Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Rabu Pekan Paskah II 2019

Posted by admin on April 30, 2019
Posted in renungan 

Kisah Para Rasul 5:17-26; Yohanes 3:16-21

Di dalam bacaan Injil yang kita dengarkan hari ini, santo Yohanes berbicara tentang manusia yang tidak menyadari kerapuhannya. Apabila santo Yohanes berbicara tentang DUNIA umumnya langsung menunjuk pada kondisi manusia yang penuh dengan kerapuhan dan kecenderungan pada kejahatan atau dosa. Manusia yang dalam kondisi macam inilah yang hendak diselamatkan Tuhan Yesus. Meskipun begitu, keselamatan bukanlah kegiatan sepihak saja, yaitu dari Allah. Manusia juga dituntut untuk ikut aktif menanggapi karya keselamatan tersebut. Bagaikan arus listrik ada arus positif dan ada arus negatif. Jika kedua arus tersebut tidak saling berhubungan, maka sebuah lampu tidak akan pernah menyala. Demikian pula, tindakan sepihak dari Allah tidak akan membawa keselamatan jika tidak ada tanggapan aktif dari pihak manusia. Allah tidak pernah menolak adanya kerapuhan dalam diri manusia, namun Ia ingin agar kerapuhan tersebut jangan sampai menutup manusia dari karya keselamatan Allah. Inilah perjuangan kita manusia untuk senantiasa beriman dan mau bekerjasama dengan Allah bagi keselamatan kita manusia. Kita memang rapuh, tetapi didalam kerapuhan itu, kita berusaha agar jangan sampai iman kita dilumpuhkan. Semoga rahmat Tuhan memampukan kita untuk terus beriman dan mau bekerjasama dengan Allah bagi keselamatan kita. Tuhan memberkati.

Selasa Pekan Paskah II 2019

Posted by admin on April 29, 2019
Posted in renungan 

Kisah Para Rasul 4:32-37; Yohanes 3:7-15

Dunia kita sekarang ini sudah dijangkiti penyakit yang namanya materialisme. Pertimbangan berbagai macam hal seringkali didasarkan pada materi dan kriteria untung-rugi. Bahkan seringkali, pelayanan pun dihitung untung-ruginya. Semangat materialisme ini memunculkan pribadi-pribadi yang serakah dan orang-orang yang tidak peduli lagi pada orang lain.

Semangat meterialisme atau keserakahan ini sangat jauh dari semangat yang ditunjukkan oleh jemaat Gereja perdana dalam bacaan pertama hari ini. Ciri khas kehidupan jemaat Gereja perdana adalah: “tidak ada seorang pun yang berkekurangan” sebab “segala sesuatu adalah kepunyaan bersama”. Dari praktik kehidupan jemaat Gereja Perdana ini, kita memahami bahwa hidup orang Kristiani yang benar tentu saja bercirikan: hidup saling berkecukupan (tidak sama dengan berlebihan) karena adanya sikap dan perbuatan saling membantu, menolong dan mengangkat sedemikian sehingga “tidak ada seorangpun yang berkekurangan”. Apabila saat ini kita masih menjumpai banyak orang miskin dan kelaparan di dunia tempat kita tinggal ini, hal itu karena masih banyak orang yang serakah dan tidak mau berbagi dengan sesamanya yang berkekurangan!!

Dengan inspirasi kehidupan jemaat Gereja Perdana yang kita dengarkan hari ini, marilah kita bermawas diri, bertanya pada diri sendiri: “Apakah kita juga sudah terjebak pada semangat materialisme yang mengukur segalanya dari sudut pandang untung dan rugi saja?? Ataukah kita masih mempunyai semangat pelayanan dimana Allah dan sesama adalah hal yang utama dalam hidup kita, lebih dari uang dan materi??” Semoga rahmat Allah memampukan kita membangun semangat solidaritas dan mau berkorban bagi sesama dan Gereja.

Senin Pekan Paskah II 2019

Posted by admin on April 28, 2019
Posted in renungan 

Kisah Para Rasul 4:23-31; Yohanes 3:1-8

Yohanes pengarang Injil sering memakai dialog yang bisa menimbulkan salah paham ketika mengisahkan kegiatan pewartaan Yesus. Hal ini terjadi misalnya, pada kisah pertemuan Yesus dengan Nikodemus dalam Injil hari ini. Nikodemus salah paham terhadap maksud Yesus berhubungan dengan ajaran kelahiran kembali. Nikodemus yang adalah ahli Taurat menjadi nampak bodoh ketika mengira Yesus sedang berbicara tentang kelahiran kembali seseorang dari perut ibunya. Sesuatu yang tentunya mustahil. Namun yang dimaksudkan oleh Yesus sesungguhnya adalah kelahiran kembali dari air dan Roh agar orang dapat masuk Kerajaan Allah dan memperoleh keselamatan.

Renungan Yesus mengenai makna pembaptisan ini sangat mendalam. Kita semua perlu lahir kembali, artinya dibaptis agar diselamatkan. Selama ini, mungkin pembaptisan hanya kita pikirkan sebagai upacara peresmian masuknya seseorang menjadi anggota Gereja atau pengikut Kristus. Pandangan ini memang ada benarnya, namun masih perlu diperdalam lagi. Yaitu, dengan dibaptis kita diberi rahmat kehidupan kekal. Agar rahmat kehidupan kekal itu tetap efektif, maka umat kristiani diajak untuk terus menerus membarui diri dengan pertobatan. Pembaptisan memang sarana keselamatan, namun bukan berarti kita lalu boleh berbuat seenaknya setelah itu. Sebaliknya, pembaptisan hendaknya justru mendorong umat Kristiani agar hidup lebih baik lagi. Dengan demikian, baptisan bukan hanya jaminan keselamatan, tetapi juga awal yang baru bagi manusia untuk mengusahakan keselamatan kekal secara nyata. Semoga hari ini, kita dibantu untuk kembali menyadari makna dan tanggung jawab kita setelah menerima baptisan agar rahmat dan jaminan keselamatan itu berbuah dalam hidup kita setiap hari. Tuhan memberkati.

Damai sejahtera bagi kamu (audio podcast)

Posted by admin on April 27, 2019
Posted in Podcastrenungan 

Audio Podcast by Sr Salverina Regina PKarm

Fear and Forgiveness

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on April 27, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Second Sunday of Easter [Divine Mercy Sunday] April 28, 2019 – John 20:19-31

Today is the Divine Mercy Sunday. From the Gospel, Jesus institutes the sacrament of reconciliation as He bestows His Holy Spirit upon the Disciples. He grants them the divine authority to forgive (and not to forgive) sins and charges them to be the agents of Mercy. While it is true that only priests can minister the sacrament of confession, every disciple of Christ is called to be an agent of Mercy and forgiveness. Yet, how we are going to be the bearers of Mercy and Forgiveness? I think we need to understand first the dynamic of fear and peace.

Fear is one of the human most basic emotions. It makes us flee from impending danger and normally, it is good and necessary for our survival. Yet, what is unique with us humans is that the object of fear is not only physical real danger like an earthquake, fire, or venomous animals, but it extends to moral judgment. When we commit a mistake, we are afraid of the judgment as well as the consequences. Quite often too, fearful of the judgment and condemnation, we are run away and hide. In fact, the story of fear is a primordial story. We recall our first parents, Adam and Eve. After they violated the Law of God, they realized that they have terribly sinned against the Lord, and afraid of God’s judgment, they hid.

After the passion and death of Jesus we find out that Jesus’ disciples themselves are afraid and hiding. The disciples lock themselves inside the room because they are afraid. However, the real fear is not from the Jewish authority or the Roman troops, but from Jesus’ judgment. We remember that Judas handed over Jesus to the Jewish authority, Peter, the leader, denied Jesus three times, and most of the disciples were running away. Even before the crucial moments of Jesus, they have deserted their Master and Messiah. In a court martial, a soldier who deserts his army, especially during the pick of the battle, is considered a traitor not only to the army, but to the entire nation, and he deserves no less than capital punishment. The disciples are hiding because of fear that Jesus will bring His severe judgment, and get back on them. The disciples are afraid that Jesus may come anytime, condemn them, and throw a fireball on them.

Indeed, Jesus comes to them, but he brings not condemnation but the gift of peace, “Shalom”. This peace only ensues from forgiveness. This peace, however, is not the absence of judgment, but rather it presupposes one. Unless the disciples recognize and own up their terrible mistakes, they will not appreciate Jesus’ forgiveness and mercy. The peace will be just a mirage, and fear still reigns.

To become an agent of Mercy, we first dare to pronounce judgment. If we pretend that the sin never happens, and keep telling ourselves that everything is just fine, we deceive ourselves and never become sincerely peaceful. Indeed, it is difficult, but as we cannot heal unless there is prognosis, we cannot truly forgive unless there is judgment.

Just last week, several suicide bombers blew themselves up at several churches in Sri Lanka and killed hundreds of Christians. A religious sister, who lost several of her community members in the explosion, wrote an open letter to the perpetrators. She judged that what they did was an act of terrorism, pure evil. Yet, she reminds them that Christians will not be cowed and afraid because we know how to forgive. She said that the Catholic Church remains an open-door Church because she is not afraid to welcome everyone including those who tried to destroy her.

There is no peace without forgiveness, and there is no forgiveness and mercy without true judgment.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »