Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Woman of Faith

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 30, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Thirteenth Sunday in Ordinary Time

July 1, 2018

Mark 5:21-43

 

“Daughter, your faith has saved you. Go in peace and be cured of your affliction.” (Mk. 5:34)

 

Today’s Gospel seems to be just another healing miracles of Jesus, but if we read it closely, the story of the healing of the woman with hemorrhage is extraordinary tale of faith. We are not sure what kind of hemorrhage she suffers, but the fact that she bears the sickness for 12 years, spends a lot for the medication, and does not get any better, means it is pretty serious, if not terminal. During this time, the physicians are extremely rare, and expectedly, the patients need to spend a lot of money. The woman may come from a wealthy family, but she is impoverished because her prolong sickness. The woman is losing her life and facing despair. I am currently assigned as an associate chaplain in one of the hospitals in Metro Manila, and my duty is to make pastoral visit to these patients. I encounter some patients who are suffering from certain health conditions that drain all their resources, and it seems the situation does not get any better. I realize the story of the woman with hemorrhage is not only her story happened in the far past, but it is also our stories here and now.

 

We must not forget that our protagonist is also a woman. Being a woman in the time of Jesus means being a second-class citizen in a patriarchal society and often, they are considered as mere properties of the husbands or the fathers. Generally, while the men work outside and socialize, women are expected to stay at home, and function as the housekeepers and babysitters. Normally, they are not allowed to communicate with the outsiders, especially men, except under the supervision of their husbands or fathers. Our protagonist is also having chronic hemorrhage, and this means she is ritually unclean, and those who are in contact with her shall be made unclean as well (Lv. 15:19).

 

The woman with hemorrhage has faith in Jesus and wants to be healed, yet to do that, she has to challenge the cultural norms that bind her. She traverses into greater danger. What if she is not healed? What if she makes Jesus and His disciples unclean? What if she will be branded as a shameless woman by the society? Shame restrains her, but faith propels her. Thus, she takes a ‘win-win’ approach. She tries to reach Jesus’ cloth, and she makes sure that she will not establish any contact with Jesus. Miracle happens, and she is healed. Yet, unfortunately, Jesus finds her. In tremble and fear, she fells down before Jesus and confesses. She is afraid not only because she “snatches” the power from Jesus, but because she has broken the standing cultural norms and the Law of Moses. However, Jesus’ response surprises his disciples and all who witness the event. Instead of castigating her for culturally improper behavior, Jesus praises her faith, “Daughter your faith has saved you.”

 

Indeed it is her faith that makes her a proactive protagonist of this particular story. She refuses to succumb to despair and makes her way all the way to Jesus. We notice most of the actions in this story is performed by the woman, and Jesus is there to affirm her. Rightly, Jesus calls her “daughter” acknowledging her also as the descendants of Abraham, the father of great faith. The story of a woman of hemorrhage is a journey of a woman of faith. It is a faith that grows even in the midst of hopeless situations of sickness, financial crisis, and uncertain future. It is a faith that thrives in the middle of human limitations, and transcend cultural boundaries. It is a faith that moves a mountain.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sabtu, 30 Juni 2018

Posted by admin on June 29, 2018
Posted in renungan 

Sabtu, 30 Juni 2018

1. Bacaan I : Ratapan 2:2.10-14.18-19

2. Injil : Matius 8:5-17

“Tuan, hambaku terbaring di rumah karena sakit lumpuh, dan ia sangat menderita”

Gerak kehidupan yang makin modern dengan nafas persaingan yang makin menjadi-jadi kerap kali membuat manusia menjadi masa bodoh dengan kehidupan dan situas yag tengah dialami oleh orang lain. Fokus hidup masing-masing orang menjadi terpusat pada dirinya sendiri dengan mengejar jabatan setinggi mungkin dan keuntungan sebanyak mungkin sementara orang lain justru ditempatkan sebagai saingan yang harus disingkirkan. Sikap macam inlah yang membuat kita sulit untuk mewujudkan kasih sebagai perwujudan iman kita pada Tuhan. Kita mudah mengatakan; “Tuhan adalah Kasih” namun kita sulit untuk menjadi lambang kehadiran Kasih yang nyata itu.

Hari ini bacaan injil menunjukkan pada kita kepedulian seorang perwira pada bawahannya yang tengah sakit lumpuh. Sikap perwira ini agaknya menjadi menarik karena ia hadir bukan semata sebagai atasan yang haus hormat dari bawahannya, ia justru kadir sebagai seorang atasan yang penuh kasih dengan memperhatikan apa yang menjadi kesultan dari bawahannya. Sikap macam inilah yang menjadi begitu jarang kita temukan. Saking sibuknya kita; kita menjadi lupa terhadap kebutuhan dan penderitaan orang lain.

