Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Senin, 30 September 2019

Posted by admin on September 30, 2019
Posted in renungan 

PW. St. Hieronimus, Imam dan Pujangga Gereja(Za. 8: 1-8, Luk. 9:46-50)


Salah satu sifat anak kecil, selain polos dan lugu, adalah selalu tergantung dengan orang lain, entah itu dengan orang tua, atau kakak-kakaknya. Apapun, yang dilakukan anak kecil, selalu dibantu, dibimbing dan diarahkan oleh orang yang lebih dewasa. Itulah kenapa kalau ada anak kecil yang tidak ikut arahan orang tua, maka akan disebut dengan ‘anak nakal, anak tak bisa diarahkan’. 
Sebanding dengan itu, gambaran anak kecil dalam bacaan Injil, juga hendak menunjuk kepada hidup beriman sebagai murid Kristus, yaitu sebagai pribadi yang selalu tergantung. Tergantung kepada siapa? Tergantung kepada Tuhan sendiri. Dalam segala hal: pekerjaan sehari-hari, tugas, tanggungjawab dan pelayanan. Maka, kalau ada yang merasa bahwa segala kesuksesan diraih karena usaha sendiri, maka dia adalah orang yang sombong dan tidak rendah hati, karena merasa besar dan tidak membutuhkan penyelenggaraan Tuhan. 
Maka, kita diajak untuk menjadi orang yang rendah hati, seperti anak kecil yang selalu bergantung pada Tuhan. Menyadari diri bahwa diri kita ini kecil, tidak berarti, dibandingkan kebesaran Tuhan yang menjangkau seluruh ruang dan waktu. Dengan rendah hati, maka rahmat Tuhan itu bisa ‘masuk’ ke dalam hidup, karena kita terbuka pada penyertaan dan penyelenggaraan Tuhan sendiri.
Selamat pagi, selamat beraktivitas. Berkah Dalem. [didik, pr]

Rich Man and Lazarus

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 28, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Reflection on the 26th Sunday in Ordinary Time [C]

September 29, 2019

Luke 16:19-31

Once again, we listen to one of Jesus’s most remarkable stories. There is a rich man, and this guy is insanely wealthy. He is described as someone clothed with purple and fine linen. In ancient time, fine purple linen is an utmost luxury, and usually only nobilities could afford to buy this kind of cloth. Before the coming of synthetic coloring, purple dye is coming from snails of Mediterranean Sea, and it takes thousands of snails just to dye one ordinary garment. This rich guy is also throwing party every night. At the time of Jesus, where majority must toil to earn a little and to have something to eat, to enjoy feast every night is madly extravagant. At that time, fork, knife, and napkins were not common; thus, people are eating with their hands. In very wealthy houses, they will cleanse their hands by wiping them on hunks of bread that will be thrown away. These are pieces of bread Lazarus longs to receive.

Lazarus is a Latinized form of Eleazar, meaning “God is my help.” Yet, it seems that he does not get much help from the Lord during his lifetime. He is a beggar, and as one living with terrible hygiene, skin diseases come and plague his body. Even the dogs are licking his wounds. He is now no different from a dog! However, God is just and gives His help to Lazarus in his death. He is brought by the angels to Abraham’s bosom to receive comfort, while the superrich guy is thrown to hell.

This is a powerful story that reminds us that apathy can send us to hell. The rich guy possesses tremendous amount of wealth, and yet he closes his eyes on his brother who is greatly in distress. A deeper root of apathy is just our selfishness. We only care about ourselves. We notice how the rich guy in hell asks Lazarus to quench his thirst, his immediate need. Then, the rich guy suddenly remembers that he has other brothers and he wants Lazarus to warn them. It might be a hint of empathy, but it can be the sign of deeper selfishness. He wants only those close to him are saved. He never utters any single word of sorry to Lazarus, for being too cruel. Fr. Richard Rohr, a Franciscan spiritual writer, once says, “The ego hates losing – even to God.”

God hates apathy because apathy is directly opposed to His mercy. The word Mercy in Latin is Misericordia, and it means the heart of those who are suffering. In the Bible, if there is one thing that always moves God, it is when someone begs for mercy. Pope Benedict XVI reminds us that God is mercy, and He cannot be but merciful. Thus, apathy is simply against God; it is a rejection of heaven.

Surely, we do not have to solve all the problem of the world; neither do we have to become the wealthiest guy in the world to care for others. We just need to look outside ourselves, outside our gadgets, outside our social media, outside places and people that give us comfort. Perhaps, our kids need someone to talk with, someone who can listen without judging. Maybe, the person beside us is having a bad day, and our little smile may help significantly. After all, Mother Teresa of Calcutta once said, “We shall never know all the good that a simple smile can do.”

Let us make our mission today to say a kind word and do a kind deed to someone who needs it. As Mother Teresa once again says, “Kind words can be short and easy to speak, but their echoes are truly endless.”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sabtu, 28 September 2019

Posted by admin on September 27, 2019
Posted in renungan 

1. Bacaam I : Nubuat Zakaria 2:1-5.10-11a

2. Injil : Lukas 9: 43b-45

“Anak Manusia akan diserahkan kepada manusia”, satu kata-kata Yesus yang kalau dilihat lebih dalam ada dinamika batin yang sulit untuk diterima. Kata-kata itu seolah ingin mengatakan akhir dari hidup seorang yang dengan kata-katanya sendiri mengatakan pada orang lain. Yesus tahu apa yang akan terjadi pada diriNya, dan Ia juga tahu dengan akhir hidupNya yang tragis dan penuh derita. Kalau kita ada di posisi Yesus, kita pasti akan berusaha untuk membuat hal itu tidak terjadi. Kita tidak mau kesulitan dan celaka menimpa kita, maka kita berusaha mengantisipasi hal tersebut. Namun hal itu tidak dilakukan olehNya; kata-kata Yesus itu seolah ingin menunjukkan kesiapanNya pada perutusan yan Ia terima dari Sang Bapa. Yesus mau memenuhi apa yang jadi tugasNya hingga akhir. SikapNya yang demikian pasti tidak lepas dari relasiNya yang dekat dengan Bapa. Relasi itu membuat Yesus yakin dengan apa yang dijanjikan oleh BapaNya. Kita pun diajak demikian, kita diajak membangun relasi yang dekat dengan Bapa agar kita siap menghadapi semua situasi walau tidak semuanya mudah. Kita diajak untuk tidak selalu menghindari situasi buruk, karena bisa jadi dari situasi itulah kita akan menemukan banyak hal yang membuat kita semakin dewasa dalam hidup.

Jumat, 27 September 2019

Posted by admin on September 26, 2019
Posted in renungan 

1. Bacaan I : Nubuat Hagai 2:1b-10

2. Injil : Lukas 9: 18-22

Hari ini sesudah Yesus berdoa, Ia bertanya pada para muridnya tentang siapa diriNya bagi para Murid. Para murid menjawab dengan banyak pendapat dan pemahaman yang mereka dapatkan dari orang lain, namun Yesus tidak mengharapkan itu. Ia ingin jawaban yang sungguh-sungguh muncul dari pemahaman personal para murid. Pemahan personal ini mengandaikan adanya relasi yang dekat dan hangat dengan Yesus, atau dengan kata lain pemahaman itu didapatkan dari banyak pengalaman yang pernah terjadi. Pemahaman yang personal ini mengharuskan adanya keterbukaan hati dari para murid untuk menangkap apa yang menjadi kehendakn dan pewujudan Yesus dalam diri mereka. Selain itu, kita juga bisa melihat seting dalam kisah ini. Kisah ini terjadi di saat Yesus selesai berdoa, maka bisa dilihat bahwa situasi saat itu adalah situasi yang hening dan tidak ramai. Situasi hening ini membuat kita bisa lebih dekat dengan Tuhan, dan darinya kita juga bisa melihat lebih dalam diri kita yang akhirnya membawa pada pemahaman dan kesadaran akan siapa Yesus bagi kita. Maka kita diajak untuk mau hening, agar dalam keheningan itu kita bisa menemukan Tuhan yang mewujudakan diriNya pada kita dalam kehadiran dan karyaNya.

Kamis, 26 September 2019

Posted by admin on September 26, 2019
Posted in renungan 

1. Bacaan I : Nubuat Hagai 1:1-8

2. Injil : Lukas 9:7-9

Bacaan Injil hari ini mengajak kita untuk merenungkan sikap Herodes sesudah kematian Yohanes yang ia penggal kepalanya. Perasaan bersalah dan ketakutan dalam diri Herodes yang merasa jangan-jangan akan ada balasan membuat hari-harinya banyak diwarnai dengan perasaan was-was yang membuat tidak tenang. Situasi batin macam ini membuat Herodes menjadi gampang takut kalau ada orang yang menyerupai Yohanes dalam hidupnya. Hal ini dapat terlihat dari sikap Herodes ketika kabar kehadiran Yesus menjadi santer di tengah-tengah masyarakat. Ada ketakutan jangan-jangan Yesus akan berkata-kata sama dengan Yohanes atau bisa saja rasa takut dan bersalah Herodes juga membuatnya ingin menebus kesalahan dengan menjumpai Yesus. Melihat situasi batin Herodes, kita bisa melihat bahwa pilihan yang salah dalam hidup, pulihan yang tidak didasarkan diskresi yang matang membuat kita menjadi mudah khawatir dan was-was yang membuat hidup jadi tidak damai dan tenang. Situasi batin yang demikian sebenarnya bisa menuntun kita dalam memilih satu pilihan hidup; di saat batin kita tidak tenang setelah melakukan satu sikap atau pilihan bisa jadi apa yang kita buat adalah satu hal yang salah dan bukan merupakan kehendak Tuhan sendiri. Namun sebaliknya, jika kita membuat pilihan dan hati kita jadi tenang dan damai bisa jadi pilihan kita adalah pilihan yang benar yang didasari dengan adanya diskresi yang matang dan mendalam, karena pada kenyataannya setiap hari kita akan selalu dihadapkan dengan banyak pilihan; entah itu besar atau kecil. Semoga pengalaman hidup Herodes itu juga membuat kita belajar untuk mau berdiskresi sebelum membuat satu keputusan yang tentunya harus dilakukan dalam suasana tenang dan hening agar tak ada penyesalan atas pilihan yang dibuat.

Translate »