Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

ORANG KAYA MASUK SURGA (?)

Posted by admin on February 28, 2018
Posted in renungan 

Renungan: Kamis, 01 Maret 2018

Yeremia 17:5-10

Lukas 16:19-31

ORANG KAYA MASUK SURGA (?)

“engkau telah menerima segala yang baik, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engaku sangat menderita”

Kita kerap kali mendengar peribahasa: “hidup itu seperti roda yang berputar, kadang di bawah dan suatu saat juga akan ada di atas”. Jika melihat peribahasa ini kita menjadi sadar bahwa tidak ada yang abadi dan berlaku selamanya; selalu ada yang berubah, selalu ada yang berputar, dan selalu ada yang bertukar posisi. Hari ini kita juga diajak merenungkan roda yang berputar itu lewat kisah hidup seorang kaya dan Lazarus yang miskin. Sepanjang hidupnya, Lazarus tidak pernah merasakan kemewahan dan kenyamanan hidup, sementara orang kaya selalu hidup dalam kemewahan. Posisi ini berbalik saat keduanya mati; orang kaya tidak lagi bisa menikmati kenyamanan dan kemewahan sementara Lazarus telah dengan damainya tidur di pangkuan Abraham.

Melihat kisah Lazarus dan orang kaya, kita akan bertanya apa yang membuat orang kaya menjadi sengsara setelah kematinanya? apakah uang dan kekayakaan menjadi penghalang kita masuk Surga? apakah Surga hanya diperuntukkan untuk orang-orang miskin saja? atau apakah orang kaya memang sama sekali tidak punya hak di Surga? Rasa-rasanya masuk Surga atau tidak pertama-tama memang bukan hak kita sebagai manusia untuk menentukannya, namuan jika boleh melihat kisah dua pribadi tersebut kita justru diajak menyadari bahwa kaya dan miskin sebenarnya bukan ukuran seorang akan mulia atau sengsara setelah kematiannya. Yang menjadi masalah lebih-lebih tentang “bagaimana seseorang menyikapi kekayaan yang ia miliki. Orang kaya yang tidak punya hati untuk berbagilah yang membuat ia harus merasakan sengsara setelah kematiannya. Ia terlalu merasa nyaman berada “di atas” hingga tidak sadar ada begitu banyak yang sedang merangkak sedih “di bawah”, ia seolah menutup mata, dan masa bodoh dengan orang lain. Ia tidak sadar bahwa apa yang dimiliki bukan pertama-tama hanya untuk dihabiskan dan dinikmati sendiri, namun juga harus digunakan sebagai sarana berbagi. Maka marilah kita mohon rahmat agar kita mau berbagi pada sesama lewat rejeki yang kita miliki.

APA MOTIVASIKU (?)

Posted by admin on February 28, 2018
Posted in renungan 

Renungan: Rabu, 28 Februari 2018

Yeremia 18 18-20

Matius 20:17-28

APA MOTIVASIKU (?)

“berilah perintah supaya kedua anakku ini kelak boleh duduk di Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu, dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu”

Yesus yang saat itu sedang menyampaikan kisah akhir hidupNya; dimana Ia akan diserahkan pada Imam-imam kepala dan Ahli Taurat, hingga kemudian Ia dijatuhi hukuman mati justru harus mendengarkan permintaan seorang Ibu yang ingin anak-anaknya mendapatkan “kemuliaan”. Jika kita boleh membayangkan perasaan Yesus saat itu pasti ada beberapa perasaan yang Ia rasakan. Ia yang saat itu bisa saja tengah bersedih karena waktu kematian-Nya telah dekat justru harus mendengarkan permintaan yang seolah ingin “memanfaatkan” sengsara-Nya demi kemuliaan keluarga. Yesus yang sebenarnya bisa saja tengah membutuhkan penghiburan justru harus mendapatkan permintaan yang terdengar begitu konyol.

Bacaan hari ini mengajak kita merenungkan tentang “motivasi”. Ada banyak motivasi yang kita miliki saat kita melakukan satu hal, pun tidak terkeculi dengan Ibu dari anak-anak Zebedeus. Zebedeus yang mempunyai sejumlah orang upahan, sehingga Yohanes dan Yakobus dapat pergi meninggalkan pekerjaan ayahnya untuk mengikuti Yesus mengambarkan bahwa keluarga ini adalah keluarga berada. Dengan kekayaan yang ada maka Ibu anak-anak Zebedeus bisa memenuhi kebutuhan Yesus bersama dengan rombongan para murid-Nya. Ia bisa membelikan makanan, bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, dan bisa dengan mudah memenuhi kebutuhan Yesus yang mendadak. Melihat apa yang bisa diberikan oleh Ibu anak-anak Zebedeus pasti kita sedikit akan merasa iri; iri karena ia bisa dengan mudah melayani Yesus dengan harta kekayaan yang dimiliki. Namun sayangnya apa yang dilakukan oleh Ibu anak-anak Zebedeus ternyata tidak sungguh murni dan bukannya tanpa pamrih. Ia dengan segala yang telah diberikan ternyata mengharapkan imbalan dari Yesus, yaitu kedudukan yang Istimewa bagi dua anaknya. Bisa jadi kita juga seperti Ibu anak-anak Zebedeus; melakukan perbuatan baik, berkecimpung aktif di Gereja, ikut Kegiatan Sosial, dll juga masih membawa niat terselubung. Bisa saja kita sebenarnya ingin mendapatkan keuntungan atau minimal kita mengarapkan pujian dari orang di sekitar kita. Kalau motivasi-motivasi itu masih ada dalam hati kita, marilah kita mohon agar dimurnikan segala tidakan baik yang kita lakukan agar bukan imbalan yang selalu kita harapkan.

BUKA DULU TOPENGMU

Posted by admin on February 28, 2018
Posted in renungan 

Renungan: Selasa, 27 Februari 2018

Yesaya 1:10.16-20

Matius 23:1-12

BUKA DULU TOPENGMU

Kita sebagai manusai kerap kali dihadapkan pada sifat bawaan yang dimiliki oleh sebagian besar diri kita. Kita mempunyai kecenderungan untuk selalu dipandang baik, selalu unggul, dan akhirnya selalu dihormati dalam pergaulan. Banyak hal coba kita lakukan untuk mendapatkan pengakuan atas kualitas diri kita, namun sayangnya ada juga yang hanya “berpura-pura baik” agar dipandang unggul oleh orang lain. Banyak orang akan memoles dirinya, memakai “topeng”, dan “riasan” agar apa yang terlihat dapat mendatangkan pujian dan lalu kita semakin dihirmati.

Hari ini Yesus menegur orang-orang Farisi yang dengan usaha “memoles diri” berharap akan mendapatkan penghormatan lebih dari orang lain. Mereka berusaha untuk menampilkan diri sebaik mungkin, seindah mungkin, sesaleh mungkin, padahal praktek hidupnya tidak sungguh-sungguh menceriminkan apa yang berusaha mereka tampilan ini. Tidak hanya secara fisik, orang Farisi juga kerap kali berusaha dipandang baik lewat kata-kata dan ajaran yang mereka ucapkan, padahal apa yang mereka ucapkan hanya berhenti di mulut saja dan tidak ada tindakan nyata atas ajaran yang disampaikan. Satu yang mereka harapkan dari usaha memoles diri, yaitu pengormatan. Padahal Yesus sendiri meminta agar; “siapa yang terbesar di antara kita, hendaklah ia menjadi pelayan. Barangsiapa meninggilan diri akan direndahlan, dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan”. Kita diajak pertama-tama bukan sebagai pribadi yang berusaha menonjolkan dan meninggikan diri, namun kita justru diajak untuk mau menjadi pelayan bagi orang lain lewat kelebihan dan bakat yang ada.

Kalau hari ini yang Yesus tegur adalah orang Farisi yang suka memoles diri, berkata-kata indah dalam ajaran-ajaran, menampilkan diri seolah mereka begitu suci; jangan-jangan kita juga sama seperti mereka. Jangan-jangan kita selama ini juga memakai topeng dan menampilkan diri “seolah-olah baik” padahal tidak sungguh-sungguh baik. Jangan-jangan selama ini kita berusaha untuk selalu dihormati dan enggan untuk melayani. Semoga hari ini kita mau membuka topeng-topeng kita, membuangnya, dan akhirnya mau menjadi pelayan bagi sesama.

Jesus, Moses, and Elijah

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 24, 2018
Posted in renungan 

Second Sunday of Lent

February 25, 2018

Mark 9:2-10

 

Then Elijah appeared to them along with Moses, and they were conversing with Jesus.  (Mk. 9:4)

 

We are entering the second Sunday of Lent, and we read from the Gospel that Jesus is transfigured before His three disciples on the mountain. We may wonder why the Church select this reading for the liturgical season of Lent. The season is associated with the atmosphere of repentance and mortification as we intensify our prayer, fasting, and abstinence. Yet, we have a reading that depicts a glorious moment of Jesus on earth, and this surely brings an extremely edifying experience for the three disciples. It does not seem really proper for this Lenten season. Does it?

 

When Jesus is transfigured, two great figures of Israel, Moses, and Elijah come and converse with Jesus. The two figures represent two foundations of Israelite religious life: the Law and the Prophet. Yet, looking closely at the stories of these great persons, we may discover some interesting facts. Moses sees the burning bush at the Mount Horeb and receives the holy name of God of Israel (Exo 3). He also fasts for 40 days before he receives the Law from God in the mount of Sinai (Exo 34:28). Elijah on his part fasts from food when he walks 40 days to see God in the mount of Horeb (1 King 19:8). Both climb a mountain to witness the presence of God and receive their missions there. Like them, Jesus fasts for 40 days in the desert and goes up to the mountain to listen to the affirming voice of His Father.

 

However, the holy mountain does not simply lead them to the blissful encounter with the Divine, but it also reveals their life-changing mission. In Horeb, Moses is to deliver Israel from the slavery of Egypt. As a consequence, he has to deal courageously with the ruthless and stubborn Pharaoh. Not only with Pharaoh, but Moses also has to bear with his own people, Israel who keep complaining and blaming Moses for bringing them out of Egypt. Elijah receives task to anoint Hazael as a king of Aram, Jehu as a king of Israel, and Elisha as a prophet. Going down the mountain also means Elijah has to once again face Ahab, the king of Israel, and his vengeful and violent queen, Jezebel. As Jesus is leaving the mountain, He lets His disciples know that He has to suffer and die on the cross. From the mount of transfiguration, Jesus begins His way of the cross and marches toward another mount, the Calvary.

 

With today’s Gospel, the Church reminds us that the transfiguration is intimately linked to Jesus’ passion and resurrection. Thus, it is properly placed within the context of Lent. Like Jesus and His disciples, we also have our moments of transfiguration. It is where we encounter God, and His presence fills us with joy. One friend shared his experience of an unexpected utter peacefulness when he visited the Blessed Sacrament. He visited the Adoration Chapel often, yet only that day, he encountered the Lord, so alive in his heart. It was the day when he lost his job, had a big quarrel with his wife, and his father got a serious illness. Though he wanted to linger forever in that experience, he then realized that he had to go back to his life and struggle with the problems. He has a mission, and he has to continue his way of the cross. We have our own transfiguration and allow this precious moment empower us to carry our daily crosses.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Photo by Harry Setianto Sunaryo, SJ

Mengasihi Musuh

Posted by admin on February 23, 2018
Posted in renungan 

Sabtu, 24 Februari 2018

Hari Biasa Prapaskah I

Bacaan I Ulangan 26: 16-19

Bacaan Injil Matius 5: 43-48

Mengasihi Musuh

Ketika meresapkan ajaran Yesus tentang mengasihi musuh-musuh kita, saya merasa itu tidaklah mungkin. Bagaimana bisa mengasihi mereka yang telah mengecewakan, merugikan dan melukai kita? Namun, Yesus memberi teladan di luar ekspektasi, yaitu sungguh mengasihi mereka yang membuat-Nya menderita. Sabda Yesus tatkala di salib, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” bermakna bahwa Yesus tidak menaruh dendam terhadap mereka yang telah membawa-Nya dalam penderitaan. Pilihan sikap dari Yesus ini menjadi keutamaan kristiani yang semakin bertumbuh subur, terutama di Indonesia dengan aneka macam karakteristiknya. Rasa saya, keutamaan tersebut sudah coba diwujudkan oleh umat katolik dan menjadi milik yang harus dipertahankan. Kekayaan kita sebagai Gereja bukan terletak pada harta benda yang megah tetapi pada keutamaan-keutamaan hidup yang bersumber dari ajaran Sang Teladan Yesus Kristus.

Saya punya teman di sekolah yang sering dijadikan sasaran ejekan dalam suasana canda. Tidak jarang ejekan-ejekan yang diterimanya sungguh tajam dan menyakitkan, tetapi dia masih tetap bisa tersenyum dan gembira. Ketika saya tanya bagaimana cara bisa sedemikian sabar atas realita hidupnya, dia menjawab, “Kalau kita diejek secara menyakitkan, bersyukurlah bahwa sebenarnya kita sedang diperhatikan. Bahwa mereka yang mengejek kita itu sudah berusaha kenal dengan kita, maka harusnya kita berterima kasih kepadanya atas perhatiannya yang begitu besar”. Memang, teman saya itu pada akhirnya tidak mempunyai musuh, justru dia menjadi orang yang mampu menjadi teman untuk siapapun. Ada berbagai macam cara untuk mendoakan orang-orang yang telah membuat kita sakit dan menjadi musuh kita. Semua itu tergantung dari hati kita. Ini bukanlah sebuah tindakan yang mudah, tetapi jika kita mampu melakukannya maka kita boleh berbangga diri bahwa kita adalah salah seorang yang pantas menjadi murid Tuhan. Memang terkadang ajaran-ajaran Yesus itu di luar ekspektasi kita, karena sekaligus mengajak kita untuk menyerahkan niat kepada kehendak Allah. Karena, ketika manusia mengatakan “mustahil”, bagi Allah hal itu adalah sebuah “kemungkinan”. Kita mohon rahmat Allah agar mampu meresapi Sabda Yesus dengan penuh kesadaran dan penyerahan diri. Semoga, Tuhan memberkati kita semua.

Translate »