber dari Allah Bapa yang mengasihi umat manusia. Itulah alasan, mengapa Yesus Kristus harus hadir diantara manusia? Karena kasih Allah yang besar sehingga Yesus Kristus, Putera-Nya hadir di muka bumi ini. Dengan demikian, inisiatif pertama datang dari Allah untuk menyelamatkan umat manusia, melalui Yesus Kristus. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. “(Yoh 3:16).

            Untuk melaksanakan Misi-Nya Yesus Kristus harus menanggalkan segala-galanya, bahkan Dia yang adalah Tuhan mau menjadi manusia dan menjadi hamba,  agar bisa dekat dengan manusia, dan bahkan Dia rela menderita dan wafat di atas kayu salib. “Yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai miliki yang harus dipertahankan.”(Filipi 2:6). Dengan demikian dihadapan Allah, setiap orang berharga, sekalipun setiap orang tidak terlepas dari kelemahan, dan dosa. Karena itu, Dia datang bukan untuk mereka yang sudah benar, tetapi mereka yang berdosa dan lalu mau bertobat. “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.”(Luk 5:32).  Apa yang dirindukan Yesus adalah setiap orang diselamatkan dan mengahdirkan keselamatan bagi sesamanya.  Dan cara untuk menerima keselamatan tersebut adalah dengan mau percaya dan mengikuti-Nya. Setelah seseorang percaya kepada Kristus, maka mereka siap untuk diutus menjadi penjala jiwa-jiwa manusia, agar semakin banyak orang yang bisa diselamatkan. “Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”(Mrk 1:17).

            Tidak sedikit orang masih ragu untuk percaya kepada Kristus Yesus. Jika setiap orang mau membuka dirinya dan melihat semua karya-karya Yesus, maka ia akan mengatasi keraguannya. “Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.”(Yoh 14:11). Jika seseorang belum mengenal secara pribadi dengan Yesus, maka  akan sulit mereka untuk percaya. Walaupun roh-roh jahat melawan Yesus, tapi mereka bisa mengenal siapa itu Yesus, dari mana Dia datang. Namun, mengapa manusia yang berakal budi dan memiliki hati, sulit untuk mengenali Yesus Kristus? “Di dalam rumah ibadat itu ada seorang yang kerasukan setan dan ia berteriak dengan suara keras: “Hai Engkau, Yesus orang Nararet , apa urusan-Mu dengan kami? Engkau datang untuk membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau : Yang Kudus dari Allah.”(Luk 4: 33-34).

            Lawan dari kebaikan adalah kejahatan. Oleh karena itu jika orang-orang telah percaya dan mengikuti Kristus Yesus, maka mereka akan menerima Kebaikan Allah, sekaligus mereka akan memanggul salib bersama Kristus, yaitu siap ditolak oleh mereka yang lebih suka kejahatan daripada kebaikan. Roh jahat bisa masuk ke siapa pun, jika mereka ragu, bimbang, dan  tidak memilki fondasi yang kuat; yaitu kedekatannya dengan Tuhan Yesus. “Apabila roh jahat keluar dari manusia, ia pun mengembara ke tempat-tempat yang tandus mencari perhentian, dan karena ia tidak mendapatkannya, ia berkata: Aku akan kembali ke rumah yang telah kutinggalkan itu.”(Luk 11:24). Setiap orang yang dekat dengan Tuhan Yesus berada bersama dengan-Nya, dan oleh karena-Nya, ia menjadi kuat untuk melawan segala bentuk kejahatan.

                                                                                                                                                            Serawai, Rm. Didik, CM

SUKACITA DATANG DARI ALLAH

Posted by admin on August 30, 2021
Posted in renungan 

Senin, 30 Agustus 2021

Lukas 4:16-30

            Allah telah hadir di dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus, untuk menyampaikan kabar baik, pengharapan dan keselamatan kepada manusia. Tentang kedatangan Yesus Kristus, telah diramalkan dan ditulis di dalam Kitab para nabi. “Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”(Luk 4:20-21).

            Setelah Yesus hadir ke bumi, Dia berkeliling untuk mengajar dan mewartakan Injil Kerajaan Allah kepada semua orang dan memilih 12 rasul yang diutus untuk ambil bagian dalam karya keselamatan kepada manusia. “Kemudian naiklah Yesus ke atas bukit. Ia memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya dan mereka pun datang kepada-Nya. Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil.”(Mat 10:13-14).  Namun ternyata, tidak semua orang menanggapi secara positif tawaran kasih Allah lewat Yesus Kristus tersebut. Mereka memiliki alasannya sendiri, sehingga mereka menolak Tuhan Yesus Kristus. Bahkan mereka yang menolak adalah tokoh-tokoh Yahudi; para ahli Taurat, orang Farisi, dan juga orang-orang yang sekampung dengan Yesus Kristus. “Mereka bangun, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak untuk melemparkan Dia dari tebing itu.”(Luk 4:29).

            Menolakkan terhadap Yesus Kristus menjadi tanda bahwa tidak semua siap menerima tawaran kasih dan keselamatan dari Allah. Akan tetapi Yesus Kristus tetap menjalankan Misi Bapa-Nya untuk mewartakan kabar suka-cita dan harapan bagi umat manusia. Banyak orang yang akhirnya percaya kepada Yesus Kristus. “Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum, sebuah kota di Galilea, lalu mengajar di situ pada hari-hari Sabat. Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab perkataan-Nya penuh kuasa.”(Luk 4:31-32). Karya kasih dan kebaikan Allah tidak akan bisa dihalangi oleh sebagian orang yang menolak, sebab rencana Allah lebih tinggi dari pada apa yang dipikirkan oleh manusia. Dan apa yang menjadi rencana Allah adalah baik adanya untuk keselamatan manusia, bukan rencana yang menghancurkan, tetapi rencana untuk menumbuhkan harapan. “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”(Yeremia 29:11).

            Keterbukan hati setiap orang menjadi sangat penting untuk bisa menerima pengharapan dan damai dari Allah melalui Yesus Kristus Sang Penebus.  Sampai kapan Yesus Kristus mengetok dan menunggu setiap pribadi manusia untuk membukakan pintu untuk Dia? “Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.”(Wahyu 3:20). Alangkah bergembira dan bersuka-cita, walaupun hanya satu orang saja yang percaya kepada Tuhan Yesus, bahkan seluruh isi sorga akan turut bersuka-cita. “Aku berkata kepadamu: Demikian juga aka nada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena Sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”(Lukas 15:7).

                                                                                                                                                      Serawai, Rm. Didik, CM

The Law, Traditions dan Heart

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 28, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

22nd Sunday in Ordinary Time [B]
August 29, 2021
Mark 7:1-23

The Pharisees came to scrutinize Jesus, and these were not just ordinary Galilean Pharisees who often debated with Jesus. They were the leading Jewish authority, and they came to pass judgment on Jesus: whether Jesus is an orthodox Jew or a false prophet. Yet, we may ask, who are these Pharisees who often collided with Jesus and His disciples? The pharisaic movement was one of the Jewish religious movements in first-century Palestine. Though not always in a good relationship, they were contemporaries with other groups like the Sadducees, Zealots, and Essenes. However, Pharisees were the most popular because many of their members were Jewish laypeople compared to other groups.

What is unique to the Pharisees? We need to understand first about the ceremonial purity in the Old Testament. The Law of Moses commanded those men and women who were entering the sacred place like the Temple to be ceremonially clean. If they were in contact with dead bodies, they became unclean and could not enter the holy ground. Thus, they were required to do ceremonial washing to clean this impurity. The purpose of this ceremonial purity is not about morality [what is right or wrong] but to train the Israelites to see and honor the sacred places as God’s dwellings.

The Pharisees were zealous for the Law, and they were responsible for bringing this ceremonial purity to the context of the Israelite household. They wanted to be ceremonially clean, not only in the Temple but also when they entered their houses, when they ate and drank, and even when they went to bed. The thing was that Moses never gave laws about this pharisaic thing. Thus, as a solution, the teachers or the rabbi came up with their set of rules and regulations. Eventually, these became the (pharisaic) traditions of the elders.

Going back to Jesus, we note that what the Pharisees from Jerusalem discovered was Jesus did not observe those traditions. They did not find any shred of evidence that Jesus violated the Law of Moses. Indeed, Jesus was fulfilling the Law. Jesus then criticized the Pharisees for being over-zealous on traditions to the expense of the Word of God. Jesus reminded the true essence of the Law, which is the formation of the heart. The laws and the traditions are good if they bring us closer to God. They become twisted when they chain us and keep us far from God. It would be useless if we are ceremonially clean, but our hearts are impure and sinful.

Jesus’ reminder to the Pharisees is always timely and proper to us. Do we keep our religion as mere collections of traditions, rituals, and customs that keep us from the Lord? Do we read the Word of God to help us understanding and loving the Lord better or simply to put up a show? Do we gather images, statues, and other religious articles just for collections, or do these help us honor God who perfects His creatures? Do we get involved in various services and ministries to feel good about it or serve our brothers and sisters in need?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hukum Allah, Tradisi, dan Hati

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 28, 2021
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu Biasa ke-22 [B]
29 Agustus 2021
Markus 7:1-23

Orang-orang Farisi datang untuk menyelidiki Yesus, dan ini bukan hanya orang-orang Farisi dari Galilea yang sering berdebat dengan Yesus. Mereka adalah otoritas Yahudi terkemuka di Yerusalem, dan mereka datang untuk menghakimi Yesus: apakah Yesus adalah seorang Yahudi yang ortodoks atau seorang nabi palsu. Namun, kita mungkin bertanya-tanya siapakah orang-orang Farisi yang sering berdebat dengan Yesus dan murid-murid-Nya? Gerakan Farisi adalah salah satu gerakan dan kelompok keagamaan Yahudi di Palestina abad pertama. Mereka sezaman, meskipun tidak selalu dalam hubungan yang baik, dengan kelompok lain seperti Saduki, Zelot, dan Eseni. Namun, dibandingkan dengan kelompok lain, orang Farisi adalah yang paling populer dan banyak anggotanya adalah orang awam Yahudi.

Apa yang membuat orang-orang Farisi unik? Kita perlu memahami terlebih dahulu tentang hukum nahir dan najis dalam Perjanjian Lama. Hukum Musa memerintahkan para pria dan wanita yang memasuki tempat suci seperti Bait Allah untuk bersih atau tahir. Sebagai contoh, jika mereka bersentuhan dengan tubuh yang mati, mereka menjadi najis dan tidak diizinkan memasuki tempat suci. Oleh karena itu, mereka diharuskan melakukan ritual pembasuhan dengan air untuk membersihkan kenajisan mereka. Tujuan dari hukum tahir-najis ini bukan tentang moralitas [apa yang benar atau salah], tetapi untuk melatih bangsa Israel untuk menghormati tempat-tempat suci sebagai tempat tinggal Tuhan.

Kontribusi orang-orang Farisi ini adalah mereka bertanggung jawab untuk membawa hukum tahir-najis ini ke dalam konteks rumah tangga dan kehidupan sehari-hari orang Israel. Mereka ingin tahir, tidak hanya di Bait Allah, tetapi juga ketika mereka memasuki rumah mereka, ketika mereka makan dan minum, dan bahkan ketika mereka pergi tidur. Masalahnya adalah Musa tidak pernah memberikan hukum tentang hal-hal ini. Jadi, sebagai solusi, para guru atau rabi mengajarkan dan membuat aturan tentang hal-hal yang tidak ada di Kitab Suci untuk mendukung hidup tahir ini. Akhirnya, aturan-aturan inilah yang disebut sebagai tradisi para penatua.

Kembali kepada Yesus, kita perhatikan bahwa apa yang ditemukan oleh orang-orang Farisi dari Yerusalem adalah Yesus tidak menjalankan tradisi itu. Mereka justru tidak menemukan sedikit pun bukti bahwa Yesus melanggar Hukum Musa. Sungguh, Yesus menggenapi Hukum dengan setia. Yesus kemudian mengkritik orang-orang Farisi karena terlalu fokus pada tradisi dengan mengorbankan Firman Tuhan. Yesus mengingatkan hakekat Taurat yang sebenarnya, yaitu pembentukan hati. Hukum dan tradisi akan menjadi baik jika membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. Mereka menjadi batu sandungan ketika mereka merantai kita dan menjauhkan kita dari Tuhan. Tidak ada gunanya jika kita secara seremonial bersih, tetapi hati kita tidak murni dan kotor penuh dosa.

Peringatan Yesus kepada orang Farisi selalu tepat dan relevan bagi kita. Apakah kita menjalankan agama kita hanya sebagai kumpulan tradisi, ritual, dan adat istiadat yang menjauhkan kita dari Tuhan? Apakah kita membaca Firman Tuhan untuk membantu kita memahami dan mengasihi Tuhan lebih baik atau hanya untuk pamer? Apakah kita mengumpulkan gambar, patung dan benda-benda keagamaan lainnya hanya untuk tujuan koleksi, ataukah ini membantu kita untuk memuliakan Tuhan yang telah menyempurnakan ciptaan-Nya? Apakah kita terlibat dalam berbagai pelayanan hanya untuk merasa senang dan dipuji, atau benar-benar melayani saudara-saudari kita yang membutuhkan? Apakah hati kita sungguh untuk Tuhan atau masih terus dipenuhi dengan hal-hal buruk?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

DIMULAI DARI IMAN DAN SYUKUR

Posted by admin on August 28, 2021
Posted in renungan 

Sabtu, 28 Agustus 2021

Matius 25:14-30

            Yesus mengungkapkan suatu perumpamaan tentang talenta untuk mejelaskan hal Kerajaan Sorga. Orang yang layak masuk dalam Kerajaan Allah adalah mereka yang setia, tekun dalam mengembangkan talenta yang telah dipercayakan oleh orang-orang pilihan-Nya. “Hamba yang menerima lima talenta itu datang dan ia membawa laba lima telenta, katanya; Tuan lima talenta tuan percayakan kepadaku, lihat, aku telah beroleh laba lima talenta. Maka kata tuanya itu  kepadanya: Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagian tuanmu.”(Mat 25: 20-21).

            Kesetiaan bukan dilihat dari hal-hal yang besar, sebaliknya dilihat dari hal-hal yang kecil. Sebab ketika seseorang setia dalam iman dalam perkara-perkara kecil, maka ia akan setia dalam perkara-perkara yang yang lebih besar. Sering terjadi tidak sedikit orang mengira bahwa yang kecil bisa diremehkan, dianggap tidak penting, dan bahkan tidak dianggap.  Akan tetapi, jika yang kecil diremehkan, maka apa yang dibangun diatasnya akan mudah hancur atau tidak bertahan lama. Sama halnya jika suatu rumah tidak memiliki fondasi yang kuat, maka bangunan tersebut tidak akan bisa bertahan lama. “Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.”(Mat 7:26-27).

            Dengan demikian, Kerajaan Sorga itu merupakan kesetiaan seseorang dengan imannya; Iman kepada Allah Tritunggal yang Maha Kudus. Kesetiaan dimulai dari hal-hal yang kecil, apa yang di di dalam hati, pikiran dan tindakan sehari-hari. “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.”(Luk 16:10). Sesuatu yang tidak dilihat orang lain, tersembunyi, jauh dari pujian manusia, namun ia kerjakan dengan sepenuh hati untuk kebaikan sesama dan untuk kemuliaan Allah semata adalah hal yang kecil, namun di mata Allah adalah hal itu besar nilainya melebihi mutiara yang indah. “Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”(Mat 6:4).

            Talenta-talenta yang dianugerahkan kepada manusia adalah bukti kasih, kemurahan hati Allah, dan sekaligus kepercayaan yang harus dipertanggung jawabkan nantinya kepada Tuhan. Cara untuk mengembangkan talenta-talenta tersebut bisa berjalan dengan baik jika dengan sadar percaya/iman bahwa semua itu datang dari Allah yang Maha Baik.  Jika terdapat kesadaran iman maka muncul rasa syukur kepada Allah, dan jika ada syukur, maka akan ada semangat, ketekunan,  sukacita, kasih, damai, dan perhatian untuk mengembangkannya. Jika tidak ada rasa bersyukur, maka apa yang baik yang telah diberikan Tuhan kepadanya akan dibiarkan, diabaikan, dan tidak dikembangkan. Oleh karena itulah fondasi hidup menjadi sangat penting, dan fondasi tersebut adalah percaya dan mengucap syukur kepada Allah yang baik, yang menjadikan seseorang menjadi murid-Nya, dan yang telah hadir dalam diri Yesus Kristus telah menebus dan menyelamatkan, dan dalam persekutuan dengan Roh Kudus yang menyertai sampai selama-lamanya. “Akan tetapi kamu selalu mengucap syukur kepada Allah karena kamu, saudara-saudara, yang dikasihi Tuhan, sebab Allah dari mulanya telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai.”(2 Tesalonika 2:13).

                                                                                                                                                                  Serawai, Rm. Didik, CM

Translate »