Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Musibah = Cobaan?

Posted by admin on September 30, 2018
Posted in renungan 

Senin, 1 Oktober 2018
Hari Raya Peringatan Santa Teresa dari Lisieux

Ayub 1:6-22
Mazmur 17
Lukas 9:46-50

Data terakhir saat saya menulis ini, korban meninggal dari gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, mencapai hampir 400 jiwa. Musibah dari bencana alam sudah tidak asing di negeri kita. Wilayah yang dilimpahi dengan tanah subur, laut yang kaya, dan pemandangan yang indah, di sisi lain juga terletak di bagian dunia yang rawan gempa, gunung meletus, banjir, tanah longsor, dan gunung meletus. Kisah Nabi Ayub hari ini juga tidak jauh berbeda dengan keadaan negeri kita. Ayub yang sudah diberkati dengan keluarga dan kekayaan tiba-tiba mengalami musibah yang beruntun. Dalam sehari semua kepunyaannya hilang.

Penulis Kitab Ayub mencoba menjelaskan kejadian yang menimpa Ayub melalui percakapan antara Tuhan dan Iblis. Diceritakan bagaimana Allah membanggakan kesalehan Ayub, yang kemudian ditantang oleh Iblis. Tentu saja Ayub bisa saleh karena dia dilimpahi oleh berkat Allah, tapi apakah dia akan tetap setia kalau semua keturunan dan harta kekayaannya hilang? Cerita ini menimbulkan pengertian bahwa musibah yang menimpa kita adalah cobaan dari Tuhan. Pengertian ini menyebar luas, tidak hanya di lingkungan umat Kristen tetapi juga saudara-saudara kita kaum Muslim, di mana Kitab Ayub juga termasuk dalam Al-Quran. Kata-kata yang sering kita ucapkan ketika orang lain tertimpa musibah adalah: “Tetap tabah ya menghadapi cobaan dari Tuhan.”

Tapi jika kita pikir lebih jauh, apakah Allah benar mempunyai sifat demikian? Jika kita percaya bahwa Allah adalah Kasih, apakah dia perlu bereksperimen untuk melihat sebesar apa cinta kita kepadanya?

Benarkah bencana alam diciptakan Tuhan semata-mata untuk mencobai kita? Bukankah tanah subur merupakan hasil dari abu vulkanik dari gunung meletus? Bukankah keindahan alam pegunungan dan lembah terjadi karena gesekan tektonik yang menimbulkan gempa? Dan bukankah peperangan antar suku yang mengambil korban anak dan ternak Ayub, dan juga peperangan yang terjadi di dunia kita saat ini terjadi karena sifat manusia yang serakah dan mau menang sendiri? Apakah pantas jika kita “menyalahkan” Tuhan atas semua ini dengan mengatakan bahwa semua kejadian ini adalah cobaan darinya?

Di sinilah kita bisa belajar dari Ayub. Setelah tertimpa semua musibah itu, Ayub berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” Dia tidak menyalahkan Tuhan dan juga tidak menganggapnya sebagai cobaan atau tes akan kesetiannya. Seorang murid mengerjakan tes dengan pengharapan akan mendapat nilai bagus atau diterima di tingkat yang lebih tinggi. Ayub tidak mengharapkan bahwa jika dia bisa melalui semua musibah ini dia akan mendapat hadiah besar dari Tuhan. Satu-satunya yang dilakukannya adalah meneruskan hidupnya dengan keyakinan penuh bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya. Di tengah semua musibah yang menimpa, dapatkah kita tetap yakin bahwa Tuhan selalu mendampingi kita dalam kesedihan dan duka?

Amputation

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 29, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

26th Sunday in Ordinary Time

September 30, 2018

Mark 9:36-43, 45, 47-48

 

“If your hand causes you to sin, cut it off.  (Mk. 9:43 )”

 

When I was assigned to the hospital to serve as a chaplain, I witnessed the rise of diabetic cases as well as its terrifying effects on the patients. In simple term, diabetes is a condition in a person who can no longer naturally manage their blood sugar. In more serious cases, the body loses its natural ability to heal its wounds. In the beginning, it was a small open wound, yet since the body no longer heals, the infections set in, and this leads into gangrene or the death of the body’s tissues. I accompanied some patients who were struggling with this situation and witnessed how their fingers or even foot were darkened and deformed. When the ordinary treatment no longer worked, the amputation became the only merciful option as to prevent the spread of infections. As a chaplain, accompanying these patients was one of my toughest missions in the hospital.

In today’s Gospel, Jesus’ words are pretty harsh, if not violent. He wants the one who causes the believers to sin to be thrown into the sea. He wants hands and feet cut, and eyes plugged. He even describes Gehenna in more vivid details, “where their worm does not die, and the fire is not quenched.” The image of Jesus seems to be far different from Jesus who is gentle and merciful. What is going on? Is Jesus promoting violence? Is Jesus a schizophrenic or having a split personality?

Jesus is perfectly sane. Yet, he becomes passionate because he is teaching a serious matter with a grave consequence. This is none other than sin. Jesus knows well that sin corrupts, and like growing roots, it corrupts to every side. Sin destroys our souls, our neighbors, our environment and even our holy relationship with God. What more sinister about sin is that deforms our conscience and makes us believe that we are just doing fine. In his book ‘The Name of God is Mercy, Pope Francis speaks of the effect of sinful corruption, “Corruption is not an act but a condition, a personal and social state we become accustomed to living in… The corrupt man always has the cheek to say, ‘It wasn’t me!”…He is the one who goes to Mass every Sunday but has no problem using his powerful position to demand kickbacks…then he boasts to his friends about his cunning ways.”

Like in the case of a person struggling with diabetes and having gangrene in his finger, it is better for him to amputate the affected finger as to prevent the spreading of infection, and thus, save his other organs, and life. So it is with sin. Jesus commands us to “amputate” those areas in our lives that are corrupted by sin, as to save our souls. But, this is not easy. Like some of the patients I ministered to, they refuse to give up the precious parts of their bodies. They deny, get angry and frustrated, and try to bargain with the doctors to avoid amputation. With the same mentality, we often deny that we nurture our vices. We get angry when people correct us and reveal us our sins. We also bargain with the Lord to keep our favorite sins and tell Him that we are going to be better in other aspects of our lives. However, these do not work. A radical “amputation” is necessary to save our ailing souls.

The good news, however, is that unlike the body which will never regain the lost limbs, our souls will, in fact, grow even holier after the “amputation.” The relationship between others will be purified, our attitude towards the environment will be filled with care and mercy, and our love for God will be deepened.

What are our sinful attitudes that harm ourselves, others and the environment ? Are we humble enough to receive corrections? Are we courageous enough to acknowledge them as sins? Do we ask God’s grace to prepare us for the sacrament of confession?

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pesta Santo Mikael, Gabriel dan Rafael (Malaikat Agung)

Posted by admin on September 28, 2018
Posted in renungan 

Pesta Santo Mikael, Gabriel dan Rafael (Malaikat Agung)

Wahyu 12:7-12a; Yohanes 1:47-51

Iman Katolik meyakini bahwa ada ciptaan rohani yang disebut malaikat. Kata malaikat berasal dari bahasa Ibrani “MALAH”, yang berarti pesuruh. Maka malaikat dapat diartikan sebagai pesuruh Tuhan. Tentang siapa dan bagaimana malaikat, biasanya tidak dikupas secara mendalam. Hanya disebut bahwa ada malaikat pelindung, ada Serafim dan Kerubim. Dalam kitab suci Perjanjian Baru memang cukup sering ditunjukkan adanya malaikat. Misalnya: Malaikat yang menyampaikan kabar gembira kepada Maria, Malaikat yang mewartakan kelahiran Yesus, malaikat pembisik Yusuf, malaikat yang menemui Yesus di taman Getsemani dst. Hari ini kita merayakan pesta tiga malaikat agung. Malaikat Mikael adalah pemimpin para malaikat yang setia kepada Allah; malaikat Rafael adalah penunjuk jalan dan penyembuh; dan malaikat Gabriel adalah pewarta kabar gembira kepada Maria.

Banyak umat kita sekarang ini yang kurang mengenal tempat dan peran malaikat dalam hidupnya. Padahal, Gereja meyakini akan adanya para malaikat yang menjadi utusan atau suruhan Tuhan agar menjaga hidup dan iman kita kepada Kristus. Malaikat itu menjadi pelindung dan penjaga kita, agar kita tidak pernah berpisah dari keselamatan yang datang hanya dari Allah melalui Kristus Tuhan kita. Injil hari ini jelas sekali mengungkapkan bagaimana para malaikat melayani Yesus Kristus. Sadar atau tidak sadar, sehari-hari kita ini selalu dijaga oleh malaikat pelindung dan para malaikat agung yang kita pestakan hari ini. Semoga kita senantiasa menyadari dan membuka diri untuk bekerjasama dengan para malaikat yang mengantar kita pada kekudusan dan keselamatan dalan Tuhan Yesus Kristus.

Jumat Pekan Biasa XXV Tahun II 2018

Posted by admin on September 27, 2018
Posted in renungan 

Jumat Pekan Biasa XXV Tahun II 2018

Pengkhotbah 3:1-11; Lukas 9: 18-22

Banyak orang asli Jawa Tengah suka disebut masih keturunan keraton, atau setidak-tidaknya masih punya hubungan kekerabatan dengan orang keraton. Banyak dari mereka sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa dari penelusuran hubungan kekerabatan. Mereka bahkan sebenarnya tidak disebut raden, raden roro, dsb. Akan tetapi, mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai raden, keturunan kerabat keraton, keturunan isteri raja yang ke sekian, dst. Mereka secara tak resmi menyebut diri sebagai para priyayi yang berbeda dengan orang kebanyakan. Apa untungnya menjadi priyayi seperti itu?

Kebanyakan mereka mempunyai kebanggaan kalau masih punya hubungan kekerabatan dengan para raja mereka. Mereka merasa diri berdarah biru, keturunan bangsawan, dan lalu mendapat sedikit perlakuan lain dari orang-orang yang tahu dan masih peduli dengan “raden-radenan” itu. Perasaan bangga adalah sesuatu yang membuat makin percaya diri dan merasa lain dari yang lain. Tanpa uang pun, mereka rela menjadi semakin dekat dengan pihak keraton, demi perasaan itu.

Sesudah dibaptis, semua orang Kristen disebut sebagai anak-anak Allah. Semua orang yang mempunyai nama Kristen adalah sahabat Yesus. Apakah kita merasa bangga dengan sebutan dan kenyataan itu?

Yesus disebut Mesias, tokoh yang dijanjikan para nabi di jaman dahulu. Mesias adalah tokoh pembebas, penyelamat bangsa Israel yang dinantikan. Kedatangannya adalah tanda keselamatan, tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan dan mengubah nasih orang Israel. Akan tetapi Yesus dilihat sebagai yang kurang atau tidak layak, meragukan, jika disebut sebagai Mesias. Dia dianggap bukan berasal dari golongan berdarah biru, kaum imam, apalagi kaum bangsawan. Yesus hanyalah anak tukang kayu yang sederhana dan biasa.

Orang Israel menginginkan seorang tokoh panutan dan penyelamat yang “memadai”, yang kurang lebih pantas dibanggakan. Mesias mestilah seorang yang membanggakan, yang luar biasa, yang kharismatis, yang anggun, yang berkuasa, yang punya pengaruh, yang kuat berjuang, dan yang bisa diandalkan untuk membantu seluruh bangsa dari penindasan. Dan Yesus bukanlah tipe seperti yang mereka bayangkan. Kehadiran Yesus sebenarnya memenuhi kriteria itu, tetapi harapan dan bayangan Orang Israel berbeda. Yesus yang memenuhi Kriteria itu tak tampak seperti yang mereka nanti-nantikan.

Dalam hidup ini, kita kadang tidak mengerti, apa yang dapat membuat kita bangga dan apa yang dapat membuat kita yakin dan teguh. Kita mencari sesuatu yang membuat kita rela berkorban demi yang kita percayai itu. Tapi apa itu?

Kita sudah selalu belajar mengerti bahwa yang membanggakan itu yang hebat, yang kaya, yang cantik dan tampan, yang punya pengaruh, yang berkuasa, yang kuat, dst. Itu yang membanggakan. Kita jarang belajar bahwa yang lemah, yang mengalah itu juga membanggakan. Sebagai orang Kristen, kita belajar menghargai kelemahan kita. Kita belajar menjadi bangga dengan yang lemah, yang kurang kuat, yang tidak berkuasa, tetapi yang membuat damai, yang menyelamatkan karena membela kebenaran dan ketulusan.

Yesus adalah rupa manusia yang sederhana, yang punya kekuatan dari kesederhanaan-Nya. Yesus mempunyai kuasa sebagai Mesias justru karena Ia tidak menampakkan kekuatan dan kekuasaan-Nya. Dalam kelemahan itu, kita banyak diberi teladan mengerti hidup. Kita belajar memahami, bahwa pada saat kita kalah, atau tampak kalah pun, kita tidak kehabisan kebanggaan untuk menjadi orang Kristen, karena Yesus pun demikian. Dengan menjadi Orang Kristen yang benar, kita tahu bahwa kebanggaan kita menjadi lestari, kekal, bersama Yesus yang sederhana itu.

Pw. Santo Vincentius A Paulo

Posted by admin on September 26, 2018
Posted in renungan 

Pw. Santo Vincentius A Paulo

Pengkhotbah 1:2-11; Lukas 9:7-9

Akhir-akhir ini dunia perpolitikan Indonesia sedang memanas dengan berbagai trik dan intrik untuk mempersiapkan pemilihan presiden 2019 nanti. Masing-masing partai membuat persiapan agak calonnya menjadi orang nomer satu di negeri ini. Mereka ingin menjadi partai yang paling besar, memiliki calon yang bisa menjadi orang nomer satu di negeri ini, mempunyai pengaruh paling besar di negeri ini dst. Padahal menjadi orang besar, baik dalam jabatan maupun dalam usaha seringkali justru sulit untuk bisa menikmati kebahagiaan dalam hidupnya. Ada kecemasan-kecemasan yang seringkali muncul dalam hati mereka. Mereka cemas bila ada orang lain yang lebih pandai, popular dan sukses karena takut bila kedudukannya akan digeser. Mereka juga takut kalau ada pencuri yang datang menjarah barang-barang miliknya. Dan masih banyak lagi kecemasan serta kegelisahan yang mengganggu hidupnya.

Pengalaman kecemasan itu juga terjadi pada diri Herodes. Ia telah menyingkirkan orang-orang yang mengganggu dirinya, antara lain Yohanes Pembaptis. Ia juga telah berusaha agar tidak ada orang yang menjadi tandingan hidupnya. Namun tiba-tiba ia mendengar seseorang yang sangat berpengaruh dan diikuti banyak orang, yaitu Yesus. Herodes menjadi gelisah dan mulai bertanya-tanya, siapakah Yesus itu?? Lalu ia berusaha untuk bertemu, namun tentu saja bukan bermaksud baik melainkan untuk membungkamNya.

Hidup dalam suasana persaingan memang tidak membahagiakan. Orang akan selalu cemas apabila ada orang lain muncul, apalagi bila mereka lebih baik, lebih populer, lebih diterima dan mempunyai banyak bakat. Hari ini, Tuhan Yesus mengajak kita untuk menjadi orang yang rendah hati, turut bahagia ketika orang lain dapat berprestasi, turut memberi kesempatan kepada orang yang lebih muda, lebih mampu dan membawa keadaan keluarga, komunitas, atau pun Gereja menjadi lebih baik lagi. Kita mohon rahmat kerendahhatian dari Tuhan agar membimbing kita menjadikan hidup kita lebih bahagia dan komunitas kita lebih dewasa.

Translate »