Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

JANGAN MENGANTUK!

Posted by admin on August 31, 2018
Posted in renungan 

Jumat, 31 Agustus 2018
Andreas dari Borgo Sansepolcro

1Kor. 1:17-25; Mzm. 33:1-2,4-5,10ab,11;

Mat. 25:1-13.

JANGAN MENGANTUK!

Dalam keadaan mengantuk, dan tertidur, segala sesuatu yang pada awalnya baik, menjadi buyar dan bahkan tidak berarti. Ketika pagi hari, kadang saya bangun terlalu pagi, biasanya jam 04.00, namun karena misa pagi biasa dimulai jam 05.30, saya berpikir untuk melanjutkan tidur selama setengah jam. Namun, yang terjadi justru kebablasan dan harus mandi tergesa-gesa supaya tidak terlambat misa. Maka, saya memilih untuk mencuci atau sedikit olahraga daripada ketiduran. Ketergesa-gesaan karena ketiduran memang tidak mengenakkan, apalagi kalau menghadapi sesuatu yang sangat penting, misalnya selepas istirahat kuliah, atau menjelang nonton pertandingan sepakbola tim kesayangan. Reaksi yang pertama kali muncul biasanya adalah kecewa dan muncul rasa menyesal. Lumrah memang, namun kalau keseringan, akan menimbulkan rasa bersalah yang berlebihan.

Yang terjadi pada lima gadis bodoh, yang menanti kehadiran pengantin adalah sama, yaitu mengantuk dan ketiduran, sehingga ketika pengantin benar-benar datang, mereka tidak punya waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri dengan mengisi lampu dengan minyak. Akibatnya, mereka tidak bisa masuk ke ruang perjamuan. Mengantuk bisa kita artikan sebagai sebuah keadaan dimana kita mungkin disibukkan dengan banyak aktifitas, dan aktifitas itu justru mengalihkan perhatian kita dari ‘sang pengantin’, yaitu Kristus sendiri. Nah, belajar dari mengantuknya gadis bodoh ini, kita bisa belajar untuk tetap memberi perhatian dan fokus pada Kristus, meski hidup kita sudah dipenuhi berbagai macam aktifitas. Repot kan, kalau kita nanti tidak diperkerkenankan masuk ruang perjamuan abadi di surga? Maka, jangan mengantuk ya?!

Selamat pagi, selamat beraktivitas.

BIJAKSANA MENANTI ALLAH

Posted by admin on August 29, 2018
Posted in renungan 

Kamis, 30 Agustus 2018

[1Kor. 1:1-9; Mzm. 145:2-3,4-5,6-7; Mat. 24:42-51]

BIJAKSANA MENANTI ALLAH

Saya termasuk orang yang suka kalau kamar bersih dan rapi. Meski tidak setiap hari, saya berusaha membersihkan kamar dan menata barang-barang di kamar, sehingga saya tetap merasa nyaman berada di dalam kamar. Selain itu, kalau ada orang yang datang berkunjung ke kamar, selalu ada harapan bahwa mereka betah berada di kamar saya. Namun, di saat-saat tertentu, entah karena tidak sempat membersihkan atau karena memang sedang banyak pekerjaan, kadang kebersihan dan kerapian kamar, luput dari perhatian. Nah, tempo hari, entah angin apa, Romo Rektor tiba-tiba lewat di depan kamar, dan kamar juga dalam keadaan terbuka. Mungkin beliau sedang punya urusan dengan beberapa teman saya, sehingga harus ke unit. Namun, waktu itu, kamar saya juga sedang berantakan, tapi untungnya tidak ada komentar yang keluar dari beliau, atau dibatin mungkin. Yang jelas, makna rohaninya: perlu untuk setiap hari membersihkan kamar, sesempat-sempatnya, karena kita tidak pernah tahu akan saat dan waktunya.

Seperti seorang yang berusaha untuk membersihkan kamar setiap hari, demikian pula lima gadis yang bijaksana yang senantiasa ‘siap-siaga’ untuk bersiap diri menanti kehadiran pengantin. Sesuai sifat mereka yang bijaksana, mereka berprinsip: ‘sedia payung sebelum hujan’. Kebijaksanaan membuat mereka siap untuk menyambut pengantin yang tiba-tiba datang, dan mereka bisa masuk ke tempat perjamuan nikah. Bukankah kita demikian, terkadang! Terlalu sibuk untuk melakukan banyak hal, namun lupa melakukan hal-hal yang penting. Terlalu banyak berkata-kata, namun lupa untuk menggunakan kesempatan dalam hidup kita untuk berbuat baik dan menolong orang lain. Kebijaksanaan membuat kita tahu prioritas hidup kita beserta cara untuk mempersiapkannya, sehingga hidup kita pun selalu dekat dengan kemuliaan Allah, dan bukan seperti gadis-gadis yang bodoh tadi, yang harus menunda kesempatan itu, hanya karena kecerobohan dan kedunguan mereka. Semoga kita menjadi bijaksana dalam menyikapi hidup.

Selamat pagi, selamat mempersiapkan diri dalam segala sesuatu. GBU.

HINDARI KATA-KATA DAN JANJI-JANJI YANG TAK PERLU!

Posted by admin on August 29, 2018
Posted in renungan 

Selasa, 29 Agustus 2018
Peringatan Wajib Wafatnya St. Yohanes Pembaptis
[Yer. 1:17-19; Mzm. 71:1-2,3-4a,5-6ab,15ab,17; Mrk. 6:17-29]

HINDARI KATA-KATA DAN JANJI-JANJI YANG TAK PERLU!

Ya maklum asrama laki-laki, jadi banyak kesenangan dan kegemaran
‘khas’ laki-laki yang kami lakukan di sini. Mulai dari olahraga,
nonton sepakbola, pelihara burung, sampai guyonan dan candaan yang
terlontar di antara kami. Nah, salah satu yang menarik, kami kadang
suka taruhan setiap kali ada pertandingan sepakbola yang melibatkan
tim-tim kesayangan kami. Taruhannya tentu sederhana, paling tidak
lebih dari segelas susu jahe atau semangkuk mie ayam. Itu sudah sangat
cukup. Nah, suatu hari, ada teman saya yang begitu yakin bahwa tim
kesayangannya akan menang, dan dia mengajak taruhan beberapa teman
sekaligus. Teman-teman saya pun mengiyakan, dan ternyata teman saya,
yang merasa yakin bahwa tim kesayangannya akan menang, justru kecewa,
karena jagoannya kalah. Dan tentu saja, konsekuensinya, dia harus
‘membayar’ taruhan itu kepada beberapa teman sekaligus. Mengucapkan
janji mudah, tapi melaksanakannya itu sulit. Maka, hati-hati
menggunakan mulut untuk mengumbar janji!

Kisah tentang Herodes, yang sudah terlanjur kadung janji kepada anak
perempuan Herodias, yang menari untuknya dan tamu-tamunya. Dan, anak
perempuan Herodias, yang tentu saja sudah dihasut Herodias, tak
disangka meminta kepala Yohanes Pembaptis. Herodes tentu sedih, karena
sudah terlanjur mengagumi Yohanes Pembaptis, tapi apa daya karena dia
mesti menepati janjinya kepada anak perempuan Herodias. Terbukti benar
bahwa: mulutmu harimaumu! Kita sebagai manusia, jangan mudah untuk
mengumbar janji, apalagi sekiranya jika tidak mudah untuk menepatinya
bagi orang lain, karena kalau tidak bisa melaksanakan sebuah janji,
maka rasanya akan kecewa dan sedih tak berkesudahan. Semoga pengalaman
Herodes menjadikan kita semakin sadar untuk menjaga mulut kita dari
ucapan dan janji yang tidak perlu, karena sebenarnya orang yang
bijaksana dan rendah hati adalah mereka yang pandai menjaga ucapan dan
perkataannya.

Selamat pagi. Berkah Dalem. God Bless You.


*-Yoseph Didik Mardiyanto-*

Faith and Suffering

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 25, 2018
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Twenty-First Sunday in Ordinary Time

August 26, 2018

John 6:60-69

 

“Master, to whom shall we go? You have the words of eternal life (Jn. 6:67).”

 

In our today’s Gospel, Simon Peter and other disciples are facing a major crossroad: whether they will believe in Jesus’ words and they need to consume Jesus’ flesh and blood as to gain eternal life, or they will consider Jesus as insane and leave Him. They are dealing with hard and even outrageously unbelievable truth, and the easiest way is to leave Jesus. Yet, amidst doubt and lack of understanding, Peter’s faith prevails, “Master, to whom shall we go? You have the words of eternal life (Jn. 6:67).” It is faith that triumphs over the greatest doubt, a faith that we need also.

 

I am ending my clinical pastoral education at one of the busiest hospitals in Metro Manila. It has been a truly faith-enriching and heart-warming experience. I am blessed and privileged to minister to many patients in this hospital. One of the most memorable and perhaps faith-challenging encounter is with Christian [not his real name].

 

When I visited the pediatric ward, I saw a little boy, around six years old, lying on the bed. He was covered by a thin blanket and seemed in pain. Then I talked to the watcher who happened to his mother, Christina [not her real name]. She told me that the dialysis did not go well and he had a little fever. As the conversation went on, I discovered that Christian was not that young. He was actually 16 years old. I did not believe my eyes, but the mother explained that it was because his kidneys shrank to the point of disappearing, and because of this terrible condition, his growth stopped, and his body also shrank. Christian has undergone dialysis for several years, and due to recurrent infections, the hospital has been his second home. Christina herself lost his husband when he died several years ago, and stopped working to take care of Christian. The older sister of Christian had to stop schooling and worked to support the family.

Looking at Christian, and listening to Christina, I was hurt, and I was almost shedding tears. Despite my long theological formation, I cannot but question God. “Why do You allow this kind of terrible suffering to an innocent little man? Why do you allow his life and future be robbed by this illness?” My faith was shaken. Then, I was asking Christina how she was able to deal with the situation. She shared that it was really difficult, but she has accepted the condition, and she continues to struggle to the end because she loved Christian. I was also asking her what made her strong, and I cannot forget her answer. She said that she was strong when she saw little Christian’s smiles, and she felt his simple happiness.

 

Right there and then, through Christina, I felt God has answered my questions and doubts. It is true that terrible things happen, but God never leaves us. He was there in Christian’s simple smiles. He was there in little acts of love from Christina for her son. It is true that life is full of incomprehensible sufferings and heart-breaking moments, like the loss of loved ones, the broken relationships, the health and financial problems, and perhaps the recent revelation of sexual abuses done by many Catholic priests in the US. These can trigger our anger and disappointment towards God. We shall remain angry, confused and lost if we focus on the painful reality, but God is inviting us to see Him in simple and ordinary things that bring us comfort, strength, and joy. If Jesus calls us to have faith the size of mustard seed, it is because this kind of faith empowers us to recognize God in simple and ordinary things of our lives.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Dipanggil Untuk Melayani

Posted by admin on August 24, 2018
Posted in renungan 

Sabtu, 25 Agustus 2018, P Fak. St. Louis dari Prancis

Bacaan I               : Yehezkiel 43: 1-7a

Injil                         : Matius 23: 1-12

 

Dipanggil Untuk Melayani

 

Dalam sabdaNya yang kita dengarkan hari ini, Tuhan kita Yesus Kristus menyatakan bahwa barang siapa terbesar di antara kalian hendaklah dia menjadi pelayan bagi semuanya”. Apa yang dikatakan oleh Tuhan ini sungguh terbalik dengan pola pandang kebanyakan orang. Seorang pemimpin adalah orang yang diagungkan, dihormati dan selalu dilayani; namun bagi Yesus justru sebaliknya, seorang pemimpin adalah seorang pelayan. Namun bagaimanakah seorang pemimpin bisa melayani orang-orang yang ia pimpin, apakah hal ini dapat terjadi? Tentu saja bisa terjadi. Dalam dunia kita saat ini masih ada banyak pimpinan yang mau mendengarkan keluhan para bawahannya, masih banyak juga yang bertindak adil terhadap orang-orang yang ia pimpin, masih ada juga yang mau hidup setara dengan mereka yang ia pimpin. Seorang pimpinan bisa melayani orang-orang yang ia pimpin lewat praktek keadilan dan kemanusiaan.

Santo Louis, dia adalah raja Prancis dan satu-satunya raja Prancis yang digelarkan sebagai orang kudus oleh Gereja. Praktek hidupnya sungguh-sungguh sangat injili. Ia bersikap adil dan juga penuh belas kasih terhadap rakyatnya terutama terhadap kaum miskin papa. Saya masih ingat sampai saat ini sebuah ungkapan yang diberikan oleh salah seorang dosen saya. Ia mengatakan demikian “to be holly means to be wholly –  menjadi kudus berarti menjadi utuh”. Orang kudus adalah orang yang utuh kepribadiannya, sangat integral antara apa yang dipikirkan dan dilakukan. Keadilan, belas kasih maupun kesalehan bukan hanya sekedar konsep dalam pikirannya, namun semuanya telah menjadi praktek dalam hidupnya. Santo Louis telah menunjukkan hal ini. Ia telah menjadikan dirinya sebagai contoh nyata atas sabda Tuhan hari ini, yaitu barang siapa terbesar di antara sesamanya, hendaklah ia menjadi pelayan bagi semuanya. Jika kita ingin menjadi orang kudus, maka kitapun juga perlu menjadi utuh, menyeluruh, menyelaraskan antara apa yang kita pikirkan dengan apa yang kita lakukan, terutama dalam hal keadilan dan belas kasih. Amin. Tuhan memberkati.

Translate »