Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Kamis, 27 November 2019 Refleksi Hari raya Syukur Thanksgiving

Posted by admin on November 27, 2019
Posted in renungan 

Dalam momen hari raya Thanksgiving dan juga Syukur untuk kehidupan kita, semua sebagai pribadi, sebagai keluarga, sebagai komunitas hendak mengucapkan terima kasih kepada bapa di Surga untuk momen penuh syukur ini. Terima kasih buat Rahmat

Terima kasih buat Belas kasihannya bagi kita

Terima kasih buat pengertian…

Terima kasih buat kebijaksanaan..

Terima kasih buat kehadiran dan kasih orang tua…

Terima kasih buat cinta…

Terima kasih buat kebaikan…

Terima kasih buat kerendahan hati.

Terima kasih buat damai sejahtera….

Terima kasih buat kemakmuran jasmani dan spiritual serta kedamaian hati

Kita berterima kasih untuk hal yang sudah kita sudah terima, yang sedang kita terima dan yang akan kita terima. We name that thank you in advance…

Terima kasih untuk hari ini.

Terima kasih untuk semua momen yang membawa kita sekalian pada momen ini.

Terima kasih untuk saat-saat sulit. Saat-saat itu membuat kita semakin menghargai apa artinya berjuang dan menang.

Terima kasih untuk semua pelajaran kehidupan yang membuat kita terus berkembang dan mematangkan diri.

Terima kasih buat mata yang bisa melihat kebaikan sesama, mata yang mampu menerawang untuk melihat secercah keajaiban hari ini dan hari esok.

Terima kasih untuk segala sesuatu yang kita terima secara Cuma-Cuma namun tak pernah begitu kita sadari, kehidupan, kesehatan, napas kehidupan, detak jantung, otak yang bekerja baik, segaal sesuatu yang kita anggap otomatis namun semuanya adalah pemberian Tuhan yang tak boleh disia-siakan.

Terima kasih buat setiap titik berkat jasmani dan rohani.

Terima kasih untuk semua yang orang dalam hidup ini:

Mereka yang saya cintai

Mereka yang darinya saya juga belajar mengolah dan memaknai hidup.

Terima kasih adalah kunci untuk membuka pintu kegembiraan sebab hati yang berterima kasih adalah hati yang akan selalu puas dengan apa yang sudah dipunyai tanpa terlampau terobesesi dengan apa yang belum dipunyai dan tidak mesti dipunyai. Terima kasih adalah pintu kegembiraan, ketika hati merasa gembira tanpa perlu bergantung pada apa yang belum dipunyai, tetapi apa yang sudah dipunyai, di sini dan saat ini.

Mari belajar untuk semakin mencintai kehidupan, menghargai kehidupan, dengan lebih banyak berbagi daripada mengambil dan menyeroboti, dengan lebih banyak mendengarkan daripada menguasai dan memanipulasi pembicaraan, lebih banyak membiarkan diri diajar oleh kehidupan daripada merasa diri  paling superior dan bijaksana sampai lupa mendengarkan dan belajar dari orang lain. 

Rabu 27 November 2019

Posted by admin on November 26, 2019
Posted in renungan 

Parafrase Injil Lukas yang bisa kita baca di atas adalah beberapa informasi tentang bagaimana Yesus mengajarkan para murid-Nya untuk hidup dalam kesetiaan pada sabda-Nya. Kita juga mampu menggali beberapa hal dasar yang utama dalam menyelami kehidupan kristiani. 

Yesus sendiri membuktikan bahwa dia mampu membaca dan menganalisis tanda-tanda zaman dan sejarah. Orang mungkin saja dibutakan atau ditakut-takuti oleh segala macam bencana alami atau bencana kemanusiaan yang menghampiri namun Yesus melihat kejatuhan demi kejatuhan yang akan datang. Dengan ini oara murid Yesus diingatkan bahwa mereka tidak bisa melihat tanda-tanda zaman hanya dengan mengandalkan kemampuan dan kebijakan manusiawi mereka sebab kemampaun dan kebijakan manusiawinya bersifat sangat terbatas. Hanya ketika orang mampu melihat dan menganalisis lewat mata Allah sendiri, orang itu akan melihat semakin terang dan tajam. Dan untuk melihat dengan mata Allah, sebuah komunikasi dan relasi yang konstan dengan Allah dalam doa dan permenungan akan sabdanya, sangatlah dibutuhkan. 

Yesus juga berjanji bahwa para murid tidak akan berhadapan dengan penghakiman sendirian. Itu bukan berarti bahwa penghakiman adalah hal yang manis. Diadili karena bersalah tentu berbeda dengan diadili walau tak bersalah. Dalam kasus di mana orang diadili sekalipun tidak bersalahlah, Yesus mengingatkan kita agar tidak putus asa dan tawar hati. Kita bisa saja berkecil hati namun kita tidak hilang harapan. Sebab dalam pencobaan yang paling keras sekalipun, Kristus ada bersama kita. Dan Kalau Kristus ada bersama kita, penjara sekalipun akan berubah menjadi istana yang indah, kursi sidang bahkan dapat dilihat sebagai sebuah tahta kebenaran, dan badai kehidupan bagaikan sebuah musim panas yang menguatkan dan menyehatkan. Menulis ini membuat saya teringat pada Basuk Cahya Purnama, sosok panutan yang berbicara bahwa kebenaran yang berkanjang pada akhirnya akan menang menghadapi badai hidup yang bergejolak. 

YESUS: “Kalau kamu tetap bertahan (dan BERKANJANG, kamu akan memperoleh hidupmu.” Amin. 

Sumber http://www.imankatolik.or.id/

Selasa 26 November 2019

Posted by admin on November 25, 2019
Posted in renungan 

Ajaran yang hendak Yesus sampaikan kepada para murid dan pendengar-Nya adalah pengajaran yang sifatnya eskatologis sebab Yesus berbicara bukan saja tentang kehancuran bait Allah tetapi juga akhir zaman. Para Murid yang terkagum-kagum dengan keindahan bait Allah dibuat terperanjat karena Yesus berkata apa yang kamu lihat itu, tidak lama lagi akan dihancurkan dan diruntuhkan. 

Pada zaman itu, bait Allah adalah salah satu bangunan yang besar, monumental dan impresif. Keindahan dekorasi dan arsitekturnya membuat para pengunjung dan peziarah yang datang ke Yerusalem selalu terkagum-kagum. Sekalipun demikian Yesus, seperti biasa, senantiasa mengingatkan para murid-Nya agar tidak terbawa arus emosi sesaat hanya karena tampilan lahiriah. Sebab kebesaran dari sebuah tempat ibadat tidak (mesti) terletak pada megahnya batu-batu yang membangunnya atau keindahan dan kemolekan ornamen-ornamennya tetapi pada bagaimana kehadiran Bait Allah itu menjadi tempat di mana orang memperoleh energi spiritual dan kebangunan rohani untuk perjalanan peziarahan hidup selanjutnya. 

Kekaguman bukan hal yang terlarang tetapi sebuah sikap yang membawa pada perubahan cara hidup yang lebih positif dan berbuah, itulah yang sebenarnya lebih ditekankan dan dibutuhkan. 40 tahun sesudah ramalan Yesus, dalam perang melawan Roma, Yerusalem berhasil dikalahkan dan bait Allah diruntuhkan. Sebuah pukulan mental yang sangat menyakitkan bagi orang-orang Yahudi. Mereka merasa seakan Allah sudah meninggalkan mereka. 

Berhadapan dengan ramalan Yesus ini, para murid bertanya kapan kiranya itu akan terjadi agar mereka sungguh-sungguh mampu mengantisipasi dan mempersiapkan diri. Namun jawaban Yesus yang diplomatis: Jangan biarkan dirimu terbawakan arus, jangan membiarkan dirimu tertipu oleh zaman ini adalah ingatan yang kiranya pantas terus didengungkan bahkan untuk kita yang hidup dalam zaman yang katanya modern dan canggih ini. Sebab dalam roda perjalanan zaman ini, hal yang paling penting bagi Yesus bukan saja antisipasi tetapi lebih-lebih keberkanjangan dan kesetiaan. Sebab, kita tidak menanti sampai detektor kecepatan mengingatkan kita bahwa kita sudah melampaui batas kecepatan tetapi sebisa mungkin kita berusaha untuk setia berkanjang pada kecepatan yang sesuai dengan ketentuan lalu lintas. 

Yesus juga menyebutkan beberapa hal yang akan menandai datangnya akhir zaman. Tanda-Tanda itu membuat hati para murid tidak tenang dan gentar. Namun sekali lagi Yesus menekankan bahwa hal yang paling utama bukanlah sikap yang takut terhadap akhir zaman tetapi kesiapan hato dan keberkanjangan yang konstan dalam penantian akan Kristus sambil tekun melaksanakan nilai-nilai injili secara konsekuen, tanpa henti, tanpa letih. 

Keberkanjangan, ketetapan hati, dan kesetiaan adalah nilai-nilai hidup yang penting dan sering diulang-ulang dalam pengajaran kristiani. Namun apakah pengulangan itu hanyalah sebuah pemanis bibir atau bumbu komunikasi sebab nilai-nilai Injili seperti ini sering kali gampang dan enak untuk dikatakan dan diwartakan namun susah dan kompleks untuk direalisasikan dalam kehidupan harian karena kita dihadapkan dengan pelbagai macam pilihan yang membutuhkan konsiderasi dan permenungan yang dalam. Kita menyadari bahwa untuk menjadi sungguh berkanjang, tetap hati dan setia, yang dibutuhkan bukan saja kata-kata manis, indah dan motivatif tetapi lebih-lebih sebuah disiplin yang bertahan dan berkanjang. Dalam hidup modern, sering kali, mereka yang terus bertahan dan berkanjang dapat saja diejek dan ditertawakan. Bagaimanapun, Yesus mengingatkan kita, hidup ini tidak diukur berdasarkan kesan dan impresi, Hidup diukur berdasarkan sejauh mana kita menghidupi nilai-nilai injil secara konsekuen dalam keseharian kehidupan kita. 

Sebuah batu yang keras dan liat, niscaya akan berlubang juga kalau ditetesi oleh titik-titik air yang secara kontas menetes di atasna. Seorang misionaris yang mungkin tak pernah bicara dalam sebuah bahasa asing akhirnya dapat memahami, menggunakan dan berkomunikasi dengan orang dalam bahasa asing tersebut bukan terutama karena dia orang yang sungguh pintar, namun karena dia berkanjang menggunakan bahasa itu dengan penuh kesetiaan dan disiplin. Sebuah pernikahan yang berhasil dapat bertahan dalam segala musim bukan karena suami dan isteri tidak punya kekurangan dan ketidaksempurnaan. Mereka punya kekurangan dan ketaksempurnaan namun sekalipun demikian, mereka terus berkanjang untuk setia satu terhadap yang lain, mereka setia mengairi mata air rumah tangga mereka, mereka berkanjang sampai maut memisahkan. Kita minta pertolongan Tuhan agar keberkanjangan dan kesetiaan kita tidak pernah surut dalam memuliakan Tuhan dan melayani sesama. Amin.

Sumber http://www.imankatolik.or.id/

Senin 25 November 2019

Posted by admin on November 24, 2019
Posted in renungan 


 Lukas 21: 1-4

Pastor Yori Sodanango, SVD

Luk 21:1 Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan.

Luk 21:2 Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu.

Luk 21:3 Lalu Ia berkata: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu.

Luk 21:4Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya.

Sumber http://www.imankatolik.or.id/

Injil hari ini mengisahkan bagaimana Yesus memperhatikan secara seksama sikap orang dalam memberikan kolekte dalam bait Allah. Sesudah berdebat secara sengit dengan beberapa kaum Sandherin dan orang-orang Saduki, Yesus kemungkinan ingin berisitirahat sejenak dalam bait Allah. Tentu saja, ada banyak orang yang datang ke bait Allah dan setiap sikap pribadi tidak luput dari perhatian Yesus. Tak lama berselang datanglah si janda miskin yang mungkin tak merasa layak untuk memberikan sedikit dari yang dia miliki. Yesus memperhatikan sedemikian anggun dan sederhanaya sang janda memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan. Dua peser yang pada zaman Yesus bahkan sampai sekarang pun tak ada artinya. Dua peser yang mungkin tidak cukup untuk membeli satu porsi makan siang yang paling sederhana sekalipun. 
Namun, yang menarik dan menyentuh dari cerita ini adalah bahwa Yesus memuji sikap dari si janda miskin yang memberikan denga murah hati segala yang dia miliki. Dia memberi tanpa berpikir panjang. Dia memberi dengan sepenuh hati. Dalam bahasa Inggris, satu peser adalah “Lepton” yang berarti a thin one, sebuah koin yang sedemikian tipis. Kalau kita pernah melihat coin satu sen dollar Amerika, mungkin saja setipis itu. Begitu kecil yang dia beri, namun bagi Yesus pemberiannya melampaui pemberian yang paling mahal sekalipun. Mengapa? Karena diberi dari kekurangan, dengan sepenuh hati, dengan suka hati. 
Pemberian yang diberi tidak dengan suka hati, dengan cemberut, dengan menggerutu bukanlah sebuah pemberian yang tulus. Pemberian yang diberi dengan mengharapkan sebuah pujian atau untuk memperoleh prestise tertentu, bukanlah pemberian yang terbaik. Pemberian yang dibuat hanya supaya dilihat, diakui dan dianggap orang kaya, a gift for a self-display tentu bukanlah hal yang cukup terpuji. Bagi Yesus, sebuah pemberian yang sungguh berharga mestilah sebuah pemberian yang intensinya lahir dari kedalaman hati, pemberian yang dibuat dengan hati yang penuh cinta dan belas kasih (A loving and compassionate heart), sebuah pemberian yang dibuat karena sebuah keinginan yang ikhlas dan kerinduan untuk membantu yang penuh cinta. 
Pemberian si janda miskin dalam kisah injil kecil artinya secara ekonomis tetapi besar maknanya secara spiritual. Karena dia memberi sampai habis-habisan, tanpa pamrih. Semua diberi demi Tuhan. Dalam hatinya dia hakul yakin dan percaya, aku sudah menerima secara cuma-cuma dan penuh kasih dari Allah, sekarang giliranku untuk memberi secara cuma-cuma pula kepada Rumah Allah. Ketika kita memberi, sungguhkah hati kita mau memberi secara total dan tanpa pamrih? Amin. 

Jesus the King

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on November 23, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Solemnity of Christ the King

November 24, 2019

Luke 23:35-43

Often we take for granted the name Jesus Christ, without realizing the meaning behind it. The word “Christ” is neither part of the personal name of Jesus nor the family name of Jesus. Jesus earns the name Christ not because of His foster father, Joseph, otherwise we also call him as Joseph Christ and his wife, Mary Christ.

Christ is coming from the Greek word “Christos” meaning “the anointed one”. In Hebrew, the title is even more pronounced, “the Messiah”. For us, the title does not ring us a bell, but for the Jewish people living in the time of Jesus, the Messiah is the fulfillment of God’s promise. In the Old Testament, the title Messiah was given to one of the greatest figures in Israel, King David. He was the Christ because he was anointed by Prophet Samuel, and he was personally chosen by God Himself to rule Israel. During his reign, the kingdom of Israel reached the pick of glory.

Unfortunately, after David’s death, the kingdom was declining and eventually destroyed. In the time of Jesus, almost one millennium after David, Palestine was under the Roman Empire, and lives were awful. No wonder, people were expecting the coming of the Messiah, the new king, that would restore the glory of Israel.

We believe that Jesus is Christ, meaning we believe that Jesus is the expected a king that will fulfill God’s promise. Yet, in today’s Gospel, we discover that Jesus was crucified. He had no army, except disbanded and coward disciples. He had not a palace except a small and poor house in Nazareth. He was insulted, spat upon, and tortured. He bore the greatest human humiliation. Even the criminal who was punished together with Him, mocked Jesus as a good-for-nothing king.

If we focus only on this cross and humiliation, we shall fail to see Jesus as king. For Jesus, being a king is not about gold, guns and glory. It is neither about force nor control. Jesus is not a war-freak Messiah. So, what does it mean to be a King for Jesus?

 When one of the repented criminals asked Jesus to remember him when Jesus comes into His Kingdom, Jesus said that he would be in Paradise. The word Paradise is a Greek word for “garden”, it originally refers to the garden of Eden. That is what Jesus does as a king: He brings men and women who acknowledge Him as a king to Paradise. And no other kings in the world possess such power to bring us to paradise.

If then we confess that Jesus is the Christ, and now we understand that Jesus is our King, do we honor Him as our King? If Jesus is our King, do we allow Jesus to control us or we control Jesus? If Jesus is our leader, do we align our lives and priorities to His missions, or Jesus has to follow us? When our King summons us for a mission, do we gladly embrace it, or we rather choose to our own plans and design?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »