Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Yesus dan Yusuf

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on April 30, 2020
Posted in renungan 

1 Mei 2020

Peringatan St. Yusuf Pekerja

Hari ini kita memasuki bulan Mei yang secara tradisi adalah bulan Maria. Hal yang unik adalah bulan ini dimulai dengan peringatan St. Yusuf sebagai pekerja. Peristiwa terakhir dalam Alkitab yang menghadirkan Keluarga Kudus adalah ketika Yesus ditemukan di Bait Allah. Setelah peristiwa ini, Yusuf tidak lagi muncul dalam Alkitab, dan menurut tradisi, ia meninggal bahkan sebelum ia dapat melihat Yesus mewartakan Injil. Karena ini adalah episode terakhir di mana Yusuf terlibat dalam narasi, kita akan merenungkan Injil hari ini dan belajar dari St. Yusuf.

Dalam Injil hari ini, kita menemukan kesalahan fatal dari Yusuf dan Maria. Mereka membiarkan Yesus hilang! Sebuah kecerobohan! Namun, apakah Yusuf dan Maria benar-benar ceroboh? Melihat lebih dalam konteks mereka, kecerobohan bukanlah jawabannya. Ketika Yusuf dan Maria pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah, mereka tidak pergi sendiri, tetapi bersama sanak saudara dari Nazareth. Bepergian bersama mungkin memperlambat mereka, tetapi memberi perlindungan dari perampok dan menjaga ketersediaan makanan. Tanggung jawab merawat anak-anak juga dibagi di antara orang-orang dewasa. Lagi pula, Yesus berusia dua belas tahun dan cukup besar untuk merawat anggota kelompok yang lebih muda. Tentunya, ini bukan kecerobohan, tetapi kepercayaan yang diberikan kepada Yesus yang memungkinkan Yesus untuk tetap tinggal di Yerusalem. Sebagai orang tua yang berdedikasi, Yusuf dan Maria kembali ke Yerusalem dan mencari Yesus dengan cemas. Mencari seorang anak laki-laki di ibu kota Yerusalem yang besar sama halnya seperti menemukan jarum di gunung jerami, tetapi, akhirnya, mereka berhasil menemukan-Nya: Yesus ada di tengah-tengah para guru Hukum Taurat di Bait Allah, berdiskusi dan memberi jawaban yang sangat cerdas.

Ketika Maria bertanya kepada Yesus mengapa Dia tidak pulang bersama mereka, jawaban Yesus sangat membingungkan, “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Lk. 2:49) Maria tidak mengerti dengan jawaban-Nya, dan sang Bunda merenungkan semua hal ini di dalam hatinya. Tetapi, bagaimana dengan Yusuf, ayah angkat Yesus? Apa yang akan menjadi reaksi dan perasaannya ketika dia mendengar, “… Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Apakah Yusuf akan menghukum Yesus karena Dia tidak menghormati orang tua-Nya? Apakah dia akan marah setelah Yesus pergi tanpa izin? Akankah Yusuf memungkiri Yesus setelah Yesus tampaknya menolak memanggilnya sebagai seorang ayah?

Meskipun, sulit untuk menentukan karena Yusuf adalah pria yang pendiam, saya yakin Yusuf tidak akan melakukan hal-hal yang kejam ini karena dia adalah orang yang cinta damai. Ketika Yusuf tahu Maria hamil di luar nikah, ia bisa saja melempar batu pertama. Namun, ia memilih belas kasihan dan menyelamatkan Maria dari dendam pembalasan. Karena dia berbelas kasih kepada Maria, maka dia akan berbelas kasih kepada Yesus. Namun, beranjak dari reaksi awal ini, saya percaya bahwa Yusuf bersyukur dan bangga dengan Yesus. Namun, mengapa dia harus bersyukur dan bangga? Kita ingat bahwa Yusuf digambarkan sebagai orang “tulus hati” atau dalam bahasa Yunani, “diatheke”. Dia adalah orang benar bukan hanya karena dia tahu dengan baik Hukum Allah, dan menaatinya, tetapi karena dia sangat mencintai Allah. Salah satu tugas dasar seorang ayah Yahudi adalah mengajar anak-anaknya untuk belajar dan mencintai Hukum Allah. Jadi, Jika Yesus mampu menjawab para guru, salah satu alasan mendasar adalah karena Yusuf telah mengajar-Nya dengan baik. Selain itu, Yesus lebih memilih untuk terlibat dengan urusan Bapa-Nya. Ini berarti Yusuf tidak hanya mengajarkan kepada Yesus teknis dari Hukum Taurat, tetapi pada dasarnya, untuk mengasihi Allah di atas segalanya.

St. Yusuf menjadi contoh bagi setiap pria, terutama bagaimana membesarkan anak-anak. Tugas pertama dan terpenting dari setiap ayah adalah membawa anak-anak mereka kepada Tuhan dan mengajar mereka untuk mencintai Tuhan, dan untuk mengasihi sesama demi Tuhan. Dan bagaimana cara melakukannya? Seperti St. Yusuf, kita perlu mengajar anak-anak kita dengan memberi contoh dan kesaksian hidup.

 Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Filipus dan Sida-Sida dari Ethiopia

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on April 30, 2020
Posted in renungan 

Kamis pada Pekan ke-3 Paskah

30 April 2020

Kisah Para Rasul 8:26-40

Yohanes 6:44-51

Hari ini kita mendengarkan kisah Filipus yang mewartakan Injil kepada seorang sida-sida dari Ethiopia. Ada beberapa hal menarik yang bisa kita lihat dari kisah ini.

Sang sida-sida ini sedang belajar kitab Yesaya yang adalah bagian dari Perjanjian Lama. Pada dasarnya sida-sida ini adalah orang yang takut akan Allah dan saleh. Dia ingin mengerti lebih dalam tentang agama dan juga Tuhan. Namun, sida-sida ini mengakui bahwa dia tidak mengerti akan apa yang dipelajarinya. Bagian penting dalam hidup iman adalah kerendahan hati untuk mengakui bahwa banyak hal masih tidak kita tahu, dan juga kerendahan hati untuk bertanya dan menimba kebijaksanaan.

Dialog antara sida-sida dari Ethiopia dan Filipus sebenarnya adalah sebuah percakapan yang berbasis pada Sabda Allah, atau mereka sedang melakukan “Bible Study.” Yang menarik adalah Filipus memberikan pengertian dan pemahaman tentang ayat-ayat pada nubuat Yesaya yang sulit dimengerti oleh sang sida-sida. Bagian yang dia sulit pahami adalah tentang “Hamba Allah yang menderita” atau dalam Bahasa Ibrani “ebed Yahwe” yang berasal dari Yesaya 53:8-7.

Dalam Perjanjian Lama, gelar “ebed” atau hamba Tuhan biasanya diberikan kepada tokoh-tokoh penting bangsa Israel yang memiliki tugas khusus yang diberikan Allah seperti Musa [lih. Kel 14:31], Elia [lih 1 Raj. 18:36] dan Daud

[lih. 2 Sam 3:18]

. Namun, Hamba Allah yang menderita yang nubuatkan Yesaya ini sebenarnya seorang tokoh misterius yang masih menjadi teka-teki besar bagi bangsa Yahudi.

Filipus dengan pencerahan dan bimbingan dari Roh Kudus kemudian menunjukkan bahwa hamba Allah yang dinubuatkan oleh Yesaya ini tidak lain dari Yesus dari Nazaret. Filipus menerangkan bahwa Yesus menderita walaupun tidak bersalah. Dia disakiti karena dosa-dosa manusia. Dia wafat supaya manusia sembuh. Yesus datang untuk menggenapi Kitab Suci.

Dari Filipus kita bisa belajar untuk melihat Yesus sebagai penggenapan perjanjian Lama. Sebagai pengikut Kristus, kita juga diajak untuk mendalami kitab-kitab perjanjian Lama dan belajar untuk melihat Kristus hadir di sana. Ini adalah cara ‘Bible Study’ pertama yang dilakukan oleh para rasul dan anggota Gereja Perdana.

Sida-sida pun tergerak oleh Roh Kudus dan dia menerima kabar baik tentang Yesus. Dia pun meminta diri dibaptis. Dari sini kita bisa belajar pentingnya sakramen dalam hidup iman dan mengereja. Setelah pewartaan dan pendalaman Kitab Suci, iman harus dipupuk dan ditumbuhkan dengan sakramen yang adalah sarana rahmat. Bagi Gereja perdana, pengajaran, persekutuan, sakramen dan doa adalah fondasi dasar [lih Kis 2:42]

Mungkin sida-sida ini menjadi orang Kristiani pertama dari Ethiopia dan membawa pulang imannya dan menumbuhkannya di antara bangsanya. Sida-sida ini tidak berhenti dengan menerima Firman dan menerima baptisan, tetapi dia sekarang seperti Filipus yang menjadi pembawa kabar gembira bagi mereka yang belum mengenal-Nya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

St. Katarina dari Siena

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on April 29, 2020
Posted in renungan 

Awam dan Pujangga Gereja

29 April 2020

Yohanes 6:35-40

Dalam hidup dan sejarah Gereja, para wanita selalu memiliki peran yang penting dan tak tergantikan. Walaupun benar bahwa kaum klerus dijalankan oleh kaum pria, seperti menjadi uskup, imam dan diakon, peranan perempuan di dalam Gereja selalu memberikan kesempurnaan dan keindahan.

Tentunya tokoh orang kudus yang paling penting dan suci di dalam Gereja Katolik adalah Bunda Maria, Bunda Yesus sendiri. Tanpa peran aktif dan kesediaannya yang penuh iman, sejarah keselamatan tentunya akan menjadi berbeda. Bunda Maria memberikan satu aspek penting dalam peran wanita di dalam hidup Gereja, yakni Bunda Allah. Hari ini kita juga mengenang salah satu wanita kudus Gereja yang memainkan peran penting pada saat Gereja mengalami krisis di abad pertengahan.

Namanya adalah Katarina dari kota Siena di Italia. Lahir pada tahun 1347, dia adalah anak ke-24 dari 25 bersaudara [banyak di antaranya meninggal saat usia muda]. Orang tuanya menghendaki dia untuk menikah dan berkeluarga, tetapi dia terpanggil untuk melayani Tuhan dengan cara yang lain. Sejak usia sangat muda, dia sudah memberikan dirinya kepada Tuhan, namun dia tidak memilih untuk masuk menjadi seorang rubiah [seorang rahib atau pertapa perempuan]. Perlu diperhatikan bahwa pada zaman ini belum ada biarawati atau suster yang berorientasi pelayanan aktif. Katarina mengikuti teladan St. Dominikus de Guzman yang berorientasi pewartaan aktif dengan disokong oleh hidup doa. Katarina tetap bertahan sebagai awam, tetapi menghidupi semangat doa dan mati raga yang sama dengan mereka yang hidup di biara. Dia kemudian menjadi anggota Dominikan awam atau yang saat itu disebut sebagai Dominikan Ordo Ketiga.

Perannya tidak berhenti di sini, tetapi dia pun terlibat di dalam usaha pemulihan wibawa kepausan yang sempat pudar karena Paus memilih tinggal di kota Avignon di Perancis daripada di kota Roma. Semenanjung Italia sendiri pun terpecah-pecah dan perang saudara terus berkecamuk. Katarina yang adalah seorang wanita dan awam, melaksanakan perannya untuk membawa perdamaian di antara para kota-kota Italia yang bertikai. Saat mengunjungi Avignon, dia juga mendesak agar Paus Gregorius XI untuk kembali ke Roma. Selain itu, dia memohon kepada Paus untuk memperbaharui hidup para klerus. Paus Gregorius pun akhirnya kembali ke Roma. Sayangnya, setelah Paus ini wafat, sekali lagi terjadi skisma di Gereja. Sekali lagi, Katarina tidak henti-hentinya menyerukan persatuan.

