Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Pesta St. Yustinus Martir

Posted by admin on May 31, 2018
Posted in renungan 

Lubuk Hati 1 Juni 2018

Pesta St. Yustinus Martir

Markus 11:11-26

Hati-hati dimarahi Yesus!

Beberapa orang pernah mencoba menegur atau menasehati saya bahwa kalau menjadi orang Katolik apalagi seorang Romo, saya tidak boleh marah. Terang saja saya hanya tersenyum, dan berkata dalam hati, “Wah, masih banyak orang Katolik yang ‘ga’ pernah baca Kitab Suci, jadi tidak tahu bahwa Yesus di dalam Injil pernah marah beberapa kali.” Marah itu penting bila memang diperlukan, dan dalam hal ini saya mau memberi contoh. Pertama, silakan membayangkan anak anda dikasari dengan kata-kata rasial dan mengalami kekerasan fisik dari teman-temannya di sekolah. Kalau anda tidak marah serta hanya menerima dan pasrah, sudah pasti ada yang salah dalam pikiran anda. Contoh kedua, silakan

membayangkan anda dan teman anda membaca berita pemboman beberapa gereja-gereja di Surabaya beberapa waktu lalu, dan ketika anda menunjukkan ekspresi marah anda dengan mengutuki aksi terorisme dan para teroris itu, teman anda malah menegur anda bahwa anda tidak boleh marah sebagai orang kristiani. Anda tentunya tidak terima dan merasa bahwa ada cara berpikir yang salah dari teman anda. Mungkin anda juga berpikir bahwa teman anda mendukung terorisme atau mungkin saja ia salah satu dari anggota teroris tersebut.

Yang tidak boleh dan memalukan itu bukan marah, tapi marah yang tidak cerdas alias marah yang menunjukkan kekerdilan batin. Pernahkah anda marah tanpa control dan mengeluarkan perbendaharaan “kebun binatang” anda yang ditujukan kepada seseorang yang anda anggap bersalah? Pernahkah anda marah dan menjadi kalap sehingga piring makan menjadi piring terbang? Itulah saat di mana anda marah secara bodoh. Saudara(i), kita boleh marah asal kemarahan kita itu menunjukkan kecerdasan batin kita. Filsuf Aristoteles (384-322 s.M.) berkata, “Marah itu gampang, tapi marah kepada siapa, dengan kadar kemarahan yang pas, pada saat dan tujuan yang tepat, serta dengan cara yang benar itu yang sulit.”

Hari ini kita mendengarkan Yesus mengutuki sebuah pohon ara dan memarahi para penjual di Bait Allah. Yesus tentunya marah secara cerdas. Tapi mengapa Yesus mengutuki pohon ara tersebut? Jelas karena pohon itu tidak menghasilkan buah seperti yang diharapkan Yesus. Apakah Yesus akan marah kepada kita bila kita tidak menghasilkan “buah”? Jelas Ia akan marah dengan caranya yang cerdas karena dia akan dengan melihat cara, tujuan, saat, dan kadar yang tepat untuk memarahi kita. Kapan Yesus akan marah kepada kita? Hari ini kita diberitahu mengenai dua hal yang membuat Dia marah kepada kita.

1. Bila kita tidak menghasilkan buah-buah rohani dalam hidup kita sebagai orang Kristiani. Buah-buah yang dimaksud adalah kasih, suka-cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Gal. 5:22-23). Menjadi orang Kristiani itu harus menghasilkan buah-buah rohani. Kalau anda merasa anda tak menghasilkan buah, paling tidak satu buah seperti yang dikatakan oleh St. Paulus di atas, anda perlu berhati-hati bahwa suatu hari nanti anda akan didatangi Yesus dan dimarahi habis-habisan bahkan dikutuki oleh-Nya.

2. Bila kita melakukan ketidakadilan kepada orang lain seperti para penjual di Bait Allah. Sebenarnya Yesus juga marah kepada para penguasa Bait Allah yang membuat sistem Bait Allah menjadi sistem yang “mencekik” rakyat jelata. Mereka menetapkan aturan dan harga-harga yang tinggi yang membuat banyak orang kesulitan untuk memberikan persembahan bagi Tuhan di Bait Allah. Sistem monopoli di Bait Allah membuat ketidakadilan terjadi antara penguasa Bait Allah dan rakyat jelata yang terpaksa harus membeli barang-barang persembahan di Bait Allah dari para penjual yang sudah diatur oleh penguasa Bait Allah. Di dalam dunia kita sekarang, ketidakadilan itu bisa berupa tindakan seperti para penguasa Bait Allah yang menipu dan mengambil keuntungan dari kekuasaan mereka tapi bisa dalam bentuk yang lebih halus seperti gosip ataupun fitnah kepada seseorang karena setiap kali kita mengucapkan ketidakbenaran tentang seseorang, kita sudah berbuat tidak adil terhadapnya.

Hari ini kita belajar bahwa Yesus tidak segan-segan memarahi bahkan mengutuk siapapun atau apapun kalau ia melanggar dua kriteria: berbuah rohani dan keadilan. Apakah kita termasuk orang-orang yang akan dimarahi Yesus hari ini bila kita berdiri dihadapan-Nya? Semoga tidak, tapi kalau “iya” maka cepatlah bertobat dan “berbuah” sebelum dimarahi oleh-Nya!

Pesta SP Maria Mengunjungi Elisabet.

Posted by admin on May 30, 2018
Posted in renungan 

Lubuk Hati 31 Mei 2018

Pesta SP Maria Mengunjungi Elisabet.

Lukas 1:39-56

Nyuwun (Nuwun) Sewu ala “Koh Glodok”!

Ketika berada di Novisiat St. Stanislaus, Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, saya ditugaskan untuk belajar merasul di sebuah kampung terpencil setiap hari Senin. Novisiat adalah tempat awal seorang religius dibina sesuai dengan semangat ordo atau konggregasi. Saya, yang berasal dari Flores, diminta untuk belajar bahasa Jawa karena saya berada di lingkungan Jawa dan di tempat saya merasul, desa Kalisalak, orang-orangnya tak bisa berbahasa Indonesia, dan di desa itu, hanya sedikit rumah yang menikmati layanan listrik. Dari beberapa teman novis, saya tahu kondisi umat Kalisalak yang hanya tinggal beberapa orang tua saja karena orang-orang muda mereka tidak mendapatkan pendidikan iman Katolik dan sapaan dari gereja yang dibutuhkan oleh mereka sehingga mereka pindah menganut agama lain. Para orang tua tersebut, di tengah situasi yang suram tersebut, tetap melihat harapan dengan kedatangan para Frater Novis Yesuit di kampung mereka selama bertahun-tahun.

Saya teringat pengalaman awal saya ketika memasuki Kalisalak pada tahun 2003. Saya bersepeda selama 40 menit sebelum menitipkan sepeda saya di sebuah desa lain dan berjalan kaki ke Kalisalak sejauh 20 menit. Ketika hari sudah malam, saya memasuki sebuah rumah di desa Kalisalak, saya menjumpai orang-orang tua yang tersenyum akibat melihat wajah “Koh Glodok” (Tionghoa) saya. Hanya ada dua lampu tembok di rumah pertemuan itu membuat ruang tamu itu suram namun hati 8 orang tua itu tak mengikuti suramnya ruangan tersebut. Saya mengenang perjumpaan dengan orang-orang tua tersebut karena penerimaan mereka terhadap saya yang melebihi pemahaman bahasa. Hari pertama saya memberi pelajaran agama, saya memulai dengan kata-kata, “Nyuwun sewu, kulo mboten saget kromo. Kulo saget ngoko (Permisi, saya tak bisa bahasa jawa halus, saya bisa yang kasar).” Kalimat saya dengan serta-merta dibalas dengan senyum oleh mereka dan salah seorang dari orang tua tersebut membalas, “Mboten nopo-nopo, Frater (Tidak apa-apa, Frater).” Bagi saya, itu adalah tanda bahwa saya bisa berbahasa “ngoko” dan sejak saat itu, walau teks di tangan dipersiapkan dengan bahasa “kromo” tapi perbincangan kami selalu terjadi dalam bahasa ngoko. Saya masih mengenang ruangan suram

namun penuh dengan canda-tawa di sela-sela merenungkan Sabda Tuhan. Tidak ada yang peduli “kromo” atau “ngoko” lagi, yang penting adalah Sabda Tuhan dan kegembiraan yang dibagikan bersama. Saya ingat, suatu hari saya mencadai mereka. Ketika saya pamit pulang, tanpa sengaja saya nyeletuk, “Nyuwun sewu Bapak-bapak.” Nyuwun sewu bisa berarti “permisi” tapi juga bisa berarti “minta seribu.” Seorang bapak mengeluarkan dompetnya dan memberi saya uang seribu rupiah. Saya tertegun dan baru sadar betapa Si Bapak memahaminya secara harfiah dan langsung memberi saya uang. Saya pun menimpali, “nyuwun rongewu (minta dua ribu).” Kata-kata itu mengakhiri pertemuan kami dengan tawa lepas. Para Bapak yang sudah ompong itu tertawa lepas karena mereka memahami candaan saya. Pengalaman Kalisalak itu adalah pengalaman bagaimana Tuhan itu mendatangi orang kecil melalui hamba-Nya tetapi juga pengalaman bagaimana Tuhan itu justru menunjukkan diri-Nya hadir melalui orang-orang kecil dan sederhana.

Hari ini kita merayakan Pesta Maria mengunjungi Elisabet yang mengandung di hari tuanya. Sungguh sebuah kebahagiaan bahwa seorang saudari dari jauh datang untuk menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraannya kepada seorang perempuan tua yang sedang hamil. Jalan terjal dan berliku yang dilalui Maria menunjukkan bahwa Tuhan memampukan seseorang yang hatinya diresapi Sabda Ilahi menjadi sumber kegembiraan bagi yang menerimanya. Orang yang hatinya dikuasai oleh Roh Allah, Roh Kudus, tak perlu menggunakan bahasa yang baik dan benar untuk dipahami karena bahasa kasih sudah tertanam dalam hati dan mulutnya, dan bahasa kasih dimengerti oleh semua orang. “Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.” Bayi di kandungan Elisabet boleh saja tidak mengerti bahasa manusiawi Maria, namun bahasa kasih-nya itu membuat sukacita dan kegembiraan ilahi dialami oleh Si Bayi.

Hari ini, ketika kita merayakan Pesta Maria mengunjungi Elisabet, kita diingatkan bahwa Tuhan itu sangat berkenan kepada mereka yang kecil dan sederhana. Juga, Tuhan hendak memakai kita untuk menjadi pewarta Sabda Gembira kepada mereka yang kecil dan sederhana. Apapun kekurangan kita, Tuhan pasti bisa memakai kita menjadi saluran kegembiraan asalkan hidup kita terarah kepada Tuhan dan menghayati hidup ini dalam naungan kasih Tuhan. Hatiku memuliakan Tuhan karena “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa.”

Cancut Taliwondo

Posted by admin on May 29, 2018
Posted in renungan 

Lubuk Hati 30 Mei 2018

Yak 4:13-17

“Cancut Taliwondo”

Kata St. Yakobus hari ini, “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.”

Di sini kita bisa merenungkan, “Siapa yang tidak ingin melakukan apa yang dikehendaki Tuhan dalam hidupnya?” Semua orang beriman pasti mau melakukan kehendak Tuhan dalam hidupnya. Tetapi “mau” belum tentu bisa atau berhasil melaksanakan karena mau itu baru pada taraf ide dan kehendak sedangkan bisa atau berhasil melaksanakan itu berada pada taraf tindakan dan tingkah-laku.

Ada 4 tipe orang berkehendak baik dilihat dari keberhasilan mewujudkannya:

1. Berkehendak baik, namun gagal atau tak pernah mewujudkannya. Ini tipe orang yang lemah kehendak. Orang seperti ini hidup hanya dalam dunia ide maka bisa disebut sebagai tipe “Idealis.” Tipe seperti ini seperti yang ditegur oleh St. Yakobus, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.”

2. Berkehendak baik, melakukannya beberapa kali atau dalam beberapa saat, namun akhirnya berhenti melakukannya karena alasan-alasan tertentu. Ini adalah tipe “panas-panas tahi ayam” alias hanya punya energi sedikit untuk bertahan. Seringkali kehilangan harapan atau kurang dewasa sehingga mudah sekali “mogok” karena faktor eksternal, misalnya, salah paham dengan teman lalu tak mau lagi datang ke gereja.

3. Berkehendak baik, melakukannya secara terus-menerus dan konsisten sehingga menjadi bagian dari kebiasaan hidup. Orang seperti ini adalah tipe “Gatotkaca” yang dalam dunia pewayangan terkenal sebagai orang yang perkasa, berani dan sakti. Gatotkaca adalah figur di mana seseorang mempunyai kemampuan untuk membela kebenaran dan berani berkorban. Tapi tipe seperti ini punya tantangan yang sangat besar akan kesombongan diri dan pencarian pemenuhan kebutuhan pribadi. Tantangan seperti yang dikatakan oleh St. Yakobus, “Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah.”

4. Berkehendak baik, melakukannya secara terus-menerus dan mampu bekerja sama dengan yang lain demi Tuhan dan Gereja. Ini adalah tipe “Cancut Taliwondo.” Cancut, dalam bahasa Jawa, berarti menyingsingkan lengan baju. Cancut Taliwondo berarti tidak berpangku tangan, mengerahkan seluruh kemampuan untuk bekerja dan mau bekerja sama yang lain demi sebuah tujuan yang baik. Semua hasil yang baik dari tindakan bersama yang baik di dalam komunitas dan keluarga dibangun. Versi panjang dari ungkapan “Cancut Taliwondo” ini adalah “Cancut taliwondo, rawe-rawe rantas, malang-malang putung” yang secara harfiah berarti menyingsingkan lengan baju dan “(tanaman) yang menjulur-julur harus dibabat sampai habis dan yang menghalang-halangi jalan harus dipatahkan.” Dengan demikian, ini bermakna

“berjuang bersama secara tekun dan segala sesuatu yang merintangi akan disingkirkan untuk mencapai tujuan.”

Ke-4 tipe ini ada di dalam hidup orang beriman. Hal yang perlu diingat, Kerajaan Allah di dunia ini adalah buah dari Roh Kudus yang ditanamkan dalam hati dan pikiran kita untuk diwujudkan dalam hidup keseharian kita. Diperlukan kehendak baik, tindakan baik dan kerja sama dalam membangunnya. Tuhan telah menanamkan kehendak baik dalam diri kita dan Ia ingin kita mewujudkannya demi Kerajaan-Nya di dunia ini. Dalam hal ini, Tuhan Yesus menghimpun komunitas para murid agar semuanya bekerja sama untuk membangun kerajaan Tuhan. “No man is an island.” Semua orang dipanggil untuk bekerja sama dan berkontribusi mewujudkan Kerajaan Allah.

Termasuk tipe manakah saya? Apakah saya tipe “Idealis,” “Panas-panas Tahi Ayam,” “Gatotkaca,” atau “Cancut Taliwondo”? Kita pasti tahu tipe mana yang dikehendaki Tuhan, dan itu berarti kita hendaknya mengarahkan diri ke sana. Selamat mengusahakan “cancut taliwondo.” Tuhan memberkati!

Kehilangan untuk Mendapatkan Mimpi Tuhan!

Posted by admin on May 28, 2018
Posted in renungan 

Lubuk Hati 29 Mei 2018

Mrk 10:28-31

Kehilangan untuk Mendapatkan Mimpi Tuhan!

Saya masih mengenang pengalaman saya memberitahukan kepada keluarga saya bahwa saya mau menjadi imam di dalam Gereja Katolik. Petang di suatu hari tahun 1999 itu terasa emosional bagi kami karena ketika saya memberitahukan keinginan saya menjadi imam, ibu dan kakak pertama saya menangis, dan tentunya saya juga ikut menangis. Kamar rumah kami di Surabaya itu menjadi saksi bisu bahwa adalah sebuah lompatan besar dalam mengikuti Yesus ketika orang meninggalkan segala sesuatu yang telah menjadi hidupnya bertahun-tahun: keluarga, sahabat, pekerjaan dan juga semua hal yang dimiliki. Petang itu, perasaan saya bercampur-baur, antara gembira karena saya berani mengutarakan apa yang saya rasakan, namun juga sedih karena saya memutuskan untuk meninggalkan orang-orang saya sayangi dan hal-hal yang sudah saya akrabi.

Saya meneruskan pencarian saya setelah memutuskan untuk mencari ordo religius yang tepat bagi saya, dan 3 tahun setelah itu, saya memutuskan untuk bergabung dengan Serikat Yesus oleh karena saya terpesona dengan slogan, “finding God in all things,” (menemukan Tuhan dalam segala sesuatu) di sebuah situs (website) Yesuit Amerika. Saya sendiri tidak pernah tahu maksud Tuhan mengapa saya menemukan slogan yang membuat hati dan pikiran saya berkobar-kobar dan membakar semangat saya untuk berkata, “Ini yang saya mau!” Bertahun-tahun sesudahnya, suatu hari menjelang tahbisan iman saya, saya merefleksikan panggilan saya yang sudah saya jalani selama 9 tahun dalam terang bahwa saya akan diutus belajar di Amerika Serikat. Eurekaaaa! Tuhan punya rencana besar terhadap diri saya bahkan sebelum saya memutuskan untuk bergabung di dalam Serikat Yesus. Amerika Serikat adalah tanah yang tidak pernah ada dalam mimpi saya ketika saya memutuskan untuk bergabung dengan Serikat Yesus, dan Tuhan rupanya sudah punya mimpi dan rencana terhadap saya di Amerika jauh sebelum saya masuk ke Serikat Yesus. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan ketika saya memutuskan untuk meninggalkan semua yang saya miliki, termasuk keluarga. Keputusan saya menjadi seorang imam Yesuit rupanya adalah mimpi Tuhan terhadap saya.

Dalam perjalanan saya menjadi Yesuit dan imam, saya menemukan begitu banyak keluarga karena Tuhan mempertemukan saya dengan banyak orang. Saya pernah berjumpa dan berteman dengan tukang parkir, petani hingga profesor di universitas. Saya juga bertemu dengan anak-anak balita hingga kakek-nenek untuk mengajari mereka tentang iman Katolik. Saya bercakap, atau setidaknya pernah bercakap, dengan orang-orang berbahasa Jawa, Inggris, Spanyol serta Jerman selain orang-orang berbahasa “Flores” dan Indonesia. Saya punya sahabat di berbagai belahan dunia mulai dari Amerika, Eropa, Asia, Australia hingga Afrika. Dunia saya tidak lagi sebatas yang bisa saya imajinasikan dulunya. Mimpi saya bukanlah mimpi orang yang datang dari pulau kecil di Indonesia yang seringkali tak diketahui oleh banyak orang Indonesia di bagian lain. Lalu, “Meninggalkan segala sesuatu demi Tuhan, siapa takut?”

Jikalau Tuhan yang kita cari dan layani, mimpi-Nya kepada kita akan menjadi kenyataan, dan mimpi Tuhan adalah kelimpahan hidup, kegembiraan dan keselamatan. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat.” Itulah mimpi Tuhan bagi kita. Beranikah kita mengambil mimpi-Nya menjadi milik kita? Syaratnya satu: kita harus berani kehilangan untuk mendapatkan mimpi Tuhan tentang kita!

Sesak ala Unta (dan Vietcong) untuk Selamat!

Posted by admin on May 27, 2018
Posted in renungan 

Lubuk Hati 28 Mei 2018

Mrk. 10:17-27

Sesak ala Unta (dan Vietcong) untuk Selamat!

Tahun 2013, saya berkunjung ke Vietnam bersama keluarga besar saya. Ketika berada di Ho Chi Minh City, Vietnam, kami diajak ke sebuah hutan yang sudah diubah menjadi taman pertunjukkan kehebatan pasukan Vietcong saat melawan tentara Amerika pada saat perang Vietnam tahun 60an-70an. Saya melihat senjata, jebakan, pondok, peralatan masak, dan banyak hal lainnya. Tapi yang paling menarik adalah terowongan Củ Chi yang hanya bisa dilalui oleh satu orang dewasa ukuran kecil hingga sedang. “Lubang tikus” itu sangat sempit bagi saya, dan ketika berada sekitar 5-10 meter di bawah tanah, oksigen yang dihirup seseorang pun akan sangat “tipis.” Terowongan ini membuat saya ingin lari keluar darinya karena secara otomatis, rasa nyaman dan aman saya terganggu. Terowongan itu memang dibuat untuk bersembunyi, menyerang tentara Amerika yang berpatroli di hutan, sekaligus tempat untuk berkomunikasi dan mendistribusikan logistik bagi para pejuang Vietcong. Berada di terowongan itu membuat adrenalin saya meninggi dan gerakan saya merangkak di dalam “lubang tikus” itupun menjadi semakin cepat karena keinginan untuk menggapai oksigen yang sangat kurang sembari berusaha keluar dari kegelapan. Dua hal yang ditakuti oleh seorang manusia hingga di akhir hidupnya. Tapi rupanya para Vietcong tak pernah dikalahkan oleh rasa tak nyaman dan tak aman itu. Sejarah menunjukkan bahwa pejuang Vietcong juga berperan penting dalam kemenangan Vietnam (Utara) melawan Amerika Serikat.

Kalau hari ini kita membaca Injil yang berkisah tentang seorang pemuda yang kaya, dan perkataan Yesus yang menohok orang kaya, kita diajak untuk memikirkan apa dimaksud dengan, “Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” Mengapa lubang jarum? Jelas unta bahkan tak bisa melewati “lubang tikus” ala Vietcong karena jelas unta lebih besar dari manusia. Mengapa unta? Apa salah unta sehingga dipakai Tuhan Yesus untuk menghina orang kaya? Unta tidak mempunyai kesalahan terhadap Yesus tentunya, tetapi unta itu akrab dengan orang-orang jaman Yesus yang sering memakainya untuk binatang transportasi baik manusia maupun barang. Unta para pedagang di jaman Yesus setiap hari selalu bersesak-sesakan di sebuah pintu kota Yerusalem dengan sesama unta dan manusia serta binatang lainnya ketika memasuki sebuah pintu kota Yerusalem sembari memikul bebannya. Jadi, sekali lagi, apa salah unta hingga dibanding-bandingkan dengan orang kaya? Para unta tentunya boleh berbangga bahwa mereka lebih baik di mata Yesus daripada pemuda kaya dalam bacaan hari ini.

Orang yang kaya itu bukan hanya orang yang banyak uang, tetapi juga orang merasa memiliki banyak hal dalam hidupnya sehingga tidak lagi merasa perlu bergantung pada Tuhan. Kalau kita punya banyak “harta” dalam hidup kita, dan kita jadi terikat dan bergantung kepada hal-hal tersebut, kita ini sama seperti si Pemuda Kaya. Kita jadi lebih jelek dari unta yang memikul beban dan mau bersesakan dengan sesama unta dan juga manusia, barang serta binatang lainnya. Bukankan kita sering merasa bahwa kita memiliki banyak hal yang membuat kita harusnya “longgar” dan tidak mau “sesak”? Yesus bilang bahwa, kalau kita merasa kaya, punya banyak hal yang bisa dipamerkan, kita ini bukan pemenang iman, sama seperti pemuda kaya dalam Injil hari ini. Itu bisa berarti uang, jabatan, gelar, dan segala yang kita banggakan yang membuat kita terlena dan mencari kesenangan semata seakan-akan merekalah jalan keselamatan kita. Yesus menantang kebanggaan kita itu hari ini. Kita ini harusnya bisa menjadi “Vietcong” dan juga “unta” versi Kerajaan Surga yang berani “bersesak-sesakan” untuk meraih kemenangan (iman). Bersesak-sesakan dalam arti bahwa berani meninggalkan apapun yang

menghalangi kita mengikuti Tuhan dan mengambil apapun sebagai beban kalau memang hal itu penting dalam mengikuti Tuhan. Kalau mau bersesak-sesakan dan merasa tidak enak, itulah justru jalan keselamatan kita. Jangan jadi orang yang memilih jalan “longgar dan ringan”, melainkan jadilah seperti unta dan para Vietcong yang mau bersesak-sesakan dan memikul beban.

Translate »