Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Belajar dari Sebuah Benih yang Kecil

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on January 31, 2019
Posted in renungan 

Jumat pada Pekan ke-3 Masa Biasa

1 Februari 2019

Markus 4:26-34

 

“Kerajaan Allah itu: seumpama orang yang menaburkan benih di tanah (Mrk 4:26).”

Bahkan sebuah benih yang kecil dapat memberikan kita sebuah pelajaran penting dalam hidup. Di saat kita memasuki kembali Masa Biasa liturgi Gereja, Yesus mengingatkan kita bahwa bahkan sebuah tanaman yang sangat biasa menyembunyikan kebijaksanaan besar dari Kerajaan Allah. Sungguh, dalam banyak perumpamaan-Nya, Yesus mengungkapkan kebijaksanaan dan keindahan alam ciptaan dan kegiatan manusia yang tampaknya biasa saja. Kita ingat bahwa Tuhan menciptakan kita dan dunia berdasarkan kebijaksanaan-Nya. Dengan demikian, pada setiap ciptaan, bahkan yang paling kecil pun, melekat tanda kebijaksanaan-Nya. Ini adalah tujuan dari Masa Biasa liturgi Gereja: untuk menemukan keindahan dan makna dari kesahajaan dan kesederhanaan kita.

Sayangnya, kita sering lupa akan hal ini. Di bawah pengaruh berat mentalitas post-modern, kita hanya menginginkan yang luar biasa dan untuk menjadi seseorang yang luar biasa. Banyak berita dipenuhi dengan laporan sensasional dari para pemimpin negara atau gosip-gosip panas dari para selebriti. Cerita seorang guru sederhana  sangat jarang menjadi bahan berita, kecuali ia memenangkan penghargaan nasional sebagai pendidik yang sukses. Buku yang paling laris dan seminar paling banyak dihadiri tidak lain adalah tentang bagaimana mencapai kesuksesan, kekayaan dan prestasi. Orang tidak akan berpikir dua kali untuk menonton film yang menampilkan superstar dari Hollywood, tapi pasti akan ragu jika kita harus menghadiri ceramah agama di paroki. Bahkan, pengkhotbah Katolik, baik kaum imamat dan awam, juga mempromosikan budaya sukses ini. Kebahagiaan adalah extraordinariness.

Namun, jika kita mencoba untuk jujur, siapa di antara kita telah berhasil menjadi bintang film atau menjadi CEO perusahaan raksasa? Mungkin tidak ada. Hanya sebagian kecil masyarakat yang dapat mencapai puncak dunia ini, tetapi mayoritas umat manusia pada dasarnya hidup dalam kesederhanaan. Tentunya, menjadi sukses dan bekerja keras untuk mencapai impian adalah baik, tetapi jika kita kemudian menjadi tidak bahagia dan bahkan lupa akan yang paling penting dalam hidup ini, kita perlu berhenti sejenak dan mendengarkan Yesus.

Melalui perumpamaan-Nya, Yesus mencoba membangunkan kita. Bahkan dalam kesahajaan hidup, keindahan, kebijaksanaan dan kebahagiaan dapat kita temui. Jika pertumbuhan yang tidak kentara dari sebuah benih kecil dapat mewakili Kerajaan Allah, hidup kita yang sederhana dan tanpa tanda jasa juga dapat melambangkan kekuatan Allah yang dasyat. Kerja keras kita sehari-hari dapat membuahkan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita. Kemauan kita untuk membawa anak-anak kita ke sekolah setiap hari dapat menyelamatkan mereka dari banyak masalah saat mereka menjadi dewasa. Seorang imam yang setia merayakan misa harian dan mempersiapkan kotbahnya, mungkin telah menyelamatkan banyak jiwa-jiwa. Dan ketika kita berhenti sejenak, dan merefleksikan hal-hal biasa dalam hidup, kita sekarang menyadari bahwa memang mereka menyimpan keindahan karena Tuhan ada di sana. Dan, selalu mempunyai alasan untuk bahagia.

 

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Berbagi

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on January 30, 2019
Posted in renungan 

Kamis pada Pekan ke-3 Masa Biasa

31 Januari 2019.

Peringatan St. Yohanes Bosko

Mark 4:21-25

 

Masyarakat zaman sekarang ditandai dengan mentalitas yang berorientasi uang dan semakin konsumtif. Semakin banyak orang percaya bahwa uang bisa menyelesaikan segala permasalahan dan dengan demikian, banyak orang bekerja sangat keras untuk mendapatkan uang. Seorang teman dari Filipina menceritakan bagaimana dia bisa bekerja 12 sampai 14 jam di kantornya setiap hari untuk mendapatkan cukup uang untuk menopang keluarganya. Dengan sistem perbankan dan kredit modern, masyarakat semakin tergiur untuk membeli bahkan sebelum mereka memiliki uang. Lebih buruk lagi, beberapa orang hanya tahu bagaimana menghabiskan uang tanpa tahu bagaimana cara untuk membayar utang mereka. Utang terus membengkak dalam jumlah tak terbayangkan dari sebelumnya, dan sebagai konsekuensinya, mereka yang sebenarnya tidak pernah meminjam uang harus membayar utang orang lain.

Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia dan Filipina, masalah ekonomi terbesar adalah kemiskinan yang semakin memburuk. Sementara sebagian besar masyarakat bekerja sangat keras untuk mendapatkan upah yang minimum, sebagian kecil dari masyarakat menyedot uang orang miskin melalui korupsi besar-besaran. Semakin banyak orang jatuh ke dalam prostitusi, perdagangan manusia, perdagangan narkotika dan sindikat kejahatan, hanya untuk mengisi perut kosong mereka. Beberapa negara miskin lainnya menjadi lahan subur bagi terorisme, bukan karena ideologi tertentu, namun karena bayaran uang yang sungguh memikat.

Masyarakat kita mungkin berada pada puncak fenomena konsumerisme dan mentalitas uang sebagai kebahagian, tetapi ini tidak berarti bahwa mentalitas ini hanya mempengaruhi masyarakat saat ini. Kembali ke zaman Yesus, kita bisa melihat mentalitas ini telah meracuni hati manusia.

Yesus tahu bahwa mendapatkan dan mengumpulkan sesuatu bukanlah jawaban, tetapi terletak pada kemampuan kita untuk berbagi apa yang kita miliki dan juga berbagi  hidup kita dengan orang lain. “Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu…”

Dengan demikian, masalah ekonomi yang mendasar yang sedang kita hadapi sekarang bukanlah tentang bagaimana mendapatkan uang, tetapi ketidakmampuan kita untuk berbagi. Saat kita menjadi terlalu egois dan melakukan apa saja untuk mengumpulkan kekayaan, orang-orang lemah lainnya akan terus menderita. Namun, kita tidak pernah putus asa, dan kita bisa belajar dari para kudus. Pada abad ketiga belas, St. Fransiskus dari Assisi menjual seluruh miliknya, dan hidup dalam kemiskinan sehingga ia bisa menjadi satu dengan orang-orang miskin. Ibu Teresa meninggalkan tanah asalnya dan memberikan diri untuk orang termiskin di Calcutta, India. St. Yohanes Bosco melihat kemiskinan yang disebabkan oleh industrilisasi dan urbanisasi di Italia, tidak bisa tinggal diam. Diapun memberikan dirinya sepenuhnya untuk orang miskin secara khusus anak-anak muda yang terkena dampak paling hebat dari kemiskinan. Semakin banyak orang mengikuti jejak mereka meskipun dengan cara yang unik dan beragam. Dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih baik jika kita mau berbagi.

 

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Penabur

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on January 29, 2019
Posted in renungan 

Rabu pada Pekan ke-3 Masa Biasa

30 Januari 2019

Markus 4:1-20

 

Membaca dengan cermat perumpamaan hari ini, kita menemukan sesuatu yang tidak lazim. Tanah di Palestina tidaklah sesubur negara-negara lain seperti Indonesia, dan oleh karena ini, saat penaburan benih, beberapa akan jatuh ke tanah berbatu, atau semak berduri. Namun, para petani Israel tahu betul bahwa pada benih inilah tergantung hidup mereka, dan menghabiskan tiga perempat benih mereka pada tanah yang tidak subur sama saja dengan bunuh diri. Lebih mencengangkan lagi adalah Yesus meyakinkan bahwa walaupun menaburkan seperempat benih, hasil panen akan mencapai tiga puluh hingga seratus kali lipat. Seorang petani berpengalaman tentu tahu bahwa benih gandum biasa yang ditanam di tanah Palestina akan hanya menghasilkan cukup untuk keluarga dan musim tanam berikutnya, tetapi sampai berkelimpahan tidaklah wajar. Dengan demikian, banyak pendengar Yesus bertanya-tanya, “Apa yang dia bicarakan? Sulit dimengerti oleh nalar sehat.” Bahkan murid-murid-Nya pun bingung dan mendekati Dia untuk mencari klarifikasi.

Namun, Yesus tidak hanya menjelaskan perumpamaannya, Dia bahkan memberikan judul “Perumpamaan Penabur”. Jadi, Yesus dengan segera memusatkan perhatian kita kepada sang penabur. Siapakah penabur ini? Jawabanya adalah kita semua. Kita dipanggil untuk menjadi pewarta dan rekan kerja Allah dalam pewartaan Firman. Dengan demikian kita harus menebarkan Firman kepada semua orang, termasuk mereka yang tidak menyukai kita, dan mereka yang membenci kita. Seorang pastor paroki harus terus berkhotbah, merayakan sakramen dan melayani semua umat parokinya, tidak hanya mereka yang mendukungnya, tetapi juga orang-orang yang mengkritik dan menolaknya. Seorang suster yang merawat anak yatim harus merawat semua, tidak hanya anak-anak yang imut dan taat. Seorang pejabat pemerintahan harus bekerja untuk kemajuan semua orang di masyarakat, terlepas dari apakah mereka memilihnya atau tidak. Pasangan suami-istri yang sering lebih fokus pada karier harus bermurah hati dalam membangun Gereja dan masyarakat dengan menjadi orangtua, dan orangtua perlu mencintai dan mendidik semua anak mereka, terlepas dari siapakah yang menjadi anak kesayangan mereka.

Misi pewartaan Firman Tuhan itu sulit karena ini mencerminkan kemurahan hati dan belas kasih Allah yang tanpa batas. Yesus sendiri harus menanggung kesulitan ini karena pewartaan dan pelayanan-Nya disalahpahami dan ditolak, dan Dia sendiri dianiaya dan dihukum mati, namun Dia terus mewartakan karena Dia mengerti kehendak Bapa-Nya untuk membawa semua anak-anak-Nya lebih dekat kepada diri-Nya. Kita dipanggil untuk menjadi rekan kerja Allah dalam menabur Firman-Nya dan memberikan kontribusi kecil namun unik kita dalam pelayanan pewartaan Gereja. Tak diragukan lagi, menjadi penabur Firman adalah hal yang sulit, namun ini adalah cara kita untuk berpartisipasi dalam mewujudkan panen berlimpah Tuhan.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus dan Keluarga-Nya

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on January 28, 2019
Posted in renungan 

Selasa pada Pekan ke-3 Masa Biasa

29 Januari 2019

Markus 3:31-35

 

“Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku’ (Mrk 3:35).”

 

Dalam kebudayaan Israel kuno dan juga banyak budaya di Asia dan Afrika, keluarga adalah inti dari identitas seseorang. Seseorang dilahirkan, tumbuh, menjadi tua dan wafat dalam keluarga. Sewaktu uskup agung Pontianak, Agustinus Agus memberi ceramah di University of Santo Tomas, Manila, dia bangga sebagai bagian suku Dayak yang berasal rumah betang. Dalam budaya tradisional suku Dayak, sebuah keluarga besar atau klan tinggal, hidup dan melakukan rutinitas bersama di rumah besar dan panjang. Inilah rumah betang.

 

Namun, membaca Injil hari ini dengan seksama, umat Katolik yang baik akan terkejut. Kita tentunya mengharapkan Yesus menyambut dengan baik Maria, ibu-Nya, dan saudara-saudaranya yang datang dan mencari Dia. Anehnya, Yesus tidak melakukan apa yang diharapkan, tetapi sebaliknya Dia mengambil kesempatan itu untuk menunjukkan siapa keluarga baru-Nya, “Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata, ‘Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku’”(Mrk 3:34-35) Kata-kata Yesus terkesan keras karena Yesus tampaknya tidak memasukkan Maria dan saudara-saudara-Nya dari komposisi keluarga baru-Nya. Apakah ini berarti Yesus tidak menghormati Maria, yang adalah orang tua-Nya? Apakah ini berarti bahwa keluarga biologis dan tradisional tidak memiliki nilai?

 

Jawabannya jelas tidak. Tentu saja, Yesus menghormati dan mengasihi ibu-Nya. Yesus juga mengajarkan kekudusan sebuah pernikahan dan kehidupan keluarga (lihat Mat 5:31-32; Mat 19:19). Jemaat Gereja perdana juga mengikuti ajaran Yesus tentang integritas sebuah pernikahan dan kehidupan keluarga, sebagaimana tercermin dalam surat-surat St. Paulus (lihat 1 Kor 7: 1-17; Ef 6: 1-5). Kita yakin bahwa bagi Yesus, pernikahan dan keluarga itu baik. Namun, inti dari Injil kita hari ini adalah Yesus memanggil kita semua untuk melampaui hubungan alami ini. Keluarga baru Yesus tidak didasarkan pada darah tetapi berakar pada iman dan kemauan kita menjalankan kehendak Allah. Ini juga panggilan yang Yesus alamatkan kepada Maria dan sanak saudara-Nya. Tentunya, Maria menjadi model iman ketika dia mematuhi kehendak Allah saat ia menerima Kabar Sukacita (Luk 2: 26-38), ketika ia mengikuti Yesus bahkan sampai ke salib (Yoh 19: 25-26) dan setia berdoa bersama dengan Gereja perdana (Kis 1:14). Santo Agustinus pun mengatakan dalam kotbahnya, “Suatu berkat yang lebih besar bagi Maria karena ia telah menjadi murid Kristus daripada menjadi ibu Kristus.”

 

Keluarga sebagai institusi itu baik, tetapi Yesus mengajarkan bahwa kita perlu menjadi murid-Nya Yesus terlebih dahulu sebelum kita menjadi anggota keluarga yang baik.

 

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menghujat Roh Kudus

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on January 27, 2019
Posted in renungan 

Senin Pada Pekan ke-3 Masa Biasa

Peringatan St. Thomas Aquino

28 Januari 2019

Markus 3:22-30

 

Di dalam Alkitab, roh adalah konsep dan kenyataan yang mendasar. Dalam bahasa Ibrani, roh adalah ‘ru’ah’. Kata ‘ru’ah’ ini erat kaitannya dengan nafas, udara atau angin. Roh itu seperti udara. Ini tidak berbentuk dan tak terlihat, tapi semua benda terisi dan dikelilingi olehnya. Roh itu seperti angin. Ini tidak bisa dikendalikan, tapi adalah kekuatan dahsyat yang membentuk alam. Dan roh itu seperti nafas. Kita tidak bisa melihat dan menyentuhnya, namun ini memenuhi kita dengan kehidupan. Pada awal kisah penciptaan, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (lih. Kej 1: 2). ‘Nafas ilahi’ ini muncul juga dalam kisah penciptaan manusia. Tuhan kemudian menghembuskan nafas kehidupan ke dalam lubang hidungnya dan manusia menjadi hidup (lih. Kej 2:7). Kemudian, ketika pria dan wanita menjadi jahat, Tuhanpun mengambil kembali ‘roh’-Nya dari mereka dan mereka akan kembali menjadi debu (lih. Kej 6: 3). Dari sini, kita bisa mengerti bahwa roh adalah kekuatan di balik ciptaan. Roh adalah sumber kehidupan kita. Selain itu, roh juga menghubungkan kita dengan Yang Ilahi. Namun, karena dosa, roh akan diambil, dan manusia akan kembali menjadi debu.

Dalam Injil hari ini, Yesus mengajarkan bahwa Roh Allah ini bukan hanya sebuah kekuatan alamiah yang tak bernyawa, tapi Roh Allah ini adalah juga pribadi yang hidup. Walaupun dalam Injil hari ini Yesus memperkenalkan Dia dalam konteks penghujat Roh Kudus yang berbuah dosa kekal. Konteks bacaan Injil sendiri bercerita tentang ahli-ahli Taurat yang menghujat Yesus dengan mengatakan bahwa Yesus kerasukan dan bekerja untuk menghulu Setan, Beelzebul. Hal ini rupanya sudah melampaui batas karena mereka tidak hanya menghina Yesus, tetapi juga mengkaitkan Roh Kudus yang adalah Roh Yesus dengan roh jahat. Roh Kudus adalah sumber hidup dan menjadi menghubung manusia dengan yang ilahi. Jika manusia menghujat Roh Kudus, manusia memutuskan hubungan dengan sumber hidup yang ilahi itu sendiri. Kematian kekal adalah pahalanya.

Hari ini kita merayakan perayaan St. Thomas Aquino. Salah satu kontribusi terbesar dari St. Thomas adalah ajarannya tentang Allah Tritunggal Mahakudus. Secara khusus, di karya besarnya Summa Theologiae, ia juga menulis tentang Allah Roh Kudus yang adalah kasih yang mengalir dari Allah Bapa dan Allah Putra saling mengasihi. Jika manusia menghujat dan menolak Roh yang adalah kasih itu sendiri, manusia itu menolak Allah itu sendiri, dan ia menolak keselamatan itu yang mengalir dari kasih Allah.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Translate »