Senin, 1 Oktober 2018
Hari Raya Peringatan Santa Teresa dari Lisieux
Ayub 1:6-22
Mazmur 17
Lukas 9:46-50
Data terakhir saat saya menulis ini, korban meninggal dari gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, mencapai hampir 400 jiwa. Musibah dari bencana alam sudah tidak asing di negeri kita. Wilayah yang dilimpahi dengan tanah subur, laut yang kaya, dan pemandangan yang indah, di sisi lain juga terletak di bagian dunia yang rawan gempa, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan gunung meletus. Kisah Nabi Ayub hari ini juga tidak jauh berbeda dengan keadaan negeri kita. Ayub yang sudah diberkati dengan keluarga dan kekayaan tiba-tiba mengalami musibah yang beruntun. Dalam sehari semua kepunyaannya hilang.
Penulis Kitab Ayub mencoba menjelaskan kejadian yang menimpa Ayub melalui percakapan antara Tuhan dan Iblis. Diceritakan bagaimana Allah membanggakan kesalehan Ayub, yang kemudian ditantang oleh Iblis. Tentu saja Ayub bisa saleh karena dia dilimpahi oleh berkat Allah, tapi apakah dia akan tetap setia kalau semua keturunan dan harta kekayaannya hilang? Cerita ini menimbulkan pengertian bahwa musibah yang menimpa kita adalah cobaan dari Tuhan. Pengertian ini menyebar luas, tidak hanya di lingkungan umat Kristen tetapi juga saudara-saudara kita kaum Muslim, di mana Kitab Ayub juga termasuk dalam Al-Quran. Kata-kata yang sering kita ucapkan ketika orang lain tertimpa musibah adalah: “Tetap tabah ya menghadapi cobaan dari Tuhan.”
Tapi jika kita pikir lebih jauh, apakah Allah benar mempunyai sifat demikian? Jika kita percaya bahwa Allah adalah Kasih, apakah dia perlu bereksperimen untuk melihat sebesar apa cinta kita kepadanya?
Benarkah bencana alam diciptakan Tuhan semata-mata untuk mencobai kita? Bukankah tanah subur merupakan hasil dari abu vulkanik dari gunung meletus? Bukankah keindahan alam pegunungan dan lembah terjadi karena gesekan tektonik yang menimbulkan gempa? Dan bukankah peperangan antar suku yang mengambil korban anak dan ternak Ayub, dan juga peperangan yang terjadi di dunia kita saat ini terjadi karena sifat manusia yang serakah dan mau menang sendiri? Apakah pantas jika kita “menyalahkan” Tuhan atas semua ini dengan mengatakan bahwa semua kejadian ini adalah cobaan darinya?
Di sinilah kita bisa belajar dari Ayub. Setelah tertimpa semua musibah itu, Ayub berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” Dia tidak menyalahkan Tuhan dan juga tidak menganggapnya sebagai cobaan atau tes akan kesetiannya. Seorang murid mengerjakan tes dengan pengharapan akan mendapat nilai bagus atau diterima di tingkat yang lebih tinggi. Ayub tidak mengharapkan bahwa jika dia bisa melalui semua musibah ini dia akan mendapat hadiah besar dari Tuhan. Satu-satunya yang dilakukannya adalah meneruskan hidupnya dengan keyakinan penuh bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya. Di tengah semua musibah yang menimpa, dapatkah kita tetap yakin bahwa Tuhan selalu mendampingi kita dalam kesedihan dan duka?