Dia dikarunia dengan pengalaman mistik yakni perjumpaan dengan Yesus sendiri dan pernikahan rohani dengan-Nya. Selain itu dia juga dikarunia dengan stigmata atau mengalami luka-luka Yesus di salib. Dibantu oleh Bapak rohaninya, Raymond dari Capua, dia menuliskan pengalaman mistiknya. Karena pengajarannya dan usahanya memperbaharui Gereja, Katarina menjadi satu-satunya awam dan wanita yang diakui sebagai Pujangga Gereja.

Belajar dari santa Katarina dari Siena, kita diajak untuk mengasihi Tuhan di atas segalanya, tetapi kasih kepada Tuhan ini selalu menjadi nyata dalam kasih terhadap sesama, terutama terhadap Gereja-Nya. Ada kalanya Gereja dipenuhi dengan masalah dan bencana, seperti saat ini Gereja sedang didera oleh wabah pandemi covid19. Kita dipanggil seperti St. Katarina Siena sebagai pembawa kabar sukacita dan kebenaran, bukan pembawa masalah baru dan kegelapan.

St. Katarina dari Siena, doakanlah kami!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Roti Kehidupan

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on April 27, 2020
Posted in renungan 

Selasa pada Pekan ke-3 Paskah

28 April 2020

Yohanes 6:3-35

Injil Yohanes cukup berbeda dengan Injil lainnya. Salah satunya adalah Injil Yohanes tidak memiliki perumpamaan atau “parables”. Walaupun tidak memiliki perumpamaan, Injil Yohanes memiliki apa yang disebut sebagai “I AM sayings” atau pernyataan “Akulah”. Sebagai contoh “Akulah gembala yang baik” [lih. Yoh 10:11]. Setidaknya ada tujuh pernyataan “Akulah,” dan yang menarik adalah jika kita melihat Perjanjian Lama, pernyataan “Akulah” ini dipakai oleh Tuhan sendiri.  Sebagai contoh dalam Mazmur 23 menyatakan bahwa “Tuhan adalah gembalaku.” Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa pernyataan “Akulah” menunjuk pada identitas Yesus yang adalah Ilahi.

 Pada hari ini kita mendengar salahnya yang paling penting yakni “Akulah Roti Kehidupan.” Jika kita melihat konteks yang lebih besar dari Yohanes bab 6, kita akan melihat Yesus yang melipatgandakan roti bagi banyak orang. Kisah ini sangat familiar bagi kita semua, dan memang kisah pelipatgandaan ini ditulis oleh keempat pengarang Injil. Tetapi, ada sedikit perbedaan antara Yohanes dengan dengan Injil yang lain. Jika Injil lain hanya memberikan kita rincian ceritanya, Injil Yohanes menceritakan bahwa Yesus menjadikan momen ini untuk mengajar mereka tentang roti sejati yang tidak akan membuat lapar lagi, dan membawa kehidupan kepada dunia. Dan saat orang-orang bertanya kepada Yesus untuk memberikan roti sejati ini, Yesus dengan lugas mengatakan bahwa “Akulah Roti kehidupan.”

Bagi kita umat Katolik, kita dengan mudah melihat bahwa Yesus sebenarnya berbicara tentang roti kehidupan yang Dia berikan pada Ekaristi. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita menerima roti kehidupan yang adalah Tubuh Kristus sendiri. Ini adalah sumber kekuatan rohani kita, ini adalah puncak persatuan kita dengan Yesus di dunia ini.

Sayangnya, kita sekarang sedang berhadapan dengan pandemi yang disebabkan oleh virus Covid19. Sebagai akibat Gereja-gereja ditutup sementara, dan kita tidak bisa merayakan Ekaristi bersama. Kita sudah mencoba untuk mencari solusi dengan mengadakan misa online atau livestreaming, dan juga bahkan adorasi online. Sebuah kegiatan yang mungkin belum terdengar sebelumnya. Namun, kita tetap merasa ada yang kurang: komuni kudus, menerima Tubuh Kristus yang adalah roti kehidupan. Walaupun Gereja telah menyatakan bahwa dengan komuni rohani, kita sudah menerima rahmat Ekaristi, tetapi bagi kita yang memang sudah mengikuti Misa kudus secara rutin, apalagi ikut Misa setiap hari, akan ada selalu perasaan yang mengatakan bahwa hidup rohani kita kurang sempurna.

Ini adalah kerinduan-kerinduan kita di masa pandemi ini. Walaupun dari sisi ini kita bersedih karena kita tidak dapat menerima komuni kudus, sang Roti Kehidupan, tetapi di sisi lain kita juga bersyukur karena kita Tuhan telah menumbuhkan kerinduan akan roti hidup ini di dalam diri kita, bahwa sungguh benar bahwa Yesus adalah roti kehidupan dan tanpa Dia kita tidak akan menemukan kepenuhan hidup.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Gereja Perdana [1]

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on April 26, 2020
Posted in renungan 

Senin dalam Pekan Paskah ke-3

27 April 2020

Yohanes 6:22-29

Kisah Para Rasul 6:8-15

Dalam Masa Paskah ini kita, kita akan mendengar banyak bacaan dari Kisah Para Rasul sebagai bacaan pertama kita. Kenapa Gereja memilih bacaan ini pada masa yang khusus ini? Gereja ingin membawa kita kembali kepada Gereja perdana yang didirikan oleh Yesus dan dipimpin oleh para rasul. Gereja ingin menunjukkan bahwa Gereja Kristus Perdana sebenarnya sungguh adalah Gereja kita sekarang ini.

Tentunya, zaman telah berubah. Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, kita memiliki banyak hal yang tidak dimiliki para rasul. Petrus tidak memiliki HP atau Yohanes memiliki laptop atau internet, tetapi baik para rasul dan kita tetap memiliki tugas yang sama untuk mewartakan Injil dan membangun Gereja-Nya. Sarana mungkin berbeda, tetapi misi dan karya tetap sama.

Hari ini kita secara khusus mendengar kisah dari Stephanus, salah satu diakon pertama dan juga martir pertama yang wafat memberikan nyawanya bagi kebenaran iman, bagi Yesus. Stephanus dipenuhi dengan Roh Kudus dan mampu unggul dalam diskusi dan debat dengan orang-orang Yahudi dari faksi Libertini, yang berasal dari berbagai daerah di luar Palestina. Tetapi kebencian dan iri hati menguasai musuh-musuh Stephanus sehingga mereka menghasut banyak orang dan akhirnya membawa Stephanus kepada mahkamah Agama atau Sandherin untuk menerima penghakiman.

Kisah Para Rasul menceritakan bahwa apa yang dialami oleh Yesus akan juga dialami oleh para murid-Nya. Gereja perdana juga tidak lepas dari berbagai kesulitan dan penindasan. Dari Petrus dan para rasul yang ditahan dan dilarang untuk berkhotbah, sampai Stephanus yang menjadi martir.

Jika St. Paulus mengatakan bahwa Gereja Kristus adalah Tubuh-Nya [lih 1 Kor 12], kita harus siap menanggung luka-luka yang diterima Kristus saat disalib. Gereja yang sejati adalah Gereja yang mengalami penderitaan demi Kristus, karena kita mengambil bagian dari jalan Salib-Nya. Umat Katolik yang hidup dalam kenikmatan dan terlena dalam kemudahan akan semakin jauh dari identitas sebagai anggota Gereja Kristus yang sejati.

Pada masa Pandemi yang disebabkan virus covid-19 ini, Gereja secara global sedang menanggung penderitaan yang besar karena tempat-tempat ibadah ditutup sementara, dan kita tidak bisa berkumpul bersama untuk beribadah dan merayakan Ekaristi. Di masa ini justru menjadi kesempatan bagi kita untuk meneladani Gereja perdana di Yerusalem yang terus berkarya walaupun di tengah-tengah penderitaan dan persekusi. Ya, mungkin kita tidak bisa merayakan Ekaristi bersama, tetapi ini bukan alasan untuk mengeluh. Ini justru menjadi kesempatan untuk beriman lebih besar dan melayani lebih semangat dan kreatif.

Seperti penderitaan dan krisis yang menerpa Gereja perdana membuat mereka lebih dewasa dan berkembang, penderitaan dan kesulitan yang kita terima sekarang, jika dijalani dengan penuh iman, akan menjadi sarana bagi kita untuk bertumbuh dan menjadi dewasa.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »