Renungan: Kamis, 01 Maret 2018
Yeremia 17:5-10
Lukas 16:19-31
ORANG KAYA MASUK SURGA (?)
“engkau telah menerima segala yang baik, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engaku sangat menderita”
Kita kerap kali mendengar peribahasa: “hidup itu seperti roda yang berputar, kadang di bawah dan suatu saat juga akan ada di atas”. Jika melihat peribahasa ini kita menjadi sadar bahwa tidak ada yang abadi dan berlaku selamanya; selalu ada yang berubah, selalu ada yang berputar, dan selalu ada yang bertukar posisi. Hari ini kita juga diajak merenungkan roda yang berputar itu lewat kisah hidup seorang kaya dan Lazarus yang miskin. Sepanjang hidupnya, Lazarus tidak pernah merasakan kemewahan dan kenyamanan hidup, sementara orang kaya selalu hidup dalam kemewahan. Posisi ini berbalik saat keduanya mati; orang kaya tidak lagi bisa menikmati kenyamanan dan kemewahan sementara Lazarus telah dengan damainya tidur di pangkuan Abraham.
Melihat kisah Lazarus dan orang kaya, kita akan bertanya apa yang membuat orang kaya menjadi sengsara setelah kematinanya? apakah uang dan kekayakaan menjadi penghalang kita masuk Surga? apakah Surga hanya diperuntukkan untuk orang-orang miskin saja? atau apakah orang kaya memang sama sekali tidak punya hak di Surga? Rasa-rasanya masuk Surga atau tidak pertama-tama memang bukan hak kita sebagai manusia untuk menentukannya, namuan jika boleh melihat kisah dua pribadi tersebut kita justru diajak menyadari bahwa kaya dan miskin sebenarnya bukan ukuran seorang akan mulia atau sengsara setelah kematiannya. Yang menjadi masalah lebih-lebih tentang “bagaimana seseorang menyikapi kekayaan yang ia miliki. Orang kaya yang tidak punya hati untuk berbagilah yang membuat ia harus merasakan sengsara setelah kematiannya. Ia terlalu merasa nyaman berada “di atas” hingga tidak sadar ada begitu banyak yang sedang merangkak sedih “di bawah”, ia seolah menutup mata, dan masa bodoh dengan orang lain. Ia tidak sadar bahwa apa yang dimiliki bukan pertama-tama hanya untuk dihabiskan dan dinikmati sendiri, namun juga harus digunakan sebagai sarana berbagi. Maka marilah kita mohon rahmat agar kita mau berbagi pada sesama lewat rejeki yang kita miliki.
We are entering the second Sunday of Lent, and we read from the Gospel that Jesus is transfigured before His three disciples on the mountain. We may wonder why the Church select this reading for the liturgical season of Lent. The season is associated with the atmosphere of repentance and mortification as we intensify our prayer, fasting, and abstinence. Yet, we have a reading that depicts a glorious moment of Jesus on earth, and this surely brings an extremely edifying experience for the three disciples. It does not seem really proper for this Lenten season. Does it?