Semoga kita juga dapat meneladan sikap pewira yang baik hati dengan mau peduli pada kesulitan dan kebutuhan sesama. Amin.

Jumat, 29 Juni 2018

Posted by admin on June 28, 2018
Posted in renungan 

Jumat, 29 Juni 2018

1. Bacaan I : Kis 12:1-11

2. Bacaan II : 2 Tim 4:6-8.17-18

3. Injil : Matius 16:13-19

“Tetapi apa katamu, siapakah aku ini?”

Relasi dan kedekatan perjumpaan akan membawa kita pada pengenalan yang mendalam dengan orang tersebut. Kita tidak lagi hanya mengenal nama, tidak pula hanya tentang kesukaannya, atau tentang apa yang membuat dia tidak suka. Kedekatan yang mendalam akan membuat kita juga mengenal identitas dan situasi batin yang ada dalam dirinya. Pertanyaan Yesus pada para muridNya juga ingin melihat seberapa dalam mereka mengenal Yesus secara personal sesuai dengan apa yang mereka yakini berdasar pengalaman hidup bersama. Jika Petrus dapat menjawab bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang Hidup pastilah itu juga muncul karena pengenalannya yang personal berdasarkan apa yang ia amati dari cara hidup, karya, kata-kata, dan kasih yang Yesus berikan. Pengenalan Petrus atas Yesus akhirnya juga harus membwa Petrus pada kesempatan untuk ambil bagian dalam karya yang Yesus lakukan di tengah dunia. Petrus mendapatkan kuasa atas kunci kerajaan surga dan apa yang ia lepaskan di dunia juga akan terlepas di surga. Jika pertanyaan itu juga ditanyakan pada kita, kira-kira apa jawaban kita terhadap pribadi Yesus. Biskaah kta menjawabanya? dan maukah kita juga ambil bagian dalam karya yang Yesus laksanakan di tengan dunia?

Kamis, 28 Juni 2018

Posted by admin on June 27, 2018
Posted in renungan 

Kamis, 28 Juni 2018

1. Bacaan I : 2 raja-Raja 24:8-17

2. Injil : Matius 7:21-29

“bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, ‘Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga”

Banyak dari kita mungkin merasa sudah cukup hanya dengan mengakui dan berseru bahwa kita beriman pada Yesus sebagai sumber dan tujuan keselamatan kita. Sebagian dari kita mungkin juga mengambil jalan yang ekstrim dengan menjadi seorang yang begitu fanatik dengan Katolik sebagai agamanya. Namun kita juga kadang lupa bahwa percaya dan berseru dengan suara lantang saja tidaklah cukup, kita harus mewujudkan apa yang kita percayai dan kita katakan itu dengan tindakan nyata. Apa yang kita imani bahkan dengan cara ekstrim itu akan menjadi tidak ada artinya jika kehadiran kita tidak dapat mencerminkan apa yang kita gembor-gemborkan. Maka marilah kita mewujudkan iman kita, mewujudkan apa yang kita akui dengan lantang yang juga sekaligus menjadi perwujudakn kehadiran Tuhan dalam kehidupan dengan sesama. Semoga dengan perwujudan iman, iman kita juga semakin kuat layaknya sebuah rumah yang dibangun di atas wadah yang kokoh.

Rabu, 27 Juni 2017

Posted by admin on June 27, 2018
Posted in renungan 

Rabu, 27 Juni 2017

1. Bacaan I : 2 Raja-Raja 22:8-13;23:1-3

2. Injil : Matius 7:15-20

“Dari Buahnyalah kalian akan mengenal mereka”

Hari ini Yesus mengajak kita untuk waspada terhadap kehadiran nabi palsu yang bisa saja akan membawa kita pada jalan yang sesat, bukannya pada jalan yang mengarah pada Tuhan. Yesus memberikan kriteria untuk membedakan antara Nabi Palsu dan Nabi yang Asli. Kriteria itu bukan tentang tampilan fisik, bukan tentang kata-kata indah, dan bukan pula tentang janji indah yang mereka ucapkan. Kriteria untuk membedakannya justru terletak pada buah apa yang mereka hasilkan. Jika buah yang dihasilkan adalah buah yang baik maka dia bukanlah nabi palsu yang menyesatkan, tapi sebaliknya jika buahnya buruk maka nabi itu adalah palsu. Agaknya kriteria ini juga bisa kita terapkan pada diri kita masing-masing. Kita bisa bertanya: “buah apa yang sudah aku hasilan? Buah kebaikankah? Atau buah keburukannya?”. Jika masih banyak buah buruk yang kita hasilkan; agaknya kita memang diajak untuk semakin dekat dengan Tuhan Sang Pokok Kehidupan yang akan menuntun kita untuk menghasilkan buah yang baik bagi diri kita, keluarga, dan bagi sesama yang kita jumpai dalam kehidupan harian kita. Amin

Translate »