Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Resurrection and Love

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 31, 2018
Posted in renungan 

Easter Sunday

April 1, 2018

John 20:1-10

 

… he saw and believed (Jn. 20:8)

 

Today is the Easter morn! Today is the day the Lord has risen! Today is the day death has been defeated! Today is the day of resurrection! Yet, how do we understand Jesus’ resurrection and our resurrection? What does it mean when we say that death has been conquered?

We all know that we are going to die. We just do not know when, where and how, but we are sure that death will come. We remain anxious and afraid of the reality of suffering and death. It seems that death has not been defeated? It is true that sometimes death can be a liberation. A pious lady in her fifties once told a priest that she prayed that the Lord would take her when she was still beautiful. Then, the priest remarked, “How come you are still here!”

The usual occasion preachers speak of resurrection is the funeral mass! The resurrection has become a kind of pain reliever for the bereaved families and relatives. We are assured that the death of our beloved ones is not the final destiny. There is the blissful afterlife waiting, and we shall join our Lord in the resurrection. Though our preachers speak the consoling truth, the way we preach it tends to reduce the eternal life as a permanent retirement place, and the resurrection as extremely remote reality. Another priest once admitted that he was not that handsome, and thus he planned that in the day of resurrection, he would quickly snatch the body of handsome American singer, Justin Bieber! The resurrection is only good for the dead, and it does not mean much for us the living. But, resurrection is really for all of us, here and now.

Going back to the first resurrection in the garden, no Gospel describes how the resurrection takes place. It simply cannot. Yet, there is an empty tomb, and Jesus’ body is missing. Peter is greatly puzzled. Mary Magdalene is weeping bitterly. Only one disciple understands. He is the disciple who loves dearly Jesus and whom Jesus loves. Despite death and emptiness, love endures. Through the eyes of love, the disciple is able to see the resurrection.

Love and its relation to the resurrection go back to the story of human creation in the book of Genesis. We are created in the image of God (Gen 1:26). If God is love (1 Jn 4:8), then we are made in the image of love. More than other creatures, we are designed with the ability to love and to receive love. Not only having the ability to love one another, our nature is even gifted with the ability to be loved by God and to love God. No other creation on earth is able to participate in this most beautiful love affair with the Lord. Unfortunately, sin destroys this love relationship with God and seriously damages our ability to love and be loved. The history of humankind turns to be the history of sins, suffering, and death. Husband and wife hurt each other, brothers kill each other, men exploit women, women sell their children, and men destroy nature. We need redemption.

Out of His immense love, God becomes man so that He may begin His work of redemption. This redemption culminates in Jesus’ resurrection. One of the greatest of resurrection is our ability to love God and to receive God’s love is restored. Thus, John the Beloved Disciple is able to see through the empty tomb and believe in the risen Lord. Just as the grace of resurrection heals John, so the same grace heal us and restore our ability to love God. In the midst of emptiness of life, we are empowered to see the risen Lord. Despite the absurdity of life, we are enabled to transform our sorrows and pains into the opportunity to love more and serve better. Despite pain and death, love endures.

 

Blessed Easter! Happy Resurrection!

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Photo by Harry Setianto, SJ

 

 

Paskah Vigil

Posted by admin on March 31, 2018
Posted in renungan 

 

Related image

Sia-sialah iman kita kalau Kristus tidak bangkit!

Renungan Paskah vigil

By Antonius Galih Arga Pr

Pengajar Kitab Suci Perjanjian Baru, Fakultas Teology Wedhabakti

 

Walaupun seseorang sudah siap dipanggil Tuhan, tentulah ada secuil dalam hatinya rasa takut untuk mati. Mengapa orang takut mati? Kematian adalah peristiwa final yang tak terhindarkan. Karl Jasper seorang filsuf existensial menyebut kematian sebagai peristiwa ambang batas total yang membuat orang terpisah seluruh hidupnya dari dunia, dari sejarah, dari relasi dan dari dirinya sendiri. Orang takut mati karena dia tak bisa membuat sejarah lagi, tak lagi bisa berkuasa atas dirinya sendiri, sebaliknya kematian yang menguasainya. Orang takut mati karena tak tahu apa yang terjadi setelah mati, dan tak bisa mengantisipasi.

Bacaan Ekaristi malam ini yang dimulai dari kisah penciptaan mengantar kita pada refleksi mengapa kematian menjemput setiap manusia. Sejak dari semula, Allah merencanakan keselamatan bagi semua ciptaan. Hal itu ditunjukkan dengan setiap kata yang sama dari akhir penciptaan, “semua itu baik adanya!” Ketika sampai pada puncak penciptaan, Adam dan Hawa, Allah menyebutkan kalau ciptaanNya “Sungguh amat baik.” Namun mahkota ciptaan Allah ini membuat tujuan penciptaan hancur. Mereka merusak dan membuat dunia jatuh dalam dosa.

Kalau ditelusuri, asal dari dosa masuk kedunia dimulai dari Kejadian bab 2 ketika manusia ingin menjadi seperti Allah, menguasai semua dan berkuasa seperti Tuhan sendiri. Namun ketika mereka diminta bertanggung jawab, semua mengelak dan menyalahkan yang lain. Adam menyalahkan Hawa, dan istrinya menyalahkan ular. Ular tak bisa menyalahkan dirinya sendiri karena dialah sumber dari kejahatan. Santo Paulus menyatakan kalau buah dari dosa manusia adalah kesengsaraan yang berakhir pada maut.

Dalam terang kebangkitan Kristus, dosa adam dan hawa itu dipandang tidak melulu negatif. Dalam Exsultet dinyanyikan, “Bawasanya perlu dosa Adam untuk memperoleh Kristus, sungguh mujur kesalahan itu sebab memberi kita penebus!” kutipan lagu itu merangkum isi bacaan Ekaristi dan perayaan Paskah. Kita yang hidup dalam lingkaran dosa, lalu mati karena dosa diberi sebuah pengharapan baru dengan kebangkitan Kristus. Sebelum Kristus bangkit, kematian berjaya atas manusia karena kita berdosa. Karena kebangkitan Kristus, kuasa dosa dan kematian dihancurkan, dan kita diberi harapan dan hidup kekal.

Liturgi malam ini membawa simbol terang yang  mengalahkan kegelapan. Kebangitan Yesus meyakinkan orang beriman bahwa kematian bukanlah akhir segalanya, tapi awal dari kehidupan baru bersama Kristus. Dasar iman Kristen ada dalam peristiwa kebangkitan Tuhan yang kita rayakan sekarang ini. Mereka yang sedang menghadapi bahaya maut, diberi kekuatan baru dalam kekuatan kebangkitan Kristus. Tak perlu takut akan kematian yang menghadang karena Kristuslah yang akan bersama kita membuat sejarah. Kristus pula yang akan menguasai diri kita, bukan kematian. Misteri Paskah membawa dua nilai utama Injili: harapan dan iman.

Bacaan Injil malam ini mengisahkan Maria Magdalena dan teman-temannya pergi ke makam. Di awal kisah, Markus memulai dengan indah setting kisah penampakan pertama terjadi pada “menjelang menyingsirlah fajar hari pertama minggu itu.” Paskah ditandai dengan kemunculan matahari pagi, cahaya yang mengalahkan kegelapan malam, dan itu terjadi pada hari pertama minggu. Orang Yahudi membuat hari minggu pagi sebagai hari pertama. Sampai saat ini kalau kita tinggal dalam komunitas orang Yahudi, hari Minggu kita adalah hari Senin bagi mereka. Minggu adalah awal orang bekerja setelah libur Sabat yang dimulai dari Jumat pkl. 18.00 sd Sabtu pkl. 18.00.

Kematian Yesus terjadi pada hari Sabat, saat orang berdiam diri di rumah. Sedangkan kebangkitanNya terjadi pada awal orang mulai bekerja. Kuasa kegelapan makam tidak mampu menahan Yesus yang bangkit. Batu tutup kubur yang menjadi simbol kegelapan dan ketakutan digulingkan oleh Malaikat yang mewartakan kebangkitan. Malaikat berkata pada para perempuan itu, “Aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu, Ia tidak ada di sini!”  Kalimat pendek “tidak ada disini” tidak hanya menunjuk pada tempat, tapi lebih dalam menunjukkan pada “kepemilikan”.  Yesus tidak dimiliki lagi oleh kematian dan kuburan. Dia tidak menjadi anggota orang mati! Gambarkan seperti kita menjadi anggota dari kelompok tertentu seperti club olah raga atau organisasi. Kebangkitan Yesus membuat dia keluar dari jerat dan kuasa maut.

Kisah injil bercerita tentang Yesus yang menampaki para wanita, dan mereka mendekati, memeluk kakiNya serta menyembahNya (proskoneo). Matius memakai kata  Yunani khas “menyembah” yaitu “proskonew” (proskoneo) yang memiliki arti: mereka menyembah Yesus yang berdaya ilahi, berwibawa dan dihormati. Dia tidak lagi Yesus yang hanya manusia biasa, tapi Tuhan yang berkuasa atas hidup dan mati. Oleh karenanya mereka memeluk kakinya sebagai tanda bahwa Dia adalah Allah yang berjaya atas kuasa maut.

Cerita penampakan ditutup dengan Yesus yang berkata, “Jangan takut! Pergilah ke Galilea dan disana mereka akan melihat Aku!” Paskah yang kita rayakan hari ini memberi kita pemahaman bahwa lewat Yesus yang menderita dan bangkit, semua orang yang percaya diberi harapan akan hidup baru. Kata “Jangan takut” menunjuk pada suasana hati para murid dan perempuan-perempuan yang ketakutan akan nasib hidup mereka akan mati sama seperti Yesus. Mereka juga takut karena tidak berharap akan bertemu Yesus yang bangkit.

Yesus mengundang mereka kembali ke Galilea, tempat asal mereka menerima panggilan kemuridan. Di sana mereka akan memulai lagi merefleksi ulang arti panggilan menjadi pengikut Yesus dari kaca mata kebangkitan. Hidup mereka berubah karena peristiwa kebangkitan, dan perubahan itu diawali dengan memaknai ulang kehidupan di Galilea, awal tempat  mereka bertemu sang Guru. Kembali ke Galilea itu sama seperti ketika kita mematikan cellphone dan mengupdate program lama menjadi baru. Updating program membuat cellphone bekerja dengan program baru, walau perangkat kerasnya sama. Kisah kembali ke Galilea itu mengajak semua orang, termasuk kita, memprogram ulang arti menjadi orang Kristen dalam kaca mata misteri Paskah.

Karena Kristus yang bangkit, iman kita tidak sia-sia. Kematian bukanlah akhir dari segalanya karena harapan dan iman lebih berjaya dari kuasa dosa dan kegelapan. Selamat Paskah!

Sabtu Sepi – Malam Paskah, 31 Maret 2018

Posted by admin on March 30, 2018
Posted in renungan 

Sabtu Sepi – Malam Paskah, 31 Maret 2018

Bacaan Injil Markus 16:1-8

“Jangan takut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah bangkit”, demikianlah warta yang disampaikan kepada para wanita yang datang ke makam Yesus. Para wanita itu memang khusus datang ke makam Yesus, setelah lewat hari Sabat, untuk meminyaki jenasah Yesus. Masih dalam suasana sedih mereka pergi ke makam Yesus itu, namun ketika tiba di makam, mereka lebih dikejutkan lagi. Mereka melihat makam terbuka, mereka masuk dan jenasah Yesus sudah tidak ada. Selanjutnya kepada mereka diberitakan warta bahwa ‘jangan takut’ dan ‘Yesus telah bangkit’. Tentu tidak mudah bagi mereka untuk memngerti semuanya ini dan mereka harus menyampaikan kepada para rasul Yesus. Dalam kebingungan itu, mereka pergi dan mewartakan berita Kebangkitan Yesus kepada para murid Yesus.

Misteri Kebangkitan Yesus tentu saja tidak dapat dijelaskan secara manusiawi dengan semua paparan yang bisa ditangkap akal manusia. Para wanita itu tidak menemukan Yesus yang ingin mereka jumpai, mereka tidak sempat bertanya, namun kepada mereka sudah diberi warta bahwa Yesus telah bangkit. Sekarang yang dibutuhkan adalah keterbukaan hati mereka dengan mendengarkan warta itu dan kepercayaan mereka. Yesus telah bangkit, maka Ia tidak ada lagi di dalam kubur, Ia tidak mati lagi melainkan hidup selamanya. Mereka diteguhkan agar jangan takut, melainkan percaya. Kepercayaan ini membutuhkan proses, hingga nanti Yesus sendiri akan menampakkan diri untuk meneguhkan iman mereka. Pengalaman iman inilah yang selanjutnya harus mereka wartakan kepada para murid Yesus, berita ini harus diteruskan dan menjadi warta sukacita.

Iman akan Kebangkitan Yesus bukanlah proses yang mudah, karena sungguh dibutuhkan hati yang terbuka. Walaupun perjalanan iman akan Yesus yang bangkit ini sudah berlangsung ribuan tahun, namun tetap saja keraguan dan ketidakpercayaan terjadi. Belajar dari pengalaman iman para wanita dan para murid Yesus, kita pun akan diteguhkan dan dikuatkan oleh Tuhan. Berpegang pada sisi manusiawi saja, tidak mungkin kita bisa menerima realita kebangkitan ini. Oleh sebab itulah diperlulan perpaduan yang erat antara iman dan pengetahuan kita. Mengalami kehadiran Tuhan Yesus yang bangkit mulia menjadikan kita semakin tenang dan tidak takut dalam menghadapi kehidupan sekarang ini. Ada banyak hal yang dapat semakin menguatkan iman kita, yakni pengalaman hidup harian yang sungguh meneguhkan dan menunjukkan bahwa Tuhan selalu hadir di dalam hidup kita. Mari kita terus meneguhkan iman kita dan membagikan kekayaan iman ini dengan mewartakannya kepada sesama kita melalui hidup kita.

Tuhan memberkati. Amin.

Memaknai Derita

Posted by admin on March 30, 2018
Posted in renungan 

Image result for good friday

Mengapa orang baik menderita?

Renungan Jumat Agung

By Antonius Galih Arga pr

Pengajar Kitab Perjanjian Baru – Fakultas Teology, USD

 

Kalau kita masih suka menulis diary dan refleksi, kita bisa mencermati ulang tulisan kita. Kadang dalam waktu seminggu refleksi, tulisan kita hanya sedikit karena kita tidak menemukan banyak peristiwa yang patut dikenang dan berlalu begitu saja. Peristiwa yang tidak penting akan hilang dan sulit diingat ulang. Namun sering terjadi pula kita mampu menulis sebuah refleksi panjang, detail, dan mendalam dari sebuah peristiwa dalam kurun waktu singkat. Kemampuan menulis detail dan mendalam itu terjadi karena kita memiliki pengalaman yang membekas dalam,  formatif dan membentuk kualitas pribadi kita.

Injil Yohanes bab 2-12 adalah rangkuman kisah hidup Yesus selama 2 tahun berkeliling di Galilea dan Yerusalem. Sedangkan bab 13 – 20 , kisah pembasuhan kaki, salib, kematian dan kebangkitan adalah cerita detail satu bagian lengkap yang merangkum hidup Yesus yang berdurasi 4 hari saja. Artinya, kisah sengsara , wafat dan kebangkitanNya adalah rangkuman kisah amat penting dan formatif  karena menjadi dasar hidup keberimanan jemaat sehingga perlu ditulis detail dan digarap cermat.

Drama penyeliban Yesus  yang dirayakan hari ini punya dimensi teologis dan manusiawi yang kaya. Salah satu aspeknya tersirat dalam kisah para perempuan Yerusalem yang menangisi Yesus di jalan salib. Air mata mereka menyiratkan pertanyaan abadi, “Mengapa orang baik seperti Yesus hidupnya menderita di dunia dengan disalib?” sebuah pertanyaan theodisy, kasus tentang keberadaan Tuhan: “Kalau Tuhan begitu maha kasih dan maha penguasa, mengapa Dia membiarkan orang baik sakit keras dan mati? Mengapa banjir dan bencana menghancurkan kita? Mengapa perang dan pembunuhan terus terjadi? Itulah pertanyaan orang beriman yang ingin memahami arti penderitaan, dan namun sering tak menemukan jawaban yang memuaskan.

Jawabannya tidak melegakan karena cara berfikir manusiawi kita yang linear dan bersifat timbal balik/kausal. Kalau orang berbuat baik, pasti balasannya akan baik pula. Keadaan kita sekarang adalah hasil dari perbuatan sebelumnya. Ketika ada kejadian anomali, tak biasa dan tak bisa dilogika pikiran, kita kehilangan jawaban dan pegangan. Padahal tidak selalu ada keterkaitan antara kebaikan kita masa lalu dan keberadaan kita sekarang ini. Artinya kebaikan atau kejahatan kita dahulu tak selalu berakibat pada keadaan yang kita alami sekarang. Memang manusia bisa menyiapkan dan mengantisipasi masa depan, namun akhirnya orang hanya bisa berpasrah dan menyerahkan pada Tuhan sebagai penyelenggara utama hidup ini.

Julian Norwich seorang mistikus dari Inggris juga bergulat soal teodicy ini. Dalam refleksinya ia  bertanya pada Allah “Mengapa Engkau membiarkan hamba-hambaMu yang setia menderita? Mengapa Tuhan membiakan kita berdosa? Mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia tanpa dosa sehingga membuat hidup ini bahagia?

Diakhir pergulatannya, Julian tak menemukan jawaban yang pasti. Namun lewat kisah penderitaan Yesus, dia menemukan insight baru bahwa Yesus yang menderita mengajari orang melihat derita dengan kaca mata iman Kristiani. Karena kekuatannya, Tuhan mampu mencipta hal baik dari sesuatu yang jahat dan berdosa yang menguasai manusia. Allah bisa memakai kuasa kejahatan itu untuk mencipta bagi manusia suatu peristiwa rahmat dan kegembiraan. Dia menuliskan, “Dosa, sakit dan derita ada manfaatnya bahkan kita butuhkan agar semua itu membawa kita jauh mendalam untuk mengerti makna hidup dan memahami kebahagiaan.”

Julian tidak menjawab pertanyaannya sendiri, “Mengapa Allah membiarkan kejahatan ada di bumi?” Namun dia menemukan jawaban dari kemahakuasaan Allah yang membiarkan Yesus juga menderita di dunia. Allah yang penuh kasih setia akan mampu membuat tangisan, kejahatan dan derita memiliki makna sehingga manusia bisa sungguh mempercayakan hidup pada Allah secara total.

Ketika orang mengalami peristiwa ambang batas, terminal ilness dan derita yang berkepanjangan, orang dipanggil masuk pada pengalaman eksistensial hidup beriman, “Akhirnya kepada siapakah kita akan menaruh kepercayaan dan masa depan? Saat kita tak mampu menguasai lagi hidup kita, pada siapa kita akan berharap?”  Pertanyaan yang sama juga dialami Yesus dalam kisah perjalananNya di salib. Di saat orang-orang yang dikasihi dan dipercaya meninggalkan dan bersembunyi karena takut, Yesus akhirnya menemukan hanya pada Tuhanlah dia berharap. Tak bisa lagi bersandar hidup pada kekuasaan manusia, harta atau relasi manusiawi. Oleh karenannya, kata terakhir dari salib dia berkata, “Ya Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan hidupku!”

Kemarin dalam Kamis Putih, perjalanan kemuridan dalam Injil Yohanes dilakukan lewat pelayanan. Kini mahkota kemuridan itu berpuncak pada pengurbanan. Yesus berkata, “Tak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawa untuk sahabat-sahabatnya!” Spiritualitas pelayanan yang total  berakhir pada kisah seorang pelayan yang memberikan tidak hanya tenaga dan kemampuannya, tapi hidup seluruhnya sampai mati.

Pengalaman derita, sakit, dan kesengsaraan akan terus ada dalam hidup kita. Kisah sengsara Yesus dalam Jumat Agung mengajak kita memaknai baru arti derita itu. Saat kita mencium salib Yesus, kita berkehendak untuk merengkuh, menerima, dan berusaha memahami dengan iman serta keterbatasan manusiawi kita arti salib kita masing-masing, sembari mempersatukannya dengan salib agung Yesus. Hingga akhirnya nanti diakhir peziarahan kita berani berkata “Ya Tuhan kedalam tanganMu kupasrahkan semua kecemasan, derita, dan kebahagiaan hidup ini. Karena kepadamulah aku percaya.” SCIO CUI CREDIDI! (Aku tahu kepada siapa aku percaya) Amin.

Jumat Agung, 30 Maret 2018  

Posted by admin on March 29, 2018
Posted in renungan 

Jumat Agung, 30 Maret 2018  

Bacaan: Yesaya 52:13-53:13; Yohanes 18:1-19:42  

 

“Sudah selesai” … itulah perkataan Yesus yang terakhir di kayu salib, lalu Ia menyerahkan hidupNya dan wafat. Pada hari ini seluruh Gereja merayakan Wafatnya Tuhan Yesus, setelah melalui siksaan dan penderiataan yang sangat berat. Perjalanan akhir hidup Yesus memang sungguh berat, bukan hanya beban fisik yang harus diterimaNya, namun juga serangan berupa hojatan, perdebatan yang diajukan kepadaNya. Namun sikap Kasih tetap menjadi utama di dalam pribadi Yesus hingga wafatNya. Kita bersedih dan berduka dan masih terus terulang duka kita itu. Namun Tuhan Yesus akan mengatakan yang sama juga, seperti yang dikatakanNya kepada para wanita yang menangisiNya, ‘Jangan tangisi Aku, namun tangisilah dirimu sendiri’. Tampaknya perkataan Yesus itu kasar, namun Yesus mau menunjukkan kebenaran, juga kepada kita sekarang ini. Tuhan tidak perlu dikasihani dan ditangisi, namun dosa dan kesalahan kitalah yang perlu kita tangisi, sesali dan perbaiki.  

 

Dengan mengatakan, ‘sudah selesai’, Yesus menutup dan menyelesaikan perjalananNya di dunia ini dalam rangka melakukan kehendak BapaNya. Semuanya telah Yesus lakukan dan sekarang Ia menyerahkan seluruhnya juga hidupNya ke dalam tangan Bapa. Maka sekarang Bapa yang akan bertindak, apakah semua yang dilakukan Yesus selama ini akan ditrima atau tidak. Walaupun bagi Yesus semuanya sudah selesai, ternyata tidak demikianlah bagi manusia, karena seorang prajurit menombak lambung Yesus yang telah wafat. Pengorbanan Yesus sungguh sampai tuntas dan total, seluruh hidupNya dipersembahkanNya kepada Bapa. Dari lambung yang ditombak itu mengalirlah darah dan air, yang menjadi tanda nyata mengalirnya kehidupan Yesus bagi semua manusia.  

 

Tampaknya kematian Yesus ini merupakan kegagalan perjuanganNya untuk membebaskan manusia dari dosa. Seolah-seolah semua yang diperjuangkan oleh Yesus menjadi sia-sia dan bahkan menghancurkan diri Yesus sendiri. Memang fokus permenungkan kita ada pada Yesus yang wafat di salib. Jika kita memandang Yesus yang wafat itu, maka kita dapat melihat bahwa dosa-dosa kita semua telah dipakukan di salib itu. Dari salib itu kita dapat mendengar sekali lagi jeritan Yesus kepada kita semua, “Mengapa kalian menyalibkan Aku? Kesalahan apa yang telah Kuperbuat kepadamu?”. Jawaban apa yang akan kita berikan kepada Yesus pada hari ini? Saatnya kita masuk ke dalam diri kita masing-masing dan jawablah pertanyaan Yesus itu, apakah memang Dia bersalah atau kita yang bersalah? Inilah Jumat Agung, karena Misteri besar telah terjadi. Yesus yang telah memberikan Tubuh dan DarahNya untuk menjadi santapan, hari ini Ia mewujudkannya dengan memberikan Tubuh dan DarahNya secara total untuk manusia berdosa, kita semua, di atas kayu salib. 

Tuhan memberkati.  

 

Translate »