Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Iman Ishak

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 24, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu Prapaskah ke-2 [B]

25 Februari 2024

Markus 9:2-10

Kejadian 22:1-18

Pengorbanan Ishak adalah salah satu kisah yang paling dramatis dan intens dalam Alkitab. Dari kisah ini, Gereja melihat bahwa Ishak adalah ‘tipos’ dari Kristus. Ishak dan Yesus sama-sama terlahir sebagai penggenapan janji Allah. Keduanya dilahirkan dalam kondisi yang luar biasa. Ishak dan Yesus sama-sama menjadi kurban dari bapa mereka. Namun, pengorbanan Ishak terhenti, dan pengorbanannya akan digenapi di dalam Yesus di kayu salib. Namun, meskipun analisis tipologi ini sangat mengagumkan, ada beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab. Bagaimana perasaan Ishak ketika dia tahu bahwa dia akan dikurbankan? Apakah dia dipaksa atau dengan sukarela memberikan dirinya? Apa alasannya?

Apakah Ishak dipaksa atau tidak untuk menjadi kurban? Jawabannya terletak pada usia Ishak pada saat kejadian. Banyak orang membayangkan bahwa Ishak masih kecil, dan dengan demikian, Abraham secara paksa mengikatnya dan dikorbankan. Namun, teks Kitab Suci menunjukkan bahwa dia bukan lagi seorang anak kecil karena dia memikul kayu untuk pengorbanan di bahunya. Karena kayu yang dibawa Ishak bukan untuk api biasa, melainkan untuk sebuah ritual pengorbanan, maka Ishak pastikan membawa kayu yang cukup banyak. Tentu saja, itu adalah pekerjaan yang TIDAK bisa dilakukan anak kecil. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Ishak tidak dipaksa karena, sebagai seorang pemuda, ia memiliki kekuatan fisik untuk melawan Abraham yang sudah tua. Ishak dengan sukarela memberikan dirinya sebagai kurban dan, mungkin bahkan, meminta Abraham untuk mengikatnya.

Namun, pertanyaannya belum terjawab: Apa yang Ishak rasakan? Mengapa ia rela untuk mengurbankan dirinya? Sayangnya, teks Alkitab tidak memberi kita jendela ke dalam hati Ishak. Namun, tidaklah sulit untuk merasakan kesusahan, kesedihan, dan ketakutan yang luar biasa. Dia adalah seorang pemuda yang masih memiliki masa depan yang masih panjang, namun dia akan kehilangan nyawanya pada saat itu. Dia tidak hanya menghadapi kematian, tetapi juga kematian yang kejam. Ia tidak memiliki banyak waktu merenungkan kehendak Tuhan. Semua akan terjadi dengan cepat. Tapi, Ishak tetap memberikan dirinya.

Kisah ini biasanya berfokus pada iman Abraham, yang menaati kehendak Allah dengan menyerahkan putra tunggalnya. Allah sendiri memberkati Abraham karena imannya yang teguh (lihat Kej. 22:16-17). Namun, kisah ini juga bercerita tentang iman Ishak. Dalam Alkitab, Ishak dianggap sebagai tokoh kecil di antara para bapa leluhur Israel. Dibandingkan dengan Abraham dan Yakub, kisah Ishak jauh lebih sedikit dan seringkali dia hanya mengambil peran yang lebih pasif. Namun, kisah ini telah membuktikan bahwa Ishak adalah tokoh yang memiliki iman yang besar. Bahkan, tanpa imannya, Abraham tidak akan menerima berkat Tuhan.

Iman Ishak sangat dewasa dan mendalam. Di tengah kesedihan dan ketakutan yang luar biasa, ia tetap teguh dan percaya bahwa Tuhan pada akhirnya akan menjadikan semua baik. Imannya juga membantunya untuk menyadari bahwa hidupnya adalah sebuah persembahan bagi Tuhan. Ketika ia mempersembahkan dirinya sebagai kurban, berkat Tuhan datang kepada Abraham. Iman Ishak bukan hanya tentang ‘percaya bahwa Tuhan itu ada’, bukan hanya tentang penerimaan pasif terhadap situasi, tetapi secara aktif berpartisipasi dalam kehendak Tuhan.

Bagaimana kita bereaksi dalam menghadapi situasi yang tidak pasti dan penderitaan? Takut, cemas, atau marah? Apakah iman itu bagi kita? Sekadar percaya kepada Allah, penyerahan diri secara pasif terhadap situasi yang tidak dapat dihindari, atau secara proaktif mencari kehendak Allah? Apakah kita juga mempersembahkan hidup kita sebagai persembahan kepada Tuhan sehingga orang lain dapat menerima berkat?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Padang Gurun

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 17, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Hari Minggu Pertama Masa Prapaskah [B]
18 Februari 2024
Markus 1:12-15

Apa yang kita bayangkan ketika mendengar kata padang gurun? Gambaran yang ada di benak kita mungkin sangat beragam, tergantung pada pengalaman dan pengetahuan kita tentang gurun. Namun, kita sepakat bahwa padang gurun adalah tempat yang tandus, diliputi oleh iklim yang tidak bersahabat, dan bukan tempat yang cocok untuk dihuni oleh manusia. Lalu, mengapa Roh Kudus membawa Yesus ke padang gurun? Mengapa kita perlu mengalami momen-momen padang gurun?

Ketika kita memiliki gambaran tentang padang gurun, kita dapat berpikir tentang hutan hijau atau taman yang subur sebagai kebalikannya. Faktanya, Alkitab memberikan dua gambaran ini, taman dan padang gurun, sebagai dua tempat yang kontras. Adam dan Hawa pada awalnya tinggal di taman yang sempurna, dengan segala kenikmatannya. Mereka memiliki makanan terbaik, tempat teraman, dan yang paling penting, Tuhan bersama mereka. Namun, mereka jatuh dalam dosa, dan mereka harus meninggalkan taman itu. Mereka memulai perjalanan mereka di ‘padang gurun’ di mana mereka harus bekerja keras untuk mencari nafkah, di mana banyak bahaya mengintai, dan kematian menjadi tujuan akhir mereka.

Lalu, mengapa Yesus berada di padang gurun? Jawabannya adalah bahwa Yesus ada di padang gurun agar kita dapat menemukan-Nya juga di sana. Bahkan padang gurun pun dapat menjadi tempat yang kudus, karena Juruselamat kita ada di sana dan memberkati tempat itu. Ya, padang gurun adalah tempat yang berbahaya, dan bahkan roh-roh jahat pun mengintai untuk merenggut kita dari Tuhan, namun Yesus juga ada di sana. Kehadiran-Nya membuat tempat yang paling jelek sekalipun di dunia ini menjadi tempat yang indah dan kudus.

Kehadiran Tuhan di padang gurun bukanlah sesuatu yang baru. Kata gurun dalam bahasa Ibrani adalah מדבר (baca: midbar), dan secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai ‘tempat sabda’. Memang, gurun Sinai adalah tempat di mana bangsa Israel mengalami banyak kesulitan, dan diuji, namun juga tempat di mana Tuhan menyatakan diri-Nya dan membuat perjanjian dengan Israel melalui Musa. Bahkan, melalui pengalaman di padang gurun, Tuhan mendisiplinkan dan membentuk umat-Nya.

Kecenderungan alamiah kita adalah menghindari padang gurun, baik itu tempat geografis yang nyata maupun simbol untuk saat-saat sulit dalam hidup kita. Kita tidak ingin mengalami rasa sakit dan penyakit, kita benci menanggung kesulitan keuangan dan ekonomi, dan kita tidak mau hubungan yang sulit dalam keluarga atau komunitas kita. Kita ingin selalu diberkati, berada di Firdaus. Namun, sekarang, kita tidak perlu takut untuk berjalan melewati padang gurun karena Yesus ada di sana. Memang, kesulitan kita dapat membuat kita lelah dan menjadi kesempatan bagi iblis untuk mencobai kita dengan keras, namun bersama Yesus, pengalaman-pengalaman ini dapat menjadi sarana kekudusan.

Pada masa Prapaskah, Gereja mengajarkan kita untuk berpuasa, berdoa lebih intens dan meningkatkan amal kasih. Praktik-praktik ini mengundang kita untuk memasuki padang gurun, merasakan kelaparan, mengalami ketidaknyamanan, dan mengurangi hal-hal yang memberi kita kesenangan. Namun, secara paradoks, ketika kita memasuki padang gurun Prapaskah yang sulit ini dengan sukarela dan setia, kita dapat menemukan Kristus di sana, dan kita diperbaharui dalam kekudusan.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Untuk Kemuliaan Allah dan Keselamatan Manusia

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 10, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-6 dalam Masa Biasa [B]
11 Februari 2024
Markus 1:40-45
1 Korintus 10:30 – 11:1

Menjelang akhir suratnya kepada jemaat di Korintus, Santo Paulus mengingatkan kita akan dua tujuan dasar setiap murid Kristus. Yang pertama adalah, “…segala sesuatu yang kamu perbuat, perbuatlah semuanya untuk kemuliaan Allah (1 Kor 10:31).” Yang kedua adalah, “…dalam segala sesuatu yang kulakukan, aku tidak mencari keuntungan bagiku sendiri, tetapi keuntungan bagi banyak orang, supaya mereka diselamatkan (1 Kor. 10:33).” Paulus mengatakan bahwa dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kita melakukannya untuk kemuliaan Allah dan keselamatan sesama.

Namun, apakah mungkin kita melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan dan keselamatan sesama? Banyak dari kita yang sibuk bekerja dan disibukkan dengan banyak hal lain untuk kelangsungan hidup kita, dan seringkali, kita hampir tidak ingat akan hadirat Tuhan, apalagi memuji dan bersyukur kepada-Nya. Beberapa dari kita bahkan kesulitan untuk menghadiri Misa Mingguan. Apakah ini berarti kita gagal dalam hal ini?

Paulus tidak memerintahkan kita untuk ‘mengucapkan kemuliaan bagi Tuhan’ melainkan ‘melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan’. Ini bukan hanya tentang menyanyikan pujian atau mengucapkan “kemuliaan bagi Allah di surga” sepanjang hari. Pada dasarnya, apa yang bisa kita lakukan adalah memilih untuk melakukan hal-hal yang berkenan kepada Tuhan, bahkan dalam hal-hal yang biasa dan rutin. Dalam pekerjaan kita, kita memuliakan Allah ketika kita melakukan pekerjaan yang jujur. Bahkan ketika kita menonton sesuatu di televisi atau melihat konten di gadget kita, kita dapat melakukannya untuk kemuliaan Tuhan ketika kita menghindari melihat hal-hal yang membawa kita kepada dosa dan memilih untuk melakukan apa yang benar-benar bermanfaat. Tentu saja, kita tidak dapat memuliakan Allah jika kita menganggur atau membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna.

Tujuan kedua adalah melakukan segala sesuatu agar orang lain mendapatkan keselamatan. Adalah sikap yang salah jika kita hanya berfokus pada keselamatan kita sendiri. Iman kita bukanlah iman yang mementingkan diri sendiri dan individualistis, tetapi iman yang berorientasi pada sesama dan penuh kasih. Keselamatan kita bergantung pada keselamatan sesama kita juga. Itulah iman Katolik, sebuah iman untuk keselamatan universal. Misi mendasar seorang suami adalah membawa istrinya lebih dekat kepada Allah. Keselamatan orang tua bergantung pada pertumbuhan kekudusan anak-anak mereka.

Tetapi, apakah kita bertanggung jawab atas keselamatan semua orang? Ya, kita dipanggil untuk memberitakan Injil kepada semua orang, tetapi kita terutama bertanggung jawab atas mereka yang dekat dengan kita, seperti keluarga atau anggota komunitas kita. Namun, Santo Paulus juga menyampaikan pesan yang jelas, “Jadilah tanpa cela bagi orang Yahudi atau orang Yunani atau Gereja Allah (1 Kor. 10:32).” Meskipun kita tidak secara aktif bertanggung jawab atas keselamatan semua orang, kita diharapkan untuk tidak menyebabkan kerugian atau skandal yang dapat mendorong orang menjauh dari Tuhan. Kita selalu menjadi saksi dan murid Kristus di dunia.

Terakhir, dua misi dasar yang diinstruksikan oleh Santo Paulus ini adalah konkretisasi dari hukum yang paling mendasar yang diajarkan oleh Yesus: mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita (lihat Mat. 22:37-38). Dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kita melakukannya untuk kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kita dan Pewartaan Injil

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on February 3, 2024
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Hari Minggu ke-5 dalam Masa Biasa [B]
4 Februari 2024
Markus 1:29-39

Sering kali, kita berasumsi bahwa tugas pewartaan Injil hanya untuk para uskup, imam, dan diakon, atau untuk biarawan-biarawati atau katekis-katekis awam. Namun, anggapan ini kurang tepat. Yang benar adalah bahwa setiap orang yang dibaptis memiliki sebuah tanggung jawab untuk mewartakan Injil. Ya, Anda dan saya! Tetapi, bagaimana kita mewartakan jika kita tidak memiliki talenta atau kemampuan untuk melakukannya?

Pertama, kita harus menyadari bahwa mewartakan Injil adalah bagian penting dari identitas kita sebagai orang Kristen. Menjadi Kristen berarti kita menjadi ‘citra Kristus’, atau ‘Kristus yang lain.’ Dalam Injil hari ini, Yesus menegaskan bahwa misi-Nya adalah untuk mewartakan Injil. Dia menolak untuk berhenti di satu kota dan menikmati pujian dari orang-orang, tetapi Dia harus pergi ke tempat lain dan berkhotbah. Jika Yesus sendiri berkomitmen untuk memberitakan Kabar Baik, maka kita, sebagai citra-Nya, dipanggil untuk mewujudkan komitmen ini juga. Orang Kristen sejati adalah orang yang dengan setia mewartakan Injil.

Yesus mengakui misi ini sebagai bagian dari identitas-Nya dan menyerahkannya kepada Gereja-Nya sebagai sebuah perintah. Setelah kebangkitan-Nya, Dia mengamanatkan kepada murid-murid-Nya, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:19-20). Sekali lagi, misi ini bukanlah pilihan, melainkan kewajiban bagi setiap murid Yesus.

Gereja memahami misi ini, dan dengan demikian, Gereja mengajarkan kepada kita, “Kaum awam juga memenuhi misi kenabian mereka melalui penginjilan, “yaitu pewartaan Kristus dengan kata-kata dan kesaksian hidup… (KGK 905).” Santo Thomas Aquinas, seorang teolog, menulis, “Mengajar untuk menuntun orang lain kepada iman adalah tugas setiap pengkhotbah dan setiap orang beriman (STh. III, 71,4 ad 3).”

Namun, bagaimana kita berkhotbah jika kita tidak memiliki talenta dan karunia? Pertama, kita perlu menyadari bahwa ada jenis-jenis pewartaan yang secara khusus dipercayakan kepada para klerus, seperti di dalam liturgi. Alasannya adalah karena Gereja ingin memastikan bahwa pewartaan di tempat yang sakral ini akan dilakukan dengan khidmat dan sesuai dengan ajaran-ajaran Gereja yang benar. Namun, ada banyak kesempatan lain bagi umat awam untuk pewartaan, dan bahkan, pada kenyataannya, ada konteks-konteks di mana hanya umat awam yang dapat mewartakan Injil: pernikahan dan keluarga.

Dalam konteks keluarga, pria dan wanita tidak hanya terikat oleh baptisan mereka untuk memberitakan Injil, tetapi juga oleh janji pernikahan mereka. Suami dan istri membawa satu sama lain lebih dekat kepada Allah, dan orang tua mendidik anak-anak mereka untuk mengasihi Allah dan melatih mereka dalam kekudusan. Kita meluangkan waktu untuk berdoa bersama sebagai sebuah keluarga di rumah atau di gereja. Kita mengajarkan anak-anak kita doa-doa dasar. Kita memberikan teladan yang baik kepada anak-anak kita. Kita membawa anak-anak kita ke paroki untuk pembaptisan dan sakramen-sakramen lainnya serta menerima berbagai petunjuk iman dari para imam dan katekis. Misi ini tidak membutuhkan bakat atau pelatihan khusus, melainkan waktu dan komitmen, sesuatu yang dimiliki semua orang.

Misi pewartaan Injil tidak hanya sesuatu yang esensial dari identitas kita sebagai murid Kristus, dan bahkan keselamatan kita bergantung pada hal ini. Biarlah kata-kata Santo Paulus menjadi moto kita, “Celakalah aku, jika aku tidak mewartakan Injil” (1 Kor. 9:16).

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »