Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Merenung dan Mensyukuri Waktu, Menyambut Esok

Posted by admin on December 31, 2015
Posted in renungan 

Kamis, 31 Desember 2015

1John 2:18-21/John 1:1-18

2016 (2)

Dalam keheningan kumensyukuri waktu. Waktu yang kuhayati saat ini adalah anugerah. Aku menerima dan memasukinya  melalui cinta yang mengalir dari keakraban kasih kedua orang tuaku. Cinta mereka bersemayam dalam rahim ibuku, dan membentuk aku. Cinta yang sunyi berdiam dalam kasih dan kelembutan. Aku dicintai dan dibiarkan bertumbuh melalui tarikan nafas dan aliran darah ibu yang melahirkanku….

Kuberdiam dalam hening dan bertanya: Ajaib apa hidupku ini, Tuhan? Betapa indah rencanamu yang ajaib Tuhan ….

Roh dan cinta-Mu tercurah bagiku; mengalir dalam nadi dan detak jantung hidupku; dalam cinta dan kehangatan kasih-Mu yang begitu mulia.

Kasih-Mu Tuhan adalah awal sebelum semuanya ada:

“And the Word became flesh
and made his dwelling among us,
and we saw his glory,
the glory as of the Father’s only-begotten Son,
full of grace and truth.”

Dalam keheningan malam ini, dalam kekecilan dan kerapuhanku,
kuberlutut dengan cahaya lilin kecil ini di hadapan-Mu,
dan mengucap syukur bagi-Mu:
Pencipta Ajaib, Bapa Abadi,
atas rahmat hidup dan panggilan yang Kau anugerahkan bagiku,

anugerah kasih dan keakraban,
cinta dan kesetiaan orang-orang yang menyayangi dan mendukungnya,
ibu dan ayahku,
saudara-saudariku,
sahabat dan teman-temanku,
umat yang Kau percayakan padaku untuk melayani dengan kasih dan kebenaran-Mu….

Namun,
kusadari kerapuhanku, Tuhan,
aku menunduk ke tanah:

di balik kesuksesanku ada kegagalan,
di balik tawa, ada air mataku yang jatuh,
di balik kebahagiaan, terselubung duka,

Namun,

Engkau memandangku, dengan suara lembut kasihMu memanggilku,
mengangkat aku keluar dari dalam kekelaman,
mengangkat wajahku, untuk menatap Langit Suci-Mu,
jiwaku yang terluka, dan menyembuhkan aku,

Engkau memulihkan tenagaku dan menguatkan aku,…
untuk bangkit lagi menatap hari esok,
dengan optimisme baru dan ketabahan.

Syukur dan terima kasih Tuhan atas hari-hari yang sudah berlalu,
Syukur dan terima kasih Tuhan atas anugerah istimewa saat ini,
Syukur dan terima kasih Tuhan atas hari-hari baru yang akan datang….

Adios 2015,
Selamat datang 2016,

Semoga iman dan kesetiaanMu semakin kuat mengakar dalam hidup dan karya pelayananku,
Semoga cintaMu terus menyala dalam hatiku untuk melayani sesamaku, khususnya yang tidak mendapat perhatian secukupnya, terluka dan terlupakan,
Semoga harapanMu tetap teguh kupegang di dalam batin-sanubariku,
Agar namamu tetap dipuji dan dimuliakan,
Kasih dan kehendakMu dikenal dan dihayati,
Terpujilah Dikau, Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Amen.

Menjadi tanda harapan dan sukacita Allah, nabiah Hana

Posted by admin on December 30, 2015
Posted in renungan 

Rabu, 30 Desember 2015

1John 212-17/Luk 2:36-40

Menjadi seorang anak yang berguna dan sukses merupakan mimpi setiap orang tua. Akan tetapi mimpi seperti ini berjalan dalam waktu. Sama seperti menanam padi atau kelapa. Si petani tidak bisa berharap bahwa esok dia akan langsung memanen padi atau buah kelapa. Dia harus mengairi sawah, memberi pupuk, membersihkan rumput, dan membiarkan tanaman padi itu bertumbuh. Si petani bekerja dan dalam hatinya ia berharap bahwa suatu saat ia akan panen dari sawah yang dikerjakannya sendiri. Demikian juga dengan petani kelapa. Ia harus menanam pohon kelapa itu dan merawatnya dengan baik, mengalirinya dengan air agar bisa membesar dan menghasilkan buah. Padi dan kelapa yang sudah berbuah dan matang lalu dipanen dan dimasak untuk keluarga. Si petani sukses dalam pekerjaannya sebagai petani karena padi dan kelapa yang ditanamnya berbuah dan ia bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia patut bergembira dan bersyukur karena pekerjaannya diberkati dengan hasil yang ia peroleh.

Demikianlah mimpi dan harapan yang dialami oleh Hana dalam kisah Injil hari ini. Ia seorang janda yang sudah tua. Ia berasal dari keturunan Asyer. Perkawinannya berjalan selama tujuh tahun. Setelah kematian suaminya ia terus mengabdikan hidupnya untuk Tuhan. Dengan sabar ia sabar menantikan keselamatan bagi Yerusalem. Ia tidak putus asa. Siang malam ia habiskan hidupnya hanya di bait Allah. Ia menantikan apa yang menjadi harapan setiap orang Israel yakni Mesias. Ia menanti dengan berdoa kepada Allah tanpa kenal waktu. Dia tak pernah meninggalkan rumah Tuhan. Selain berdoa dia juga berpuasa. Dua kebajikan ini dihayati dengan setia hingga masa tuanya. Usianya uzur oleh waktu tapi harapannya akan keselamatan yang dinantinya sepanjang hidup tak sedikitpun pudar. Doa dan puasa adalah korban dan kerja yang dipersembahkannya kepada Yang Maha Tinggi. Kesetiaannya dalam menanti akhirnya menghasilkan buah. Buah yang selalu dinanti-nantikan itu lahir dalam diri Yesus, Putra Maria dan Yusuf. Doanya diberkati dengan kelahiran Putra Allah sendiri. Yesus lahir dan diterimanya dengan sukacita besar. Yesus diterima oleh sisa-sisa Israel yang tidak pernah hilang harapan kepada Allah. Seperti Simeon, Hana adalah simbol suka cita Israel yang menyambut Emanuel, Sang Penyelamat. Yesus adalah tunas yang bertumbuh dari tunggul Isai; harapan yang dinanti berpuluh-puluh abad kini lahir dan menjadi suka cita Jerusalem. Hana bersyukur dan memuji Allah karena doa dan puasa, harapan yang dinantikan para nabi dikabulkan oleh Allah. Penantiannya tidak sia-sia karena dibalas oleh Allah dengan kasih dan sukacita abadi bagi semua orang dan seluruh ciptaan.

Ketaatan iman Maria dan Yusuf

Posted by admin on December 28, 2015
Posted in renungan 

Selasa, 29 Desember 2015
1John 2:3-11/Luk 2:22-25
Kisah tentang Yesus yang dibawa dan dipersembahkan di Bait Allah, menunjukkan kesalehan dan ketaatan iman Maria dan Jusuf. Sebagai keluarga muda yang saleh dan taat beragama mereka menuruti tradisi Yahudi yang mewajibkan bahwa setiap anak lelaki yang membuka rahim ibunya dipersembahkan kepada Allah (Kel 13:2,12). Alasannya bahwa sebagai anak laki-laki sulung ia mewarisi hak kesulungan dan padanya diturunkan berkat, seperti kisah Isak dan anak-anaknya (Kej 27).
Setiap keluarga Kristen selalu belajar dari keteladanan Keluarga Kudus Nazaret ini sebagai model untuk membangun rumah tangga mereka. Memiliki anak adalah tanda kesuburan dalam hidup perkawinan. Keluarga Kristen adalah wadah utama dan pertama untuk mengapresiasi dan merawat rahmat kesuburan itu dalam diri anak-anak. Ketika baru lahir ada rasa haru dan suka cita oleh suara dan tangisan pertama seorang anak. Ketika belum membuka mata, anak itu diterima dengan kehangatan hati ibunya disertai kecupan pertama dan suara kasih orang tua. Demikian juga sanak keluarga dan para sahabat ingin sekali melihat datangnya si buah hati. Di rumah pula anak untuk pertama kalinya mendengar bunyian dan melihat tanda dan gambar-gambar di sekelilingnya. Ia belajar berasosiasi dan berkomunikasi secara natural di bawah perhatian dan kasih orang tua. Yesus sendiri dirawat oleh ibu dan ayah-Nya. Dia dibawa ke rumah Allah ketika baru berumur delapan hari. Tentu sebagai bayi mungil Yesus cuman mengikuti gerak-gerik ibu-Nya. Ia pasrah dan taat total pada kasih ibu dan ayah-Nya. Karena ibu dan ayah-Nya taat beriman, Yesus dibawa dan dipersembahkan kepada Tuhan. Yesus dirawat dan dibesarkan menurut iman dan suara hati orang tua-Nya. Suara hati seseorang adalah suara Roh yang bekerja dalam hati, menggerakkan, memelihara dan mencipta. Ketika seorang anak dipermandikan, anak itu dikuduskan, artinya ia disatukan dengan Tuhan melalui sakramen permandian. Ketika anak itu sudah besar ia akan meniru dan mengikuti warisan iman orang tuanya.
Keluarga beriman Kristen sejak awal sudah disatukan dan dikuduskan dengan dan dalam Roh Kristus sendiri, dan anak-anak yang lahir harusnya hidup dalam iman dan kesalehan serta tanggung jawab yang diturunkan orang tuanya.
Karena itu, panggilan khusus setiap keluarga Kristen adalah untuk berpartisipasi dalam merealisasikan misi Kristus sendiri, yakni agar “kehendak Bapa” dikenal dan dicintai oleh setiap orang beriman. Simeon menyebutnya sebagai “nasib” yang menentukan: “my own eyes have seen the salvation which you prepared in the sight of every people, a light to reveal you to the nations and the glory of your people Israel.”
ketaatan-iman

Menjadi Anak Pengungsi

Posted by admin on December 27, 2015
Posted in renungan 

Senin, 28 Desember 2015
1John 1:5-2:2/Mat 2:13-18
Pesta kanak-kanak suci hari ini didasarkan pada kisah tentang penampakan Allah lewat mimpi kepada Yusuf untuk segera menyelamatkan anaknya dari bahaya yang serius, yakni Herodes.
Herodes mau membunuh Yesus karena ia takut dengan nubuat para nabi yang sudah lama dinanti-nantikan tentang kelahiran Putra Allah. Hal ini secara khusus diperkuat oleh tanda kelahiran-Nya melalui bintang yang menuntun ketiga raja dari timur yang datang dan menyembah-Nya. Karena merasa gusar dengan berita kelahiran Yesus, Putra Allah, ia memerintahkan pembunuhan semua anak yang baru lahir di Betlehem dan sekitarnya.
Konon, pembantaian terhadap anak-anak tak bersalah ini di kenal sebagai yang paling mengerikan karena anak-anak secara natural tidak memiliki kemampuan untuk membela diri dari serangan. Anak-anak biasanya berlindung kepada orang tua jika ada ancaman. Mereka tidak bisa lari dari bahaya. Apalagi kematian. Hanyalah ketakutan yang menyelimuti mereka. Berhadapan dengan bahaya seperti ini, apalagi yang masih bayi, satu-satunya cara untuk bertahan adalah pasrah terhadap keadaan. Paling-paling mereka menangis. Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Betapa rapuhnya anak-anak.
Melihat ancaman kematian yang mendekat, Yusuf mengambil Yesus dan ibu-Nya lari. Mimpi yang datang padanya memberitahu bahwa maut mengancam anaknya. Naluri alamiah seorang ayah adalah reaksi cepat untuk menjaga dan melindungi keluarga. Maka mimpi paling buruk seorang ayah adalah membiarkan anaknya mati tanpa kesalahan apapun. Herodes sudah memerintahkan pembunuhan. Namun mimpi itu adalah cahaya Ilahi yang menyuruhnya segera keluar ke Mesir. Hingga Herodes mati, Yesus dan keluarga-Nya tinggal di sana. Karena kisah hidup keluarga-Nya seperti ini, Yesus juga dikenal sebagai seorang pengungsi.
Salah satu episode awal hidup Yesus di atas memberi inspirasi untuk merenungkan hidup kita sendiri.
Pertama-tama, teks ini membangkitkan memori kita untuk selalu bersyukur atas hidup yang sudah Tuhan berikan. Syukur atas keluarga kita masing-masing yang melahirkan, merawat dan membesarkan kita. Tuhan merawat dan membesarkan kita lewat tangan kasih orang tua kita masing-masing. Ada mimpi-mimpi yang baik yang kita alami dan simpan di dalam hati kita, tapi juga ada mimpi buruk yang pernah mengancam hidup kita. Kita yakin bahwa ada maksud dan rencana baik Tuhan di balik semuanya ini. Dalam iman kita mendekatkan diri dan memasrahkan lagi kepada Tuhan yang lebih mengenal dan mengetahui jalan hidup kita ke depan. “Allah itu terang, dan di dalam Allah tidak ada kegelapan sama sekali.”
Kedua, insting Ilahi. Yusuf peka akan bisikan Ilahi lewat mimpi. Inilah yang kita kenal sebagai hidup dalam iman. Dalam gelap masih ada cahaya di ujung sana. Yusuf mengajarkan kepada kita kesetiaannya dalam merawat Yesus. Ada kepekaan untuk mendengarkan dan mengenal  suara Tuhan dalam diri kita masing-masing-masing. Sarana untuk itu adalah suara hati, lewatnya Tuhan berbicara dan mengingatkan kita untuk memilih yang baik dan menolak yang jahat. Suara hati adalah sarana komunikasi yang paling natural sekaligus Ilahi.
Ketiga, seperti Yesus, kita juga hidup dalam pengungsian. Kita lahir ke dalam dunia untuk sementara waktu. Dunia kita yang sesungguhnya ialah dunia yang dijanjikan Allah ketika kita masing-masing akan kembali dan hidup dalam rumah surgawi, rumah Ilahi Allah sendiri. Pengungsian kita yang sementara di atas dunia ini, adalah kesempatan yang baik untuk berbuat baik. Para pengungsi biasanya lari meninggalkan kampung halaman dan tanah air mereka untuk menghindari ancaman dan mendapatkan tempat perlindungan yang lebih baik. Yesus pun demikian. Ia pernah mengungsi di negeri orang. Mereka diterima di wilayah yang sama sekali baru. Ia menjadi pendatang bersama keluarga-Nya. Menjadi pendatang di negeri orang tidak gampang. Pasti susahnya. Tidak kenal orang. Harus belajar menyesuaikan diri dengan budaya dan tempat baru. Sebagai keluarga beriman, orang tuanya harus pandai dalam membawa dan menghayati iman di wilayah yang mayoritasnya tidak seiman dengan mereka. Lagi belum tentu para penduduk di situ mengucapkan selamat datang. Karena itu hidup para pendatang sungguh bergantung pada kedermawanan hati orang-orang yang sudah menetap di situ. Kedatangan mereka bisa diterjemahkan sebagai ancaman yang membawa krisis dan ketidaknyamanan bagi penduduk lokal. Akan tetapi kehadiran para pendatang juga bisa menjadi berkat.
Kisah pengungsian Yesus dan keluarganya adalah satu contoh dari ribuan bahkan jutaan keluarga yang sedang mengungsi saat ini. Yesus bertumbuh dan menjadi besar dengan melewati sebuah masa kanaknya di tempat pengungsian. Akan tetapi Ia kemudian menjadi pembawa berkat Allah, bukan hanya bagi bangsa-Nya tapi juga dan terutama bagi bangsa-bangsa lain, dan seluruh umat manusia. Ia bahkan akan menjadi hakim bagi keadilan atas bangsa-bangsa. Dalam daftar yang memuat kriteria-kriteria pengadilan Ilahi atas seluruh bangsa, Yesus menguraikan apa yang diperkenalkan-Nya kepada kita sebagai  ‘corporeal works of mercy’ atau syarat-syarat untuk menjadi murid-Nya seperti tercantum dalam Matius 25: “For I was hungry and you gave me food, I was thirsty and you gave me drink, a stranger and you welcomed me, …”
anakpengungsi

Pengalaman Pribadi Romo Sulis OCarm dalam edisi Khusus Natal 2015

Posted by admin on December 27, 2015
Posted in renungan 

Natal bagiku adalah sebuah kelahiran kembali. Pertama-tama kelahiran Allah dalam diri seorang anak kecil yang ke 2015. Namun lebih dari pada itu, Natal adalah sebuah kelahiran bagiku dan seisi keluarga besarku. Ya, memang demikian adanya. Aku bisa mengatakan demikian karena di saat Natal tahun 2013 yang lalu, ayahku pulih kembali dari koma yang ia alami. Selama dua bulan ia berada di ICU rumah sakit Panti Rapih Jogjakarta. Dokter telah angkat tangan dan menyatakan bahwa tak ada lagi harapan bagi beliau untuk sembuh. Kami semua yang menerima kabar ini telah berunding bersama, siapa yang akan menyiapkan rumah kami untuk menerima layon (jenazah) Bapak, siapa yang akan mengurusi konsumsi bagi para pelayat, dan lain sebagainya. Namun di tengah kekalutan itu Bapak “lahir kembali” setelah dalam komanya ia mendengar lagu Nderek Dewi Maria yang dinyanyikan oleh kakakku. Sungguh sebuah mujizat. Ternyata mujizat tidak perlu lewat hal-hal yang besar, bahkan lewat lagu sederhanapun, bila itu diungkapkan dengan tulus, jujur dan penuh harapan mendatangkan sebuah mujizat bagi kita.

Karena mujizat Natal ini, maka Bapak yang kini telah pulih kesehatannya mengharapkan kami semua anak cucunya untuk berkumpul tiap hari Natal. Kami yang telah melihat mujizat ini sungguh mengiyakan keinginan Bapak. Kami mau berkumpul bersama pertama-tama untuk merayakan kebersamaan kami sebagai sebuah keluarga dan sekaligus merayakan kelahiran Tuhan yang sungguh nyata dalam keluarga kami. Satu hal lagi yang mau kurayakan secara personal dalam setiap perayaan Natal. Apa yang mau kurayakan ini adalah kesederhanaan baik iman, pikiran maupun tindakan seorang perempuan yaitu Maria. Iman Maria serta kesederhanaannya sungguh kulihat dalam diri ibuku, Bernadeta Warsinem. Karena iman ibu yang sedemikian kuat maka kami anak-anaknya punya kepercayaan yang kuat pula bahwa Bapak akan sembuh. Iman inilah yang telah menjelma dalam kenyataan, yaitu mujizat Natal. Natal bagiku bukan sebuah pesta meriah, namun pesta iman, pesta kelahiran kembali.

Tak banyak yang kami lakukan saat kumpul bersama. Kami hanya sekedar kumpul, sharing, masak, dan makan bersama. Namun kebersamaan inilah yang selalu aku rindukan karena dalam kebersamaan inilah kutemukan aura kuat kasih dan damai. Kasih dan damai inilah yang telah menyatukan kami sebagai sebuah keluarga. Aku pun berharap agar banyak orang dapat merasakan seperti apa yang kami rasakan, yaitu kebersamaan, kasih dan damai.

Translate »