Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Habis Gelap, Terbitlah Terang!

Posted by admin on February 28, 2020
Posted in renungan 

Sabtu setelah Rabu Abu

Yes 58:9b-14; Luk 5:27-32

Saudara-saudariku, menjalani masa prapaskah, yang merupakan retret agung masa pertobatan, kita diajak untuk menyadari kesalahan-kesalahan atau ‘masa gelap’ kita di hadapan Allah. Sebagaimana diungkapkan dalam bacaan pertama bahwa Bangsa Israel terjebak dalam kondisi yang merasa diri benar, lalu menilai benar tidaknya orang lain berdasarkan penilaiannya sendiri. Mereka juga mengira bahwa dengan melakukan ritual keagamaan di hadapan Allah, maka mereka boleh mengabaikan dan tidak peduli dengan sesama. Maka dengan tegas, Tuhan menyatakan mereka bersalah dan berdosa! Allah, melalui mulut Yesaya bersabda, “Apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas, maka terangmu akan terbit dalam gelap.” 

Bangsa Israel terjebak dalam kondisi kemunafikan dan tidak memahami kehendak Allah. Segala tindakan mereka hanya untuk kepentingan diri sendiri, bukan untuk orang lain.  Inilah ‘masa gelap’ Bangsa Israel yang bisa juga menjadi ‘masa gelap’ kita. Bangsa Israel lupa, Allah memanggil mereka sebagai umat-Nya untuk menjadi berkat bagi banyak orang. 

Saudara-saudariku, bacaan-bacaan Ekaristi setelah Rabu Abu berisikan ajakan untuk bertindak konkret yang dilandasi oleh kasih kepada Allah dan sesama. Bacaan-bacaan itu memanggil kita untuk meninggalkan pola-pola hidup lama ke pola hidup baru. Panggilan meninggalkan pola hidup lama ke pola hidup yang baru hanya dapat kita jalani bila hidup kita menjadi sebuah perayaan tobat dan wujud cinta akan Tuhan. Hanya dengan menjadikan tobat sebagai sebuah perayaan, perjalanan jatuh bangun memikul salib selalu akan kembali menjadi langkah pertama menuju pembaharuan hidup. 

Pembaharuan hidup itulah yang dikisahkan dalam Injil hari ini. Yesus memanggil seorang pemungut cukai bernama Lewi, yang dianggap sebagai orang buangan dan orang yang berada di luar batas kemurahan Tuhan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang dikecualikan dari misi Yesus. Setiap orang punya tempat, semua dipanggil. Seperti halnya Lewi, penting untuk meninggalkan cara hidup yang lama dan kemudian bangkit dan mengikuti Dia. Ini tentunya membutuhkan rahmat Tuhan, tetapi juga respon manusia.

Percayalah, Tuhan akan menuntun kita dan membarui kekuatan kita.

Berpuasa: Membuka Belenggu Kelaliman

Posted by admin on February 27, 2020
Posted in renungan 

Hari Jumat setelah Rabu Abu

Yes. 58:1-9a; Mat. 9:14-15

Saya hendak memulai permenungan hari ini dengan seruan Tuhan melalui Nabi Yesaya dalam bacaan pertama pada hari ini. “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah engkau harus membuka belenggu-belenggu kelaliman.” Dalam injil, Yesus menyerukan hal yang sama dalam merespon pertanyaan murid-murid Yohanes yang mengatakan, “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” 

Saudara dan saudariku, puasa yang dikehendaki Allah bukan sekedar menahan diri untuk tidak makan dan minum atau sekedar menjalankan hukum agama. Pantang dan puasa yang kita jalankan diharapkan tidak hanya berciri batiniah dan individual, tetapi hendaknya berciri lahiriah dan berdampak sosial. Dengan kata lain, melalui tindakan nyata dan sederhana yang kita lakukan kepada sesama, orang bisa melihat dan mengalami betapa baiknya Allah yang kita imani.

Di sekitar kita masih banyak orang yang TERBELENGGU. Di sini saya berbicara bukan hanya soal kemiskinan dalam arti tidak bisa makan dan minum, berpakaian, dll. Tetapi saya berbicara tentang masih banyaknya orang terbelenggu oleh nilai-nilai, gaya hidup duniawi dalam masyarakat, banyaknya aturan yang tidak adil yang menyebabkan mereka tidak bisa bergerak dan merdeka, serta pribadi-pribadi mereka kurang dihargai. Contohnya, pola pikir dan gaya hidup yang dipengaruhi oleh konsumerisme. Konsumerisme telah melahirkan pola pikir tentang hakekat dan martabat manusia, yakni manusia dinilai berdasarkan kemampuannya untuk memiliki dan bukan karena keberandaannya sebagai manusia. Maka, mereka yang memiliki sumber-sumber ekonomi dapat memuaskan keinginan-keinginan pribadi, karena mereka memiliki kemungkinan untuk memilih. Tetapi, mereka yang tidak memiliki sumber-sumber ekonomi tidak dapat memilih dan mereka dianggap sebagai warga kelas dua.

Ijinkan saya mengutip Surat Gembala Prapaskah 2020 dari Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC., dengan tema: Hidup Bermartabat dan Bersahabat, “Dengan bermatiraga, berdoa dan bekerja, serta berkorban, kita bertekad membangun kehidupan ekonomi yang bermartabat. Pada masa Prapaskah ini, kita disadarkan akan kemurahan Allah yang harus menjadi tolok ukur tindakan ekonomi kita. Semoga dengan berdoa, kita makin gigih bekerja mewujudkan kehendak Allah. Dengan pantang dan puasa, kita makin teguh dalam bermatiraga dan berkorban demi kebaikan bersama. Dengan amal dan kasih, kita makin mampu berbagi apa yang telah Tuhan percayakan kepada kita. Marilah kita hidup kudus dan bermartabat di hadapan Tuhan serta hidup damai dan bersahabat dengan sesama.”

Saudara-saudaraiku, bacaan-bacaan hari ini membantu kita untuk mengerti dan memahami bahwa berpuasa dan berpantang itu berarti mengasihi Tuhan dan sesama. Puasa merupakan kesediaan hati untuk bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah. Dengan kata lain, kita mau berpantang dan berpuasa pertama-tama karena kita mau menunjukkan kasih kita kepada Tuhan, bukan karena kita mau ikut-ikutan atau karena merasa diwajibkan oleh Gereja. Allah tidak menginginkan pantang dan puasa yang kita jalani menjadi semangat egosentris agar orang melihat betapa sucinya kita. Dalam kotbah di bukit Yesus mengatakan, “Hati-hatilah, jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat. Karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.” (Mat 6:16).

Menomorksatukan Kehendak Allah

Posted by admin on February 26, 2020
Posted in renungan 

Hari Kamis sesudah Rabu Abu 

Ul. 30:15-20; Luk. 9:22-25

Kata Yesus kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” Kata-kata Yesus mengungkapkan dengan sangat jelas mengenai tanggung jawab personal dalam mengikut Dia. Setiap orang punya tanggung jawab untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Yesus. Injil hari ini menyampaikan suatu pilihan yang luar biasa. Yesus mengajak kita untuk menomorsatukan kehendak Allah. 

Kita semua tentu masih memiliki ingatan segar tentang penerimaan abu kemarin. Rabu Abu yang adalah penanda dimulainya masa prapaskah, yakni masa untuk membina semangat tobat dengan mengajak kita untuk lebih rajin mendengarkan Sabda Allah dan berdoa sehingga kelak pada waktunya kita siap merayakan Misteri Paskah.  Kitab Ulangan dalam bacaan pertama memerintahkan kepada Bangsa Israel, “……… karena pada hari ini aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan dan peraturan-Nya, supaya engkau hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh TUHAN, Allahmu, di negeri ke mana engkau masuk untuk mendudukinya.”

Sama seperti Israel harus memilih, kita pun diminta untuk memilih, “Tetapi jika hatimu berpaling dan engkau tidak mau mendengar, ………. maka aku memberitahukan kepadamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu akan binasa.” (Ul. 30:17-18). Yesus menghendaki kita mengikuti Dia, meneladani hidup-Nya yang memuliakan Allah.  Dalam masa pertobatan ini, mari kita bertanya pada diri kita masing-masing: Adakah kebiasaan, kecenderungan dan sikap dalam hidup kita yang harus kita tinggalkan dan ubah demi memilih untuk mengikuti Yesus?

Tuhan memberkati niat dan usaha-usaha kita untuk menjalani pertobatan ini.

Rabu Abu

Posted by admin on February 25, 2020
Posted in renungan 

Yoel 2:12-18; 2Kor 5:20-6:2; Mat 6:1-6. 16-18

Hari ini, kita umat Katolik menerima abu yang ditaburkan di kepala atau di dahi dibarengi kata-kata, “Bertobatlah dan percayalah pada Injil.”  Rabu Abu menandai dimulainya Masa Prapaskah yang akan berlangsung selama empat puluh hari. Di dalam Kitab Suci kita dibantu untuk mengerti bahwa abu adalah tanda pertobatan. Kita juga diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah. Sebab itu kita menggunakan Masa Prapaskah untuk membina semangat tobat dan lebih rajin mendengarkan Sabda Allah sert berdoa sehingga siap merayakan Misteri Paskah.  

Untuk membina semangat dan sikap tobat, dalam renungan kali ini saya mengutip beberapa bagian dari Surat Gembala Prapaskah 2020 dari Uskup Bandung, Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC., yang bertemakan: Hidup Bermartabat dan Bersahabat. Pertama, kita diajak untuk bermatiraga dengan melawan kecenderungan manusiawi untuk mencari yang gampang dan menyenangkan tanpa mempertimbangkan apakah tindakannya merugikan sesama atau merusak lingkungan alam; dengan menyangkal keinginan nafsu yang bisa berakibat merusak keutuhan ciptaan dan mengganggu kedamaian bersama; serta dengan mengalahkan kehendak egois yang merongrong keselamatan bersama dan mencemarkan kemuliaan Tuhan. Matiraga dijalankan, seperti Sabda Yesus, dengan cara “Jangan kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu.” (Mat 5: 39). Dengan demikian, matiraga menjadi jalan pertobatan pribadi sekaligus pintu pengampunan bagi sesama yang berbuat jahat.

Kedua, Kita diajak untuk makin banyak berdoa dan melakukan yang baik dan benar bagi mereka yang berbuat jahat. Kalau makin dekat dengan Allah, orang makin bersahabat dengan sesama. Jika makin banyak berdoa, orang makin giat berbuat baik dan makin bebas berbelaskasih. Doa dan perbuatan baik kita tidak ditentukan oleh sikap orang lain, melainkan lahir dari hati yang tertuju pada Allah yang murah hati dan penuh belaskasih. Itulah jalan menuju kekudusan pribadi sekaligus pintu belaskasih bagi sesama yang bersalah dan berdosa.

Ketiga, kita diminta untuk rela berkorban tanpa pamrih dengan tidak mengharapkan balasan, tetapi hidup tulus dan lurus sesuai dengan dorongan Roh Kudus.  Itulah tindakan dan cinta Allah yang begitu besar pada manusia dengan mengutus Putera Tunggal-Nya ke dunia agar setiap orang yang percaya kepada-Nya diselamatkan. Itulah pemberian diri Allah yang sempurna bagi manusia.  Itulah cara untuk meningkatkan martabat sebagai anak Allah yang sekaligus menjadi jalan untuk memulihkan martabat manusia dan keutuhan ciptaan.

Selain diajak bertobat, pada hari ini kita diingatkan juga untuk berpuasa dan berpantang. Tindakan ini juga merupakan bagian dari usaha kita untuk bertobat. Kesediaan kita untuk berpuasa dan berpantang, menunjukkan juga keseriusan kita untuk mau bertobat dan kembali kepada Allah. Penggalan Injil yang dibacakan pada hari Rabu Abu mengatakan, “Hati-hatilah, jangan sampai melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat. Karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di surga.”  Sabda Tuhan hari ini mengoreksi egoisme dan kesombongan kita dalam hal melakukan sebuah perbuatan baik. 

Doa yang Salah?

Posted by admin on February 24, 2020
Posted in renungan 

Masa biasa VII, Selasa, 25 Februari 2020 

Yakobus 4:1-10; Markus 9:30-37

“Kalian berdoa, tetapi tidak memperoleh apa-apa, karena kalian salah berdoa!” demikian kata-kata Rasul Yakobus dalam suratnya. 

Doa yang salah? Mungkin itulah pertama-tama pertanyaan yang muncul dalam benak kita ketika mendengar bacaan pertama hari ini. Pernahkah anda merasa salah berdoa? Apa artinya doa yang salah? Sebenarnya Rasul Yakobus sendiri sudah memberikan jawaban secara gamblang dalam suratnya tersebut, “Sebab yang kalian minta akan kamu gunakan untuk memuaskan hawa nafsu.”

Saudaraku, ternyata sikap seseorang dalam berdoa juga sangat menentukan.  Hal ini berkenaan dengan hati kita. Maka, kita butuh untuk memiliki sikap hati yang benar dalam berdoa.  Kita harus ingat bahwa berdoa itu bukan hanya mengucapkan perkataan-perkataan yang teratur di hadapan Tuhan, melainkan suatu pernyataan dari tubuh, jiwa dan roh kita kepada Tuhan. Itu semua harus lahir dari kerendahan hati. Mengapa kita harus memiliki kerendahan hati?

Mengutip pernyataan para ahli tafsir kitab suci bahwa balam bahasa Yunani kerendahan hati dituliskan dengan kata ‘praios’ yang berarti juga lemah lembut. Seseorang yang memiliki kerendahan hati bisa diartikan adalah seseorang yang memiliki penyerahan atau ketergantungan total kepada Tuhan. Tanpa kerendahan hati perjalanan kita sebagai murid-murid Kristus akanlah sia-sia. 

Itulah yang dialami para murid Yesus dalam injil hari ini. Absennya kerendahan hati diantara mereka menyebabkan mereka bertengkar dan memperebutkan siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka hanya berpikir mengenai rencana-rencana dan ambisi mereka semata: siapa yang terbesar diantara mereka! Padahal Yesus baru saja menjelaskan kepada mereka mengenai tujuan kedatanganya ke dunia, yakni bahwa anak manusia harus menderita bahkan dibunuh. Hawa nafsu mereka menutup mata hati mereka akan misi Yesus di dunia ini. 

Allah perlu memberi kita kasih karunia supaya kita menjadi rendah hati. Dengan kerendahan hati itulah kita bisa berdoa yang benar di hadapan Allah. Dan dengan kerendahan hati yang sama kita dipanggil menjadi murid-murid Yesus. Mari kita mohonkan dalam doa-doa kita kasih karunia untuk kerendahan hati guna menjadi murid Yesus yang mampu melayani Allah dan sesama.

Translate »