Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Holy Family Sunday.

Posted by admin on December 31, 2017
Posted in renungan 

Holy Family Sunday.
 
Sirach 3:2-6,12-14; LK 2:41-52.
 
The qualities of family life are enumerated in today’s readings.
1) The book of Sirach emphasizes the authority and dignity that Parents posses, and the honor and respect, and care that children owe to them.
 
2) St. Paul sums up how members of each family are to interact: with mercy, kindness, patience and forgiveness; bearing with one another and caring for each other.
 
3) The Gospel story about Jesus getting lost in the Temple, reminds us about a family celebrating Festivities of Salvation such as Christmas and Easter(Passover) are important part of family life. It also illustrates how sorrow, pain and worry are part of all families experience.
 
4) All of us are totally aware of the present world scenario: Anxiety, anger, pessimism, greed, corruption and economic collapse.
People are hurt because they see a slow motion of moral collapse.
 
Children without fathers,  Schools without without discipline, rewards without efforts, crimes without punishment. These crimes,rapes and gang rapes every day in the news all over the world. These crimes continue without punishments. Some people want rights without responsibilities, communities without control; worst aspects of human nature such as lust, anger, greed and corruption are tolerated and indulged and incentivized.
 
5) Today more than ever before we need moral courage; parents need the authority and  should take authority to confront these moral corruption. We need commitment, lifelong caring no matter what may happen.
 
We need in a family communication, and willing to take time to listen, dialogue and sharing one’s feelings.
We need compatibility, ability to get along, adjust and be flexible.
 
We need compassion, understanding weakness and sympathize with failure. Be kind always; every one is fighting a difficult battle in their lives.
 
We need confession, to one another, say sorry and be reconciled with, and forgive. A sense of humor to laugh at oneself and make others smile. and we need to learn to appreciate our children, and adopted children, nephews and nieces with whom we share life.
 
These reflections should serve as our guide to grow together as a happy family and holy family. We pray for it.
 
 
Fr. Lucas Thumma

Maria Bunda Allah

Posted by admin on December 31, 2017
Posted in renungan 

Senin, 1 Januari 2018

Maria Bunda Allah

Luk 2, 16-21

Hari ini merupakan hari pertama di tahun 2018. Setiap tanggal 1 Januari 2018, Gereja mengundang kita untuk merenungkan peran Bunda Maria dalam sejarah keselamatan sebagai Bunda Allah. Sejak Konsili Efesus th. 431, Gereja Katolik mendeklarasikan ajaran iman mengenai Maria, Bunda Allah. Kemudian Pius XI pada tahun 1932, menjadikan suatu perayaan liturgi dalam Gereja Katolik pada tanggal 11 Oktober dan selanjutnya tanggal tersebut dipindahkan pada tanggal 1 Januari dalam oktaf Natal. Hari Raya Maria Bunda Allah juga dideklarasikan sebagai Hari Perdamaian sedunia, Maria, Ratu Damai (Regina Pacis).

Bacaan Injil hari ini mengundang kita untuk merenungkan Maria sebagai Bunda Allah dan juga Bunda kita semua, umat beriman. Injil Lukas mempresentasikan suatu perjumpaan antara para gembala dan Bayi Yesus yang ada di pangkuan Maria, BundaNya dan dalam pendampingan Yosef, suami Maria. Kehadiran para gembala, Maria, Yosep dan Bayi Yesus yang terbaring di atas palungan, menjadi suatu gambaran Gereja yang bersatu dalam menyembah Sang Juru Selamat. Perjumpaan itu menjadi saat untuk bertatap muka, bersentuhan, bertemu pandang, hadir bersama dalam keheningan. Demikianlah gambaran pengalaman para gembala berjumpa dengan Bayi Yesus. Perjumpaan seperti itu juga kita alami sampai saat ini dalam misteri sakramen-sakramen dalam Gereja, terutama sakramen ekaristi. Kita mengalami kehadiran Allah dalam SabdaNya dan Tubuh dan DarahNya yang kita santap. Yesus Kristus yang bangkit hadir secara pribadi dalam diri kita. Bunda Maria disebut sebagai Bunda Allah yang menjadi ‘tabernakel’ yang pertama, di mana Yesus bersemayam di dalam rahimnya. Seperti para gembala mengalami kegembiraan dan sukacita dalam perjumpaan itu, kita pun mengalami sukacita dan kegembiraan setelah mengalami perjumpaan dengan Yesus dalam sakramen ekaristi. Kita pun selanjutnya diutus seperti para gembala, untuk mewartakan Kabar Gembira, kabar keselamatan, kedamaian dan pengharapan ke seluruh dunia.

« Yesus, Sang Juru Selamat, jadikanlah hati kami seperti hati para gembala yang berani mewartakan Kabar Gembira kepada semua orang, terutama kepada para miskin papa. Amin »

Behind the Holy Family

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 30, 2017
Posted in renungan 

Feast of the Holy Family

December 31, 2017

Luke 2:22-40

 

“They took him up to Jerusalem to present him to the Lord (Luk 2:22 NAB)”

 

Today, the Church is celebrating the feast of the Holy Family. Saint Joseph and the Blessed Virgin Mary are man and woman regarded as the holiest among mortals. And the center of their family is Jesus, the Son of God. They are not only one holy family among others, but they are the perfection of the Holy Family. Looking at our own families, we realize we are nothing to compare to this Holy Family. We are called to be holy like them, but we continue to struggle and fail. Nobody among us is immaculately conceived like the Virgin Mary. No woman among us gives birth to the Son of God through the power of the Holy Spirit. Many of us surely love to sleep, but who among us like St. Joseph, receive genuine appearance of the Angel in our dream? Despite our best efforts, we keep hurting each other, failing each other, and are far from the ideal example of the Holy Family.

 

However, the point of the Holy Family is not so much on the goodness of individual members. It is not about the greatness of Mary who is blessed among women. It is not about the righteousness of Joseph who faithfully follows the Law of Moses. Yet, it is about the grace and mercy of God, and how they open themselves to these gifts of God. If we examine carefully the Bible and the socio-historical context of the first century Palestine, we discover that Joseph and Mary are hardly capable and prepared parents for Jesus. Despite coming from David’s clan, Joseph is a poor carpenter from Nazareth. Mary is a very young woman, and just barely ready for pregnancy, let alone for childbearing and child-raising. God makes a very risky choice to entrust His only Son to this couple.

 

Joseph is indeed a righteous man because he knows and lives by the Law of Moses, yet when he learns that Mary is with a child that is not his, he must have felt betrayal and deep pain. To satisfy his anger, he could have openly accused Mary of adultery and let the public stone her, but his mercy prevails, he decides to secretly divorce Mary as to save her life and the baby. However, adding salt to the wound, the Angel orders Joseph to take Mary as his wife. This means Joseph will have to acknowledge the child as his own, and he will live with a dishonor as one who violates a virgin before the marriage. The same thing with Mary. Despite her inability to understand the virginal conception of Jesus, she is aware that having a child outside marriage means shame and even death. Thus, this means their lives become easier. Hardly! Simeon warns Mary that a sword will pierce her soul. Mary will see her own son treated like an animal and crucified. Joseph has to work harder to provide for Jesus and Mary, and continue to bear the stigma. Holy spouses do not have a convenient life even with Jesus in their midst. Yet, both Mary and Joseph agree to the plan of God, and let the grace of God fill their lives, and this makes them holy.

 

We realize that building a holy family is a tough vocation. Like Joseph and Mary, we are going to face difficult problems, from financial instability to personal disagreements, and relying on our own strength, we will surely fall. Yet, like Mary and Joseph, we open ourselves to the grace of God, because when God calls us to holiness in the family, He surely will bring us all to the perfection.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hana dan Simeon

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 29, 2017
Posted in renungan 

Hana dan Simeon

 

Hari keenam di Oktaf Natal

30 Desember 2017

Lukas 2: 36-40

 

Dalam Injil hari ini, kita bertemu dengan Hana. Sama seperti Simeon, yang kita temui dalam bacaan kemarin, Hana juga orang Israel yang suci dan saleh. Simeon digambarkan sebagai seseorang yang dipenuhi oleh Roh Kudus, sementara Hana disebut sebagai nabi perempuan. Keduanya sudah berusia lanjut, menghabiskan hari-hari mereka di Bait Allah, menyembah Tuhan siang dan malam. Mereka adalah wakil sejati umat Allah yang kudus. Baik Hana maupun Simeon bersukacita saat melihat Yesus, dan berbicara tentang Yesus sebagai penggenapan janji Allah di dalam Perjanjian Lama.

Simeon dan Hana merupakan perwakilan terbaik dari bangsa Israel. Simeon sangat mungkin berasal dari klan imam karena dia memberkati Yesus dan orang tua-Nya. Dia mungkin juga imam yang menyunat Yesus sebagaimana ditentukan oleh Hukum Musa. Sementara itu, Hana adalah nabi perempuan, orang yang diilhami oleh Roh Kudus untuk berbicara kehendak Tuhan kepada umatNya. Jadi, Simeon dan Hana mewakili dua institusi paling terhormat di Israel kuno, dua pilar agama Israel kuno: imamat dan para nabi. Baik imam maupun nabi Perjanjian Lama mengakui bahwa Yesus adalah Mesias yang diharapkan.

Namun, Simeon dan Hana tidak hanya mewakili dua pilar agama Israel, namun keduanya berbicara tentang dua kelas sosio-ekonomi yang berbeda di masyarakat Israel. Simeon sebagai pria dan imam, mewakili kelompok yang kuat dan elit. Sebagai pria, mereka memiliki kekuatan atas rumah tangga mereka, dan sebagai imam, mereka memiliki kekuatan atas berkat dan berbagai urusan keagamaan. Sementara, Hana sebagai wanita, janda dan nabi, mewakili kelompok yang relatif lemah dan terpinggirkan di Israel. Sebagai wanita, mereka harus mematuhi ayah dan suami mereka. Sebagai janda, mereka sering merupakan bagian masyarakat yang paling miskin dan paling rentan. Sebagai nabi, mereka sering dibenci oleh banyak orang karena keberanian mereka untuk mengkritikberbagai korupsi di masyarakat.

Yesus akan datang untuk semua, untuk semua orang dan tanpa membuat perbedaan. Ini diperlambangkan dengan pertemuannya dengan Simeon dan Hana. Yesus tidak hanya datang ke kelas yang kuat dalam masyarakat, namun Dia juga datang bagi orang-orang yang lemah, miskin dan terpinggirkan. Ini adalah Kabar Baik. Kepada Simeon, Yesus membawa penggenapan Hukum dan imamat, dan kepada Hana, Yesus membawa penebusan kepada mereka yang menderita. Saat Yesus datang ke Simeon dan Hana, Dia juga datang kepada kita semua untuk membawa penggenapan dalam kasih karunia, dan penebusan dalam kehidupan, untuk menyelamatkan keselamatan dari dosa, dan pembebasan dari berbagai jenis penindasan.

 

Edisi Khusus Natal: NYANYIAN PUJIAN ZAKHARIA

Posted by admin on December 29, 2017
Posted in renungan 

NYANYIAN PUJIAN ZAKHARIA

“Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya.”

Demikian kalimat pembuka Kidung Zakharia dalam Lukas 1:68-80. Kidung Zakharia merupakan kidung ucapan syukur yang diucapkan oleh Zakharia karena kelahiran puteranya, Yohanes Pembaptis.

Kisah tentang kelahiran Yesus tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kisah mengenai kelahiran Yohanes Pembaptis. Kisah tentang keduanya bahkan mempunyai kemiripan. Kabar Gembira kelahiran Yesus dikumandangkan dengan penuh sukacita oleh para malaikat yang lalu menyampaikannya kepada para gembala. Sementara itu, kelahiran Yohanes Pembaptis dimuliakan oleh Zakharia, ayahnya, yang kebisuannya disembuhkan secara ajaib oleh Tuhan.

Dalam keadaan normal, kelahiran itu membawa kegembiraan.  Kelahiran selalu membawa sesuatu yang baru. Demikian pun dengan kelahiran Yohanes Pembaptis, tidak saja membawa kebahagiaan bagi orang di sekitarnya, tetapi mengakhiri kebisuan Zakharia yang pada mulanya ragu akan kehebatan kuasa Ilahi. Yohanes Pembaptis lahir dan Zakharia melantunkan sebuah kidung tentang kebesaran Tuhan, itulah “Kidung Zakharia”. Kidung Zakharia ini  telah menjadi sebuah doa indah yang diucapkan Gereja setiap hari sampai saat ini.

Kidung Zakharia adalah sebuah ‘doa iman’ seperti  Zakharia sendiri adalah salah satu model iman. Mata iman Zakharia melihat bahwa kelahiran anaknya, Yohanes Pembaptis, adalah kelahiran Sang Perintis. Sang Perintis yang memiliki tugas untuk menyuarakan pertobatan bagi umatNya untuk menyambut kedatangan Sang Juruselamat: Allah beserta kita. Allah melawat umatNya dan lawatan ini memberi pertolongan serta keselamatan.

Setiap hari, setiap saat, Allah telah berbuat baik kepada kita. Menjadi tugas kita sekarang untuk bersyukur dan berterima kasih untuk apa yang telah kita peroleh itu, semuanya adalah anugerah kebaikan Allah.  Semoga kita tidak lupa untuk selalu bersyukur dan berterimakasih atas segala kebaikan Tuhan yang telah melawat umatNya yang melampaui segala akal dan pikiran manusia yang telah dinyatakan atas hidup kita.

Marilah kita membagikan rahmat kebaikan Allah itu bukan saja dengan perkataan atau dengan madah pujian, tetapi terlebih lagi dengan perbuatan. Mari kita berbuat  baik kepada semua orang  sebab Allah nyata hadir di sana, di dalam diri sesama kita. Ketika kita melayani sesama, kita juga melayani Allah. Ketika kita dapat membuat sesama bersukacita, kita juga membuat Allah bersukacita.

Marilah kita bersama Zakharia mensyukuri rahmat kasih Allah yang terbesar, yaitu penebusan yang kita terima di dalam kristus Tuhan kita. Selamat hari Raya Natal! (Yustinus Nana Sujana, osc)

Translate »