Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Mengatasi Kelemahan Diri

Posted by admin on August 30, 2020
Posted in renungan 

Bacaan 1  Kor 2: 1-5

Ada sebuah perubahan dalam setiap orang yang mengikuti Yesus. Para martir Gereja menjadi contoh bagaimana mereka menjadi orang yang mau mengurbankan hidup dan menjadikan diri mereka teladan dan kurban. Itulah salah satu cara mengatasi kelemahan diri.

Surat Paulus hari ini mengisahkan perubahan diri Paulus saat ia mewartakan injil di kota Korintus. Dia menyadari kalau orang-orang Korintus memuja kehormatan, kuasa, dan intelektual. Mereka menghormati orang cerdik pandai dan terpandang. Paulus tidak ingin terbawa dalam pengharapan mereka yang palsu.

Sejak awal surat, Ia menyatakan kalau datang ke Korintus tidak dengan kata-kata indah atau hikmat manusia. Paulus menghadirkan diri sebagai orang yang lemah, gentar dan takut datang ke kota Pelabuhan Korintus yang masyur. Ia ingin mengatasi kelemahan dirinya dalam pewartaan.

Paulus memilih hadir sebagai orang yang mengandalkan kekuatan Allah agar pewartaannya tidak tergantung pada kekuatan manusiawi, namun seluruhnya tergantung pada rahmat Allah.

Kebesaran hati Paulus untuk mengakui diri menjadi contoh bagaimana dia mengembangkan semangat ketergantungan pada Tuhan dalam karya. Ada dua sisi transformasi kehendak Paulus dalam bacaan hari ini. Pertama, ia berani mengambil resiko untuk melakukan pelayanan walau sadar akan kelemahan diri. Kedua, Paulus memiliki ketabahan, daya juang, serta kemampuan untuk mengatasi ketakutan. Ia yakin bahwa usahanya akan disertai dengan banyak tantangan dan derita. Pengalaman pewartaannya membawa dia pada penyerahan yang mendalam di tangan Allah sendiri.

Hal itu pula yang dikatakan santa Teresa Avila bahwa lebih besar dibutuhkan kehendak untuk bertahan dalam doa dari pada mati sebagai martir. Artinya, kehendak untuk setia, tahan menghadapi kebosanan, rasa malas merupakan bagian dari pelatihan diri untuk menggapai kesucian.  Hanya rahmat ALlah yang kita butuhkan untuk mengatasi kelemahan pribadi, serta kehendak kuat untuk berubah.

Stumbling Stone

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 30, 2020
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

22nd Sunday in Ordinary Time [A]

August 30, 2020

Matthew 16:21-27

Last Sunday, we listen to the confession of Peter on the true identity of Jesus. Here, Simon received a new name, the keys of the kingdom and the authority to bind and to loosen. He became the prime minister of the kingdom, the first pope. However, today, we witness the dramatic turn around. When Jesus foretold about His incoming passion, Simon reactively put his Master aside, and rebuked Him. As a response, Jesus expressed harshly,
“Get away behind me, Satan! You are a stumbling stone to me!”

Last episode, Simon was Peter, and today, Simon is “Satan.” Last week, Simon was the foundational rock, and today, Simon is the stumbling stone. Previous story, Simon was inspired by the Holy Spirit, and now, he is thinking his self-interest.

To call Simon that he was “Satan” is unexpected, but not uncalled-for. Perhaps Jesus would like to point out that Peter’s action was influenced by the devil himself.  Often, we think that the evil spirits influence us in the case of diabolic possessions, but in reality, diabolic possessions are an extraordinary way of attacking us. There is an ordinary way: it is through temptations and inducing ideas that oppose to the plan of God. The real battle takes place not so much in the possession of our bodies, but of our minds and souls.

Peter is also called as the stumbling stone, and in Greek, it is “scandalon.” Last Sunday, he was given a new identity, Peter, the foundation rock, but now, he turns to be a stumbling stone. Both are stone, but two opposing purposes. The foundation rock is to support the Church and God’s will, but the stumbling stone is to stop or at least, to obstruct and slow down God’s will. Jesus has set his eyes on Jerusalem, to offer His life as sacrifice on the cross and gloriously rise from the death. Yet, Simon, the stumbling stone, tried to oppose and prevent Jesus from fulfilling His Father’s will. Interesting enough, the word “Satanas” in Greek, may mean ‘the adversary.’  Simon becomes the adversary against Jesus’ mission.

Last week, I reflect on the mission of Simon Peter and how we become little Peters as God calls us for particular vocation and service despite our unworthiness. However, Jesus tells us that the real hindrance to our mission is not our weakness and unworthiness, but our selfish interest and agenda. Instead saying, “Your will be done,” we shout, “My will be done.” This is the devil’s game plan, that we put ourselves first, rather than God. Some of us are ordained priests, yet instead serving the people with dedication, we are busy to seek comfort and amass fortune for ourselves. Some of us are parents, yet instead bringing our children to God, we are preoccupied in chasing our own ambitions and careers.

Thus, Jesus makes a bold reminder, “what is the point of gaining the whole world and yet losing our souls?” At the gate of heaven, St. Simon Peter will ask us, “Have you been a stumbling stone to God’s will or have your been a foundation rock to His plan?”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

HIDUP DALAM KETULUSAN

Posted by admin on August 26, 2020
Posted in renungan 

Rabu, 26 Agustus 2020

Matius 23;27-32
Tuhan Yesus menyatakan dengan keras tentang kemunafikan kepada para
ahli Taurat dan Farisi. Mereka dipandang sebagai orang yang berpendidikan dan
ketat dalam beragama. Bagi Tuhan Yesus, yang penting soal bagaimana cara hidup
seseorang; apakah ia memiliki ketulusan, kejujuran, dan kasih? Dibalik penampilan;
yang lembut, santun, dan bijaksana, apakah ia memiliki kejujuran? “Demikian
jugalah kamu, di sebelah tampak benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu
penuh kemunafikan dan kedurjanaan.”(Mat 23:28).
Mengapa Yesus menolak kemunafikan? Karena sikap tersebut melawan
kebenaran dan merusak relasi antar manusia, dan manusia dengan Tuhan. Orang
yang munafik pada dasarnya orang yang tidak jujur dengan diri sendiri, dengan
sesamanya dan dengan Tuhan. Dengan demikian sikap tersebut seseorang tidak
menyukai kebenaran dan akan memutarbalikan apa yang ada ; yang benar menjadi
salah dan yang salah menjadi benar. Sikap munafik menghalangi seseorang untuk
bertemu dengan Tuhan. Sebab dihadapan Tuhan yang Maha Tahu, semuanya
tampak jelas, sehingga seseorang tidak bisa menyembunyikan kejahatannya. “Dan
tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala
sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus
memberikan pertanggungan jawab.”(Ibrani 4:13).
Dengan menyadari akan kebaikan dan kasih Tuhan, seseorang akan sekuat
tenaga menjaga kemurnian, kekudusan dan ketulusannya. Kemunafikan bisa
dilawan dengan kejujuran. Ketika seseorang bersikap jujur maka tidak ada yang
menghalagi kebenaran yang ada. Untuk bisa melakukannya maka diperlukan
kepercayaan pada Allah yang Maha Tahu dan kepadanya Allah berkenan. “Ketulusan
dan kejujuran kiranya mengawal aku, sebab aku menanti-nantikan Engkau.”(Mzm
25:21).
Ketika seseorang mampu mengalahkan kemunafikan dalam dirinya, maka ia
akan beroleh kedamaian dan sukacita. “Jiwaku bersukaria kalau bibirmu
mengatakan yang jujur.”(Amsal 23:16). Perjuangan seorang beriman adalah terus
menerus menyerupai Kristus. Perjuangan tersebut membutuhkan keberanian untuk
setia berusaha tulus hati dan jujur. Sebab dengan sikap tulus dan jujur seseorang
akan bisa menerima kebenaran dan dengan demikian ia bersatu dengan Allah.
Paroki St. Montfort Serawai, ditulis oleh Rm Aloysius Didik Setiyawan, CM

BERIMAN DALAM PERISTIWA-PERISTIWA NYATA KEHIDUPAN

Posted by admin on August 23, 2020
Posted in renungan 

Senin, 24 Agustus 2020
Pesta St. Bartolomeus Rasul
[Why. 21:9b-14; Mzm. 145:10-11,12-13ab,17-18; Yoh. 1:45-51]



Setiap orang memiliki rutinitas: bangun, kerja, pulang, istirahat, tidur lagi. Semua hampir sama setiap hari. Bahkan, bisa dibilang menjalani sebuah rutinitas bisa ‘di luar kepala’, karena semua sudah dilakukan berulang-ulang. Semua tampak seperti sebuah hafalan. Nah, dalam situasi yang serba teratur dan tertata, kalau tidak hati-hati, kalau tidak dihayati, dan kalau tidak dimaknai, justru menjadi sebuah alasan untuk merasa capek dan mengeluh, karena semua terasa sangat biasa, dan mungkin membosankan. Maka, tidak mengherankan, bahwa banyak orang mencoba sesuatu yang baru, untuk mengatasi kejenuhan. Namun, sebenarnya, yang terpenting adalah bagaimana membuat segala sesuatu bermakna, berkualitas dan syukur, tetap bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap peristiwa.

Hari ini Yesus berjumpa dengan Natanael dan berkata: “Karena Aku berkata kepadamu: Aku melihat engkau di bawah pohon ara, maka engkau percaya? Engkau akan melihat hal-hal yang lebih besar daripada itu.” Pergulatan hidup sehari-hari kita adalah berhadapan dengan situasi yang nyata sekaligus tidak nyata, real dan tidak real, namun Yesus mengajak kita untuk menjadi setiap peristiwa baik besar atau kecil, wah atau sederhana; sebagai sarana kehadiranNya, meski untuk bisa merasakan dan bahkan membuktikannya, tidak mudah, karena semua terasa tipis dan samar. ‘Pisau’ yang kita miliki adalah: ‘iman’, karena dengan iman, sesuatu yang ‘tak kelihatan’, menjadi sedemikian jelas dan nyata. Semoga pengalaman kecil dan remeh dalam hidup kita, bukan hanya jadi remah yang tak berarti. Bila dihayati dengan iman, maka di situlah sapaan Tuhan, tidak pernah hilang, dan justru semakin kuat dan meneguhkan.

Amin. BD.   

Yoseph Didik Mardiyanto, Pr

Paroki St. Perawan Maria Ratu Rosario Suci Katedral

Jl. Pandanaran no. 9

Semarang 50244

We Are Peter

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 22, 2020
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

21st Sunday in Ordinary Time

August 23, 2020

Matthew 16:13-20

Today’s Gospel speaks volume about the new identity and roles of St. Simon Peter as the leader of the college of the apostles, and thus, the leader of the Church. He is the chosen foundation rock upon which Jesus built His Church. He is the prime minister who holds the keys of the kingdom of God. He is the chief priest who is responsible for the Temple of God. He is the chief Rabbi whose teachings binds the entire faithful. These are the bigger-than-life privileges and one may wonder, “Among the disciples, why was he chosen? Did Jesus know that he would deny Him three times?”

Jesus’ choice is a huge mystery, yet in the final analysis, nobody is worthy to be the first pope. If we scan the Bible and try to see many vocation stories of the great leaders of Israel, we are going to see the same pattern: most of them are not worthy and great sinner. Abraham was a coward who hid behind his wife. Moses was involved in killing an Egyptian. David was committing adultery and plotting a murder of Uriah. God seems to have a penchant to choose unworthy sinner!

Yet, that is only half of the story. These great leaders possess their remarkable quality in relation to God’s mercy and love. Despite their weakness, they never lose hope in God’s grace working in them. When they fall, they learn to rise once again and allow God sustains them. This particular quality also that Simon has.

Through his life, Peter was struggling to love Jesus and to become a leader for Christ’s Church. He made few step on water, but doubted and distracted, he began to sink. He made divinely inspired statement on Jesus divinity, but right after, he prevented Jesus to accomplish His mission on the cross. Thus, Jesus called him “Satan!” He promised Jesus that he would lay down his life for Jesus, but less than twenty-four hour, he denied Jesus with curse, and ran away! Yet, despite so grave a sin, he repented, but does not despair. Compare to Judas who lost hope and killed himself in the process, Peter knew too well that there is nothing impossible for God. Indeed, the risen Christ restored his place as the leader and the shepherd of His flocks, after asking Simon’s confession of love thrice. Yet, that was not the end of the story. A tradition says that during the persecution of emperor Niro, Peter was trying to escape Rome. In his way out of the city, Peter encountered Jesus going to the opposite direction. He then asked Jesus, “Quo vadis, Domine? [where are you going, Lord?]” Jesus responded, “I am going to Rome, to be crucified again!” Hearing this, Peter ran back to Rome. True enough, he was arrested and crucified upside down.

The choice of Peter is a mystery, but also good news. We are like Simon Peter, we are chosen to be God’s people, chosen into particular role and mission, but deep in our hearts, we are not worthy and full of weaknesses. Why did God choose me to be His priest? Why did God want me to raise children for the kingdom? Why did God elect me to become His ministers? We are not sure the exact reason, but like Peter, we are also called to trust His providence, and never lose hope in midst of trials and failures, and to love even more.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »