Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Perbanyakan Roti: Mujikzat Belas Kasih

Posted by admin on July 31, 2016
Posted in renungan 

Senin, 1 Agustus 2016

 

Hanya Tuhan yang sungguh mampu memuaskan kelaparan dan dahaga spiritual manusia. Sebagai insan yang hidup di zaman modern ini, ada bahaya bahwa kita cenderung mengejar hal-hal yang sifatnya duniawi dan material belaka dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang sesungguhnya sama penting dengan kebutuhan material. Orang bisa berpikir bahwa menjadi kaya sama seperti menjadi bahagia. Namun sudah sungguh sering terbukti bahwa kekayaan saja tidak menjamin kebahagiaan dan kenyamanan.

Dalam injil hari ini, kita membaca dan menyimak cerita tentang perbanyakan roti dan ikan yang Yesus lakukan sebagai salah satu mujikzat ajaib yang sampai sekarang tidak dapat dijelaskan secara ilimiah. Kemanapun Yesus pergi, sekian banyak orang akan mengikuti Dia. Mereka berkumpul untuk mendengarkan Dia. Yesus menerima mereka semua sebagai “Tuan Rumah” yang baik tanpa membeda-bedakan mereka. Yang kaya maupun yang miskin, yang pintar dan yang pandir, yang profesional maupun yang amatir, bahkan mereka yang dianggap hina dan kafir dalam masyarakat pun tidak Yesus kecualikan. Semuanya Dia panggil untuk datang mendekat.

Mereka datang kepadaYesus bukan hanya karena Yesus mengajar dengan penuh kuasa tetapi juga karena Yesus melakukan apa yang Dia ajarkan. Dia mengajar dan melakukan apa yang dia ajarkan. Dia bersaksi bukan hanya dengan kata-kata tetapi lebih-lebih dengan tindakan nyata. Yesus membuktikan bahwa kasih hanya bisa menjadi mujikzat yang menginspirasi dan menghidupkan ketika kasih itu diwujudnyatakan dan ditujukan kepada sesama. Belaskasih dan bela rasa tidak boleh hanya berhenti sekadar kata-kata pemanis bibir semata (lip-service) tetapi betul-betul menjadi jiwa yang menggugah tangan untuk bekerja bagi dan kaki untuk melangkah  kepada sesama dengan niat tulus meringankan beban mereka.

Yesus dalam mujikzat perbanyakan roti hari ini membuka cara pandang baru dalam diri murid-murid-Nya bahwa keterbatasan mereka tidak pernah boleh menjadi halangan untuk tidak melakukan perbuatan kasih. Kasih tetap harus nyata dalam kekurangan dan keterbatasan. Kekurangan dan keterbatasan jangan pernah diizinkan menjadi alasan untuk menghindarkan diri dari kewajiban mengasihi sesama. Sebagai Allah yang menjadi manusia, Yesus membuktikan bahwa kasih tidak boleh dibatasi oleh keterbatasan manusiawi. Keterbatasan manusiawi kita menjadi tak terbatas (limitless) ketika manusia saling berbagi dengan tulus dan murah hati dari keterbatasan sambil membiarkan campur tangan Tuhan turun dan memberkati setiap perbuatan belas kasihan tersebut. Mari kita berbagi satu sama lain sebab undangan untuk saling berbagi itu adalah undangan dari Tuhan sendiri yang berbagi dalam Bapa, Putera dan Roh Kudus, undangan dari Tuhan yang terus mengalirkan berkat-Nya secara berlimpah bagi kita. Mari baku dapa(t) dan mari baku bagi. Begitu kata orang-orang bagian Timur Indonesia. Tuhan sudah kasih kita, kita juga harus bagi kasih itu bagi sesama. Amin.

 

Kontemplasi dalam Aksi

Posted by admin on July 28, 2016
Posted in renungan 

st-martha-icon-david-raber

Pesta St Marta
Bacaan I : Yeremia 26:1-9
Bacaan Injil : Lukas 10:38-42

Paulo Freire, seorang ahli pendidikan, menyatakan bahwa refleksi tanpa aksi adalah verbalisme (omong doank), aksi tanpa refleksi adalah aktivisme yang sembrono. Ia menempatkan aksi dan refleksi dalam satu dataran yang sejajar. Agar hidup lebih bermakna dan berdaya ubah, keduanya haruslah muncul seimbang. Logika yang dipakai adalah logika AND (dan), bukannya OR (atau). Refleksi memberi dasar asal, makna dan arah, sementara aksi membadankan ide menjadi sebuah realitas yang bukan sekedar di angan-angan. Pesta St Marta memberi kita kesempatan meninjau kembali hidup kerohanian kita dalam kacamata ini: sudahkah kita mengupayakan keseimbangan antara doa dan karya? Sudahkan kita mengupayakan integrasi keduanya? Sudahkan kita mengupayakan peningkatan mutu doa-refleksi dan karya-aksi kita?

Heroisme aksi menjadi pendorong utama panggung dunia. Kita merasakan kepuasan indera yang mencecapi perubahan nyata dalam hidup. Pahlawan yang dielu-elukan adalah mereka yang menggerakkan perbaikan yang tercerap. Lihat saja, semboyan Presiden RI Jokowi, “Kerja, kerja dan kerja”. Salah satu dasar evaluasi penggantian menteri dalam reshuffle jilid II Kabinet Kerja kemarin, misalnya, adalah untuk pemercepatan kerja dan optimasi perubahan. Tak ada yang salah darinya, kecuali bahwa acap kali kita lupa, kualitas muncul dari waktu-waktu yang didedikasikan untuk merenung dalam-dalam, merencanakan kerja secara serius, meletakkan fondasi yang kuat.

Basilika Santo Petrus, misalnya. Dikerjakan oleh banyak arsitek terkemuka Italia termasuk Donato Bramante, Sangallo, Raphael, Peruzzi, Michelangelo, memakan waktu pengerjaan selama 120 tahun sejak groundbreaking 18 April 1506. Perencanaan bahkan sudah dimulai sejak jaman Paus Nikolas V (1447-1455), dan terus disempurnakan berbareng dengan pengerjaan. Pernyataan dari pelukis, pemahat, pujangga dan arsitek besar Michael Angelo, yang menerima pekerjaannya karena dipaksa oleh Paus Paulus III, menjadi cermin semangat di balik karya besar itu: “Aku menjalankan karya ini hanya demi cinta pada Tuhan dan rasa hormat pada Para Rasul”. Karya besarnya, baginya adalah suatu doa.

Dalam Injil, Marta ditegur Yesus, bukan karena niat baiknya untuk melayaniNya sebaik-baiknya. Kita tahu, betapa cukup merepotkan menyiapkan rumah dan hidangan untuk menjamu tamu. Marta diajak untuk mengupayakan keseimbangan, untuk tidak melihat duduk mendengarkan Sabda seperti dilakukan oleh saudarinya, Maria, sebagai hal yang kurang pentingnya. Yesus mengajak Marta melihat bahwa mendengarkan Sabda dan berdoa, meletakkan dasar spiritual dari karya, adalah hal yang jauh lebih penting. Dengannya, kita bisa melayani dengan sikap yang tulus, penuh kasih dan sukacita. Dengannya, bahkan tindakan yang kecil sederhana pun menjadi sangat berarti karena dilaksanakan dengan sepenuh kasih. Aksi menjadi terasa manis dan indah, karena menjadi mengalir dari kontempasi, dari doa.

Semoga demikianlah kita perbaharui lagi jalinan kontemplasi dalam aksi kita. Semoga Allah lah yang menjadi pusat segala tindakan kita. Semoga setiap usaha kita arahkan hanya untuk satu tujuan: Ad Maiorem Dei Gloriam (AMDG), semuanya demi kemuliaan Allah yang lebih besar.

Mati

Posted by admin on July 28, 2016
Posted in renungan 

Fr Hamel

Bacaan I : Yeremia 18:1-6
Bacaan Injil : Mateus 13:47-53

Ketika seorang imam mendoakan sabda Yesus dalam Doa Syukur Agung, “Inilah tubuhKu… Inilah darahKu”, ia menyatakannya dalam nama Yesus. Dalam penghayatan hidup yang disucikan dan dipersembahkan, ia sekaligus menyerahkan tubuh dan darahnya bagi Kristus dan bagi Gereja. Dalam upacara sakramen, seorang imam bertindak In persona Christi, “dalam diri manusia Kristus”. Dalam pemahaman ini, kita bisa mengatakan, sekali lagi, secara kejam dan brutal, Kristus dalam diri Romo Jacques Hamel yang sedang menghunjukkan misa, dibunuh di gereja kota kecil Saint-Etienne-du-Rouvray, Rouen, Normandia, Perancis, tiga hari lalu. Sekali lagi, seruan “Allahu Akbar” oleh kedua teroris Daesh serasa sangat menyakitkan karena nama Allah dipakai untuk menandai tindakan Iblis, Sang Musuh Allah. Tempat kudus dimana kasih Allah diwartakan, dikotori oleh aksi kekerasan yang mematikan atas dasar kebencian yang membutakan nurani dan pikiran sehat. Sekali lagi darah martir membasahi tanah Rouen. Lima ratus delapan puluh lima tahun lalu, 30 Mei 1431, tanah ini menjadi saksi kematian Santa Jeanne d’Arc yang dibakar hidup-hidup karena dianggap sesat oleh pengadilan Inggris. Kata-kata St Jeanne d’Arc kiranya juga akan terlontar dari mulut Romo Hamel yang wafat sebagai imam yang mempersembahkan korban Kristus dan dirinya sendiri: “Aku tidak takut… aku lahir untuk melakukan ini”.

Dengan tajam Romo Jacob Boddicker SJ merefleksikan, bahwa ISIS mengira mereka telah merenggut sebuah kehidupan. Sesungguhnya, hidup Romo Himel sudah dipersembahkan kembali pada Sang Penciptanya sejak ia memasuki hidup pelayanannya. Adel Kermiche dan Abdel Malik, kedua pelaku terror, tak bisa mengambil apa yang sudah diberikan kembali pada Sang Pencipta. Lebih lagi, imam sepuh yang dikenang sebagai pribadi yang baik hati ini sesungguhnya sudah memberikan 9 tahun bonus dari hidupnya, memilih untuk tidak pensiun menikmati masa tuanya saat usianya telah mencapai 75 tahun. Ia setia dan terus bersemangat melayani hingga akhir hayatnya pada usia 84 tahun. Adel dan Abdel, meski terasa pedih perih untuk kita semua, sesungguhnya memberikan pada Romo Hamel, mahkota kemartiran.

Perumpamaan dari bacaan Injil berbicara tentang akhir jaman. Perbedaan antara mereka yang menjadi anggota Kerajaan Allah dan yang bukan akan makin menjadi nyata. Kita tak tahu kapan persisnya kiamat itu terjadi. Tapi kita bisa mencoba memastikan, bahwa hidup kita menyatakan secara konsisten bahwa kita anggota Kerajaan Surga, sebagaimana kesaksian hidup Romo Hamel yang wafat sebagai martir. Kita juga tak tahu kapan kiamat kecil kita, kematian kita, datang menjemput kita. Seraya turut mendoakan kesejahteraan arwah Romo Hamel dan saudara-saudari kita di Perancis yang berduka, mari kita terus siapkan diri jika sewaktu-waktu kita dipanggil. Semoga bagi kita juga berlaku keyakinan Gereja yang memancar dari perayaan para kudus: hari kematian mereka, betapapun gelap dan tragisnya, adalah hari kelahiran baru mereka dalam hidup bahagia kekal dan abadi, yang patut dirayakan.

Orang tua

Posted by admin on July 26, 2016
Posted in renungan 

download

Pesta St Yoakim dan St Anna
Bacaan 1 : Sir. 44:1,10-15
Bacaan Injil : Mat 13:36-43

Buah jatuh tak kan jauh dari pohonnya, kata pepatah. Seorang anak akan mengikut perilaku orang tuanya. Hari ini kita memperingati pesta St Yoakim dan St Anna, orang tua Bunda Maria, kakek dan nenek dari Tuhan Yesus. Peringatan ini menandaskan kehadiran Allah dalam keluarga manusia, dalam buaian hidup dan cinta keluarga. Keutamaan sifat sikap Bunda Maria pastilah mencerminkan juga keutamaan kedua orangtuanya.

Menurut tradisi, St Yoakim dan St Anna berbagi pengalaman dengan para orang tua yang sangat merindukan kehadiran seorang anak yang tak kunjung hadir. Seperti orang tua mandul dalam Kitab Suci (Abraham dan Sarah, Elkanah dan Hannah), kemandulan menjadi beban bahkan halangan untuk merayakan hidup berkomunitas secara penuh. Dikisahkan bahwa St Yoakim pernah ditolak saat hendak mengorbankan persembahan di Bait Allah hanya karena dia tak punya keturunan. Ia pun lari ke gunung untuk menyerukan ratapannya pada Tuhan. Saat itu dia menerima ramalan malaikat tentang mengandungnya istrinya, St Anna. Anak yang dijanjikan itu, Maria, akan terpilih menjadi Ibu Sang Juru Selamat Dunia.

Tradisi menggambarkan St Yoakim dan St Anna sebagai orangtua yang penuh kasih sayang dan tanggung jawab atas puterinya, Maria. Kasih berkelimpahan dan teladan iman yang kokoh nantinya memampukan Maria mengasihi Allah sepenuh hati dan dapat berkata “Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu” pada malaikat Gabriel. Karena posisi unik mereka dalam sejarah keselamatan, mereka dipilih Gereja untuk menjadi pelindung kakek nenek dan pasangan yang mandul.

Menarik untuk membayangkan, bahwa pertumbuhan Yesus kecil kiranya tak akan lepas dari pengaruh kakek neneknya, St Yoakim dan St Anna. Saya jadi ingat sekitar 5 tahun lalu, Kardinal George Pell, Uskup Keuskupan Agung Sydney yang kini menjadi tangan kanan Paus Fransiskus untuk urusan moneter, mengeluarkan surat gembala khusus mengakui peran para kakek dan nenek dalam pertumbuhan iman para cucu mereka. Menghadapi tantangan sekularisasi di Australia dimana orang tua sering sangat sibuk atau sudah tidak lagi memandang penting peran iman dalam hidup mereka, generasi sepuh yang masih cukup kental pengalaman dan penghayatan imannya diundang untuk mengambil tanggung jawab mewariskan iman mereka pada generasi cucu-cucu mereka.

Pada pesta St Yoakim dan St Anna ini, mari kita mensyukuri kehadiran orang tua kita, ayah ibu, kakek nenek, khususnya untuk mereka yang sungguh memberikan teladan hidup dan iman. Kita sadar, kita menjadi diri kita yang sekarang, bukan tanpa jasa mereka. Dan untuk para orang tua, apalagi yang sudah memiliki cucu, mari kita mohon berkat St Yoakim dan St Anna untuk generasi muda yang dipercayakan pada kita untuk kita dampingi, agar iman yang menguatkan, menjaga dan membawa suka cita pada kita, dapat terus diturunkan sebagai warisan yang paling berharga. Amin.

Mengalah

Posted by admin on July 25, 2016
Posted in renungan 

with great love

Pesta St Yakobus, Rasul
Bacaan I : 2 Korintus 4:7-15
Bacaan Injil : Matius 20:20-18

Akhir pekan lalu, saya turut melayani pernikahan pasangan muda mantan aktifis Mudika dan PDMKK Melbourne di Temanggung. Setahun sebelum hari perkawinan, Sang Mempelai Perempuan berinisiatif membuat proyek wawancara mendalam dengan banyak pasangan suami istri yang ia kenal baik, untuk mengekstraksi sari-sari kebijaksanaan mereka tentang perkawinan. Meski rencana awal untuk menyusun 52 kisah cinta –mentargetkan menyusun satu kisah setiap satu minggu- tidak tercapai penuh karena aneka kesibukan lain, ia toh berhasil menyusun rangkaian kisah dan refleksi kunci keberhasilan keluarga yang sungguh bernas.

“Yang paling menarik, Romo, pada hampir semua keluarga yang saya wawancarai, kunci kebahagiaan ada pada sang istri. Lebih tepatnya, pada kemampuan sang istri untuk mengalah. Mengalah dalam hal karier, mengalah dalam pengaturan hal-hal penting keluarga, mengalah dalam urusan yang kecil-kecil pula. Seorang istri hendaknya bangun lebih pagi dari suami, untuk bisa melayani menyiapkan sarapan, atau membuatkan kopi. Kalau istri tidak bekerja dan suami ke kantor, saat suami pulang hendaknya dia sudah merapikan rumah, merapikan diri, dan siap menyambut kedatangan sang suami dengan senyum. Ah… dalam bahasa yang mungkin agak vulgar, dia siap untuk menjadi “budak” suami dan anak-anaknya. Ya. Kunci keutuhan dan kebahagiaan keluarga bisa jadi sesederhana ini: perlu keberanian dan kebesaran hati untuk m e n g a l a h.”

Hanya orang-orang yang matang dan dewasa mampu benar-benar mengalah, dan bukan sekedar menyerah pasrah. Mengalah mengandaikan kesadaran adanya tujuan yang lebih besar yang hendak dicapai dalam jangka waktu yang lebih lama. Mengalah mengandaikan kemampuan mengendalikan diri untuk tidak meraup hasil yang nampaknya baik dalam sekejap namun melukai relasi dan kemungkinan pertumbuhan bersama yang lebih baik. Mengalah mengandaikan kekuatan untuk menjadi nampak kecil dan lemah di mata dunia, demi tujuan-tujuan yang lebih besar yang tak mudah dicerna seketika.

Yesus telah menunjukkan secara konsisten dalam hidup dan pelayananNya, sikap mengalah yang membuat tak seorang pun sesungguhnya mampu mengalahkanNya, sikap merendah yang membuat tak seorang pun mampu sungguh merendahkanNya. Dengan pilihan sikap ini, Yesus sesungguhnya selalu menjadi pelaku yang menjunjung tinggi martabatNya, dan bukan sekedar korban yang tak berdaya. Tidak mudah bagi para rasul untuk menerima pelayanan sebagai jalan mencapai kebesaran, sebagai kemuliaan yang sejati. Teramat sulit menerima penderitaan dan kematian yang dipersembahkan sebagai jalan menegakkan kehidupan yang sehidup-hidupnya.

Dunia mengukur kebesaran lewat matra kedudukan, kekuasaan, kegemilangan. Tak ada yang salah dengannya, kecuali jika kelekatan pada sarana-sarana itu menghentikan pandangan pada tujuan yang lebih dalam: kesejahteraan dan kebaikan untuk semua. Kembali ke permenungan tentang perkawinan, ada nasehat yang mengatakan bahwa dalam perkawinan, lebih dari sebelumnya, cinta berubah dari kata benda menjadi kata kerja. Sama halnya dengan kebesaran dalam kacamata iman. Kebesaran dan kemuliaan bukan lagi suatu “benda”, status yang mau diraih, posisi yang hendak direngkuh, melainkan suatu kerja yang tak henti digulirkan: melayani dengan cinta, jika perlu bahkan hingga dalam terluka. Seperti teladan Sang Guru yang tersalib dengan penuh luka tanda cinta. Siapkah Anda mengikutinya, meminum cawan yang diminumNya?

Translate »