Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Sebuah Misi

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on January 31, 2018
Posted in renungan  | Tagged With:

Kamis dalam Pekan Biasa ke-4

Markus 6:7-13

 “Yesus memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua. Ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat.”

 

 

Apakah Anda tahu berapa banyak umat Kristiani di bumi ini? Ada sekitar 2,2 miliar orang yang menyebut diri mereka Kristiani di bumi ini, dan ini berarti tiga dari tujuh orang yang Anda temui di bumi ini praktis adalah orang Kristiani. Dan, umat Kristiani terus bertambah jumlahnya! Namun, tahukah anda bahwa Kristiani yang menjadi agama terbesar di dunia sebenarnya bermula dari sebuah awal yang sangat sederhana 2000 tahun silam: Yesus dan beberapa pengikut-Nya. Jadi, apa yang membuat Kristiani tumbuh besar dan lebih besar dari hari ke hari? Jawabannya adalah “mandat misionaris” Yesus Kristus.

Sebelum Ia diangkat ke surga, Yesus mengutus murid-murid-Nya untuk “Pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada segala makhluk” (Markus 16:15). Sejak itu (dan terutama setelah Pentakosta), para rasul dengan semangat pergi untuk memberitakan Injil Yesus baik kepada orang Yahudi dan bukan Yahudi, di dalam kemudahan maupun kesulitan. Misi menjadi inti dari Gereja Yesus Kristus.

Sungguh, dari zaman para rasul hingga saat ini, mandat misionaris Yesus terus dilaksanakan dalam berbagai macam bentuk. Pemahaman yang lazim tentang kegiatan misionaris adalah bahwa seorang imam pergi ke daerah sangat terpencil untuk memberitakan Injil.

Walaupun demikian, kegiatan misionaris tidak mengharuskan kita untuk pergi ke tempat jauh, tetapi bisa dilakukan di dalam Gereja lokal kita. Mgr. Luis Antonio Tagle, Uskup Agung Manila, menceritakan bahwa ketika dia masih seorang imam muda di Imus, ia bisa melayani 8 sampai 9 misa setiap hari Minggu. Jelas, apa yang dilakukannya tidaklah sehat secara spiritual maupun fisikal bagi dirinya, tapi demi umat yang haus akan Tuhan, ia mengabdikan dirinya untuk memenuhi kebutuhan umat Tuhan.

Namun, kegiatan misionaris tidak hanya terbatas pada kaum berjubah saja! Justru keindahan misi adalah ia menyentuh setiap kehidupan Kristiani. Ketika Rm. Edmund Nantes, OP, pimpinan Dominikan misi Indonesia, bertanya pada ibu saya tentang profesinya, sang ibu menjawab bahwa dia ibu rumah tangga “saja”. Fr. Nantes lansung bereaksi dan mengatakan kepada ibu saya untuk menghapus kata “saja”. Rm. Nantes sungguh benar! Mendedikasikan diri untuk kesejahteraan keluarga menuntut sebuah komitmen yang total. Melahirkan, membesarkan anak-anak dan membawa anak-anaknya untuk menjadi orang yang dewasa dan mandiri menempatkan diri seorang ibu pada situasi yang sangat tidak menguntungkan, terutama bila Anda memiliki Fr. Bayu sebagai anak Anda! Setelah mengorbankan segalanya, seorang ibu praktis tidak akan mendapat apa pun sebagai imbalan, namun dia tidak pernah goyah untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Saya menyadari menjadi seorang misionaris tidak berarti bahwa kita harus pergi ke tempat-tempat jauh, tapi kita bisa mulai dari dalam diri kita dan keluarga kita.

Misi adalah inti dari Gereja dan hati dari misi adalah panggilan kita untuk mencintai. Untuk memberikan diri kita kepada sesama, berkorban untuk orang lain, dan untuk mencintai adalah misi kita. Kita dipanggil oleh Yesus untuk dicintainya dan kita diutus oleh-Nya untuk membagikan cinta yang kita alami kepada orang lain sehingga mereka juga dapat mengalami kasih Yesus.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Menjadi Seorang Nabi

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on January 30, 2018
Posted in renungan 

Rabu pada Pekan Biasa ke-4 (Peringatan St. Yohanes Bosco)

31 Januari 2018

Markus 6:1-6

“Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya (Mrk 6:4).”

 

Disalah mengerti, dihakimi, dan ditolak bahkan oleh orang-orang terdekat kita adalah pengalaman kita semua. Yesus sendiri mengalami hal ini. Dia pulang ke kampung halaman dan mewartakan Kabar Baik. Namun, bukannya disambut yang hangat, orang-orang Nazareth melihat Dia secara negatif dan menghina Dia. Orang-orang yang seharusnya paling menerima-Nya menjadi yang pertama menolak-Nya.

Namun, menghadapi penolakan yang kejam ini, Yesus tidak bergeming dan terus melanjutkan misi-Nya. Dia tidak gentar karena Dia tahu siapa sesungguhnya diri-Nya. Yesus adalah seorang nabi dan sebagai seorang nabi, Ia juga harus menerima bagian dari para nabi pendahulu-Nya: disalah mengerti, diadili, diperlakukan dengan buruk dan bahkan dibunuh. Tetapi, siapakah seorang nabi itu, dan kenapa beberapa orang tidak suka dengan seorang nabi? Secara sederhana, nabi adalah seorang yang mengatakan kebenaran, tetapi komitmennya yang teguh terhadap kebenaran bukanlah karena dia berpikir bahwa ia adalah yang paling benar, tetapi karena dia sungguh memperhatikan dan mengasihi umat yang ia layani. Seorang nabi tidak bisa hanya diam saat dia melihat umatnya mulai berprilaku yang salah dan menjadikan hidup mereka sebagai kesengsaraan dan permasalahan.

Menjadi seorang nabi sesungguhnya adalah misi kita setiap hari. Orang tua yang melakukan yang terbaik dan menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka, tetapi terkadang mereka disalah mengerti oleh anak mereka sendiri dan dicap sebagai ‘suka mengatur’. Seorang guru yang mencoba menanamkan nilai dan budaya disiplin kemudian disebut sebagai ‘teror’. Namun ada waktunya, menjadi seorang nabi berarti sebuah pengorbanan yang total. Banyak imam, rohaniawan dan kaum awam yang bekerja tanpa lelah di daerah-daerah paling berbahaya bagi kaum miskin dan menderita. Beberapa dari mereka akhirnya diculik, disiksa dan bahkan dibunuh. Secara khusus, kita perlu mengingat almarhum Uskup Agung San Salvador Oscar Arnulfo Romero dari El Salvador. Kasihnya bagi umatnya dan juga lawannya mendorongnya untuk mewartakan kebenaran dan melawan segala bentuk korupsi dan penindasan di negaranya. Diapun akhirnya menerima murka dari musuh-musuhnya. Pada tahun 1980, dia ditembak mati saat merayakan perayaan Ekaristi di kapel Divine Providence Hospital. Darahnya menyatu dengan Darah Suci Yesus Kristus di dalam Ekaristi.

Sungguh, tidak mudah untuk menjadi seorang nabi, tetapi ini adalah panggilan dan misi kita. Jika kita sungguh sayang dan mengasihi orang-orang dan umat yang kita layani, mewartakan kebenaran adalah hal yang terbaik yang dapat kita lakukan untuk mereka.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

To Teach, to Exorcise, to Heal

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on January 27, 2018
Posted in renungan 

4th Sunday in Ordinary Time

January 28, 2018

Mark 1:21-28

 

“Then they came to Capernaum, and on the sabbath he entered the synagogue and taught. (Mk. 1:21)”

 

After calling the disciples, Jesus begins his ministry proper in Capernaum. There, Jesus performs a threefold task: teaching, exorcism (driving away the evil spirits) and healing. On the Sabbath, He immediately enters the synagogue and teaches with authority. He faces the unclean spirits who possess a man and rebukes them to leave. And in the next Sunday’s reading, he heals Peter’s mother-in-law (Mk. 1:29-39). All these he does with authority.

 

This threefold task is fundamental to the ministry of Jesus, and in the succeeding Sundays, we will listen to many of these actions. Why are these fundamental to Jesus? The answer is because these three aspects make Jesus’ ministry a holistic one. Teaching is to form a sound mind, to drive away evil spirits is to build a holy spiritual life, and healing is to empower our bodies. It is precisely the Good News because the salvation Jesus brings covers all aspects of our humanity. As His disciples, we are all called to preach, drive evil spirits, and to heal.

 

Healing deals with the health of our bodies. It is true that we do not have the gift of healing, but all are called to respect our bodies and thus, to live a healthy lifestyle and avoid those things that will make us sick, like unnecessary stress and unhealthy food. To respect our bodies flows from the recognition that our bodies are the gift of God and as St. Paul says, “the Temple of the Holy Spirit.” Thus, abuse of our bodies means disrespecting the God who created us, and the Holy Spirit who gives us life. Yet, healing is not limited to our bodies but also includes healing our neighbors. It is to make sure that our brothers and sister have something to eat, something to clothe their bodies and a place to rest their bodies. It is not only to heal our own bodies but our society as well.

 

Exorcism is truly a special ministry in the Church, and only delegated to few people under the authority of the bishops, but every Christian is called to drive away evil spirits in their lives and hearts. It is our sacred duty to live holy lives, to receive the sacraments frequently, and to pray fervently. These are the ways to get closer to God, and thus, enable us to have healthy spiritual lives. To drive away evils also means to free ourselves from the bondage of sins and vices. It is a kind of spiritual healing. The devil sometimes possesses our bodies, but most of the time, he possesses our hearts. Our excessive attachment to things, like money, sexual pleasure, prestige, is a manifestation of evil spirits working in our hearts.

 

It is true that not all are teachers by profession, but we are called to form our minds and other peoples’ mind as well. It is fundamental for the parents to teach the basic Christian values, like honesty, fidelity, and compassion, to their young children. It is also important to habitually reflect on our characters, to correct bad habits, and to improve ourselves. After all, education is not only transfer of information, but the formation of characters. Thus, a right understanding of self will affect the way we act. I have been faithfully attending the Eucharist since my childhood, but when I learn more about its theology, history and its rootedness in the Scriptures and Christ Himself, the more I fall in love with the Eucharist.

 

We are the disciples of Christ, and it is our sacred mission and honor to participate in His threefold ministry in our own ways and lives: to teach, to drive evil spirits and to heal.
Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

(photo by Harry Setianto Sunaryo, SJ)

BELAJAR PERCAYA

Posted by admin on January 26, 2018
Posted in renungan  | 1 Comment

 

Markus 4:35-41

BELAJAR PERCAYA

Mengikuti Kristus adalah suatu perjuangan. Perjuangan untuk setia dalam saat senang maupun susah tetap mengikuti Kristus. Pada saat semuanya beres, kita mudah untuk berdoa dan bersyukur. Namun pada saat susah dan merasa gagal, bagaimana kita tetap setia? Dalam kondisi yang semacam itu iman sedang diuji dan dimurnikan. Oleh karena itu kesetiaan adalah keutamaan yang diperlukan agar kita tetap bisa berjalan ditengah-tengah persoalan yang dihadapi.

Sumber dari kesetiaan adalah iman/percaya kepada Allah. Iman yang dihayati mampu membebaskan manusia dari rasa takut, cemas dan gelisah, sehingga hati akan kembali merasakan damai dan bahagia. Oleