Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

SERUPA SEPERTI KRISTUS

Posted by admin on October 29, 2023
Posted in renungan 

Senin, 30 Oktober 2023



Lukas 13:10-17

Pada suatu saat, Yesus membebaskan seorang ibu yang sudah delapan belas tahun bungkuk karena dirasuki roh jahat. Tindakan Yesus tersebut ditentang oleh kepala rumah ibadat dan kaum Farisi karena Yesus dianggap salah dan bertentangan dengan hukum Sabat; menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat.  Namun, Yesus mengetahui apa yang ada dihati mereka yang jahat sebab apa yang mereka katakan berbeda dengan apa yang mereka lakukan. “Tetapi Tuhan menjawab dia, kata-Nya: “Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman?”(Luk 13:15)

Dengan menyembuhkan dan membebaskan orang sakit pada hari Sabat, Yesus mau menyatakan bahwa nilai yang harus diangkat, diperjuangkan, dan dilakukan adalah penghargaan pada keluhuran martabat setiap pribadi manusia dan nilai belaskasih sebagai motivasi dalam semua tindakan, sama seperti  Allah yang telah lebih dahulu mengasihi manusia.  “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.”(1 Yoh 4:16).

Oleh karena itu, aturan-aturan yang dibuat oleh manusia selayaknya perlu menjaga dan melindungi martabat setiap orang dan terutama mereka yang lemah dan menderita. Dengan demikian Yesus membebaskan orang yang sakit karena Dia menyatakan pembelaan-Nya pada yang lemah dan karena didorong oleh belaskasih-Nya kepada mereka. Dengan demikian, setiap murid Kristus diajak untuk menyadari bahwa mereka dipanggil dan dipilih untuk melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan Yesus kepada mereka yang lemah dan menderita. Dengan kata lain, mereka diutus menjadi sepura dengan Kristus (alter Kristus) ; menjadi terang dan berkat bagi sesamanya dan alam sekitarnya. “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.”(Roma 8:30).

Kasih Sejati dan Bagaimana Kita Mengetahuinya

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on October 28, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-30 dalam Masa Biasa [A]

29 Oktober 2023

Matius 22:34-40

Cinta (atau Kasih) adalah salah satu kata yang paling sering digunakan, tetapi juga paling sering disalahpahami, bahkan disalahgunakan. Beberapa orang menggunakan kata ini untuk memanipulasi orang lain dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Beberapa orang dapat dengan mudah mengatakan “apakah kamu tidak mencintaiku lagi?” untuk mempertahankan pasangannya dalam relasi yang toxic dan penuh kekerasan.  Beberapa orang lainnya akan dengan mudah mengatakan, ‘ini karena kami saling mencintai,’ untuk membenarkan perilaku dosa mereka. Demi ‘cinta’ pada negara dan ras mereka, beberapa orang menganiaya kelompok atau etnis lain. Demi ‘cinta’ kepada Tuhan dan agama, beberapa orang meledakkan diri mereka sendiri dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah, termasuk anak-anak. Namun, ini bukanlah cinta yang sejati, dan tentunya, bukan itu yang Yesus maksudkan ketika Dia mengajarkan perintah kasih. Jadi, apa yang Yesus maksudkan dengan kasih yang sejati?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami terlebih dahulu Injil kita hari ini.  Untuk memahaminya, kita memerlukan sedikit konteks. Ketika orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus tentang perintah terbesar dalam Hukum Taurat, mereka mengharapkan Yesus memilih satu dari berbagai peraturan dan perintah dalam Hukum Musa. Tradisi Yahudi menghitung ada 613 perintah dalam Hukum Musa. Dari sekian banyak kemungkinan jawaban, Yesus memilih, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” Bagi banyak dari kita, jawaban Yesus ini tampaknya revolusioner, dan bahkan meninggalkan hukum Musa. Kita sering berpikir bahwa Perjanjian Lama adalah tentang Sepuluh Perintah Allah, sedangkan Perjanjian Baru adalah tentang Hukum Kasih. Namun, ini jauh dari kebenaran.

Jawaban Yesus sejatinya diambil langsung dari inti dari Perjanjian Lama. Jawaban-Nya berasal dari Ulangan 6:4-6. Dalam tradisi Yahudi, ayat-ayat ini disebut ‘Shema’. Ayat-ayat ini sangat sakral bagi orang Israel, dan mereka akan mengucapkannya beberapa kali dalam sehari sebagai doa dasar mereka. Kita mungkin bisa menyamakan ‘Shema’ ini dengan doa Bapa Kami. Namun, Yesus tidak berhenti sampai di situ. Dia juga menambahkan perintah terbesar kedua, “Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” Sekali lagi, ini juga berasal dari Perjanjian Lama (lihat Imamat 19:18).

Hal yang revolusioner dari jawaban Yesus bukanlah mengenai sumber dari pernyataan-Nya, tetapi orientasi yang sebenarnya dari semua perintah dalam Hukum Musa. Kita melakukan segala sesuatu karena kasih kita kepada Allah. Pada saat yang sama, perintah Yesus yang paling utama ini juga menjelaskan dan memberikan orientasi yang tepat tentang bagaimana kita mengasihi orang lain. Kasih kepada sesama adalah manifestasi esensial dari kasih kepada Allah dan ini dilakukan demi kasih kepada Allah (lihat KGK 1822). Cara sederhana untuk mengetahui bahwa cinta kita bagi sesama adalah cinta sejati adalah dengan mengajukan sebuah pertanyaan, “Apakah tindakan saya berkenan kepada Allah?” Jika jawabannya tidak, tentu saja tindakan kita bukanlah sebuah kasih yang sejati.

Oleh karena itu, kita tidak dapat menggunakan kata ‘cinta’ sebagai pembenaran atas perilaku dan gaya hidup berdosa kita. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita mengasihi seseorang, tetapi pada kenyataannya, kita justru menjauhkannya dari Tuhan. Juga, menyakiti orang lain, apalagi yang tidak bersalah, atas nama kasih kepada Tuhan juga merupakan tindakan yang salah.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

True Love and How We Know It

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on October 28, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

30th Sunday in Ordinary Time [A]
October 29, 2023
Matthew 22:34-40

Love is arguably the most used but also the most misunderstood and even misused. Some people use this word to manipulate others and get what they want. Men or women can say, ‘Don’t you love me?’ to keep their partners in a toxic and abusive relationship. Some others will easily utter, ‘This is because we love each other,’ to justify their sinful behaviors. For the ‘love’ of their country and race, some men persecute another ethnic group and burn their villages. For the ‘love’ of God and religion, some men blow themselves up and kill innocent people, including children. Yet, this is not the real love, and surely not what Jesus meant when He taught the commandment of love. So, what does Jesus mean by true love?

To answer the question, we need to understand first our gospel today. To understand it, we need a bit of context. When the Pharisees asked Jesus about the greatest commandment in the Law, they expected Jesus to select one from among various regulations and commandments in the Law of Moses. Jewish traditions counted there are 613 precepts in the Law of Moses. From among many possible answers, Jesus chose, “You shall love the Lord your God with all your heart, and with all your soul, and with all your mind.” For many of us Christians, Jesus’ answer seems to be revolutionary and breaks away from the Law of Moses. We often think that the Old Testament is about the Ten Commandments, but the New Testament is about the Law of Love. Yet, this is far from the truth.

Jesus’ answer is straight from the heart of the Old Testament. His answer is from Deut 6:4-6. In Jewish tradition, it is called ‘Shema’. These verses are sacred for the Israelites, and they would recite these words several times a day as their basic prayer. We may think of ‘Shema’ as a prayer of Our Father in the Catholic Church. However, Jesus did not stop there. He also added the second greatest commandment, “You shall love your neighbor as yourself.” Again, this is also coming from the Old Testament (see Lev 19:18).

What is revolutionary about Jesus’ answer is not about the sources of His statements but the true orientation of all precepts in the Law of Moses. We do all things because of our love of God. At the same time, Jesus’ greatest commandment clarifies and gives proper orientation on how we love others. The love for others is the essential manifestation of the love for God and is made for the love for God (see CCC 1822). A simple way to do this is by asking the question, “Is my action pleasing to God?” If the answer is not, surely our action is not a true love.

Therefore, we cannot use ‘love’ as a justification for our sinful behaviors and lifestyles. We cannot say that we love someone, but in reality, we bring them far from God. It is also totally false to kill innocent people in the name of love for God.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

MENYADARI KEMBALI KASIH ALLAH

Posted by admin on October 24, 2023
Posted in renungan 

Rabu, 25 Oktober 2023



Lukas 12:39-48

Tuhan Yesus mengajak kepada para pengikut-Nya untuk setia sampai akhir dengan panggilan mereka sebagai terang dan garam dunia. Kepada mereka Tuhan memberikan kepercayaan yang besar agar lewat kesaksian hidup mereka bisa mewartakan belas kasihan Allah kepada manusia. “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya.”(Luk 12:43-44).

Bagaimana agar setiap murid Kristus bisa setia sampai akhir? Kesetian adalah buah dari iman dan kasih seseorang kepada Allah. Oleh karena itu mereka bisa setia melakukan kehendak Allah dan mengikuti Kristus, jika mereka berani untuk percaya dan sadar akan kasih Allah terhadap diri mereka. Dengan demikian ketidaksetiaan kepada Kristus bisa disebabkan karena kurang percaya/meragukan kasih Allah terhadap diri mereka.

Keraguan itu bisa mencul ketika mereka tidak mampu memaknai dalam setiap peristiwa  Allah hadir disana, terutama disaat peristiwa-peristiwa pahit, buruk atau mengecewakan dalam padangan manusia. Oleh karena itu, untuk kembali pada Kristus, mereka perlu menyadari kembali Kasih Allah kepada manusia. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16).

 

Berikanlah kepada Allah apa yang menjadi milik Allah

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on October 22, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-29 dalam Masa Biasa [A]

22 Oktober 2023

Matius 22:15-21

“Karena itu, berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah (Mat. 22:21).” Banyak orang memahami perkataan Yesus ini sebagai persetujuan-Nya untuk membayar pajak dan, dengan demikian, untuk mendukung dan menghormati para pemimpin pemerintahan yang telah terpilih secara adil. Meskipun banyak dari kita yang tidak nyaman mengetahui bahwa uang hasil jerih payah kita diambil, kita dapat menghibur diri kita dengan mengetahui bahwa uang kita digunakan untuk mendanai berbagai proyek pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Memang, tidak ada yang salah dengan melihat pernyataan Yesus dalam sudut pandang ini, namun kita tidak boleh mengabaikan bagian kedua dari perkataan Yesus.

Yesus juga berkata bahwa kita harus memberikan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah. Apakah ini berarti kita harus membayar ‘pajak’ kepada Tuhan seperti halnya kita membayar pajak kepada negara? Jawabannya adalah ya! Kita harus ingat bahwa kita bukan hanya warga dari kerajaan atau bangsa-bangsa di dunia ini, tetapi juga warga negara Kerajaan Allah. Untuk menjadi warga negara yang baik, kita harus berkontribusi pada pembangunan negara. Biasanya, kita melakukan ini dengan membayar pajak, tetapi kita juga diharapkan untuk menaati hukum negara dan terlibat dalam berbagai praktik bernegara yang baik. Demikian pula halnya dengan warga negara yang baik dari Kerajaan Allah. Kita juga berkontribusi kepada Kerajaan Allah dengan menaati hukum-hukum Kerajaan dan mempersembahkan apa yang menjadi milik Allah. Lalu pertanyaannya adalah, “Apa yang menjadi milik Allah yang harus kita berikan kepada Allah?” Apakah “mata uang” Kerajaan Allah? Untuk menjawabnya, kita harus kembali ke Injil hari ini.

Ketika Yesus berhadapan dengan orang-orang Farisi yang berusaha menjebak-Nya, Dia mengambil sebuah koin Romawi. Dia menunjukkannya kepada orang-orang di sekeliling-Nya dan bertanya, “Gambar dan tulisan siapakah yang ada di sana?” Mereka menjawab, “Kaisar.” Kemudian, Dia berkata, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar…” Dasar dari kepemilikan adalah adanya “gambar” (dalam bahasa Yunani, εἰκών – eikon). Koin tersebut adalah milik Kaisar karena memiliki gambarnya. Dengan demikian, membayar pajak sama saja dengan mengembalikan koin yang sejak awal adalah milik Kaisar dan Kekaisaran Romawi. Namun, Yesus tidak berhenti sampai di situ. Dia juga mengajarkan, “berikanlah kepada Allah apa yang menjadi milik Allah.” Dan apa yang menjadi milik Allah? Jawabannya adalah mereka yang memiliki gambar Allah. Kembali ke Kejadian 1:26, kita menemukan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan oleh karena itu, kita adalah milik Allah. Satu-satunya “mata uang” Kerajaan Allah adalah jiwa kita, hidup kita.

Namun, kita juga harus ingat bahwa kewajiban kita kepada Tuhan melebihi kewajiban kita kepada manusia. Jika kita tidak membayar pajak dan tidak mematuhi hukum negara, kita mungkin akan mendapat masalah dengan pemerintah. Namun, jika kita tidak memberikan apa yang menjadi milik Allah, kita dapat kehilangan jiwa kita selamanya. Yang pertama berkaitan dengan kelangsungan hidup kita di dunia ini, sedangkan yang kedua berkaitan dengan keselamatan kekal.

Apakah kita menjalani hidup kita sebagai persembahan yang berkenan kepada Allah dengan menghindari gaya hidup yang berdosa? Apakah kita mempersembahkan pekerjaan kita sehari-hari, usaha kita sehari-hari untuk kemuliaan Allah? Apakah kita menyatukan secara rohani tubuh kita dengan Tubuh Kristus di dalam Ekaristi untuk menjadi persembahan yang paling layak? 

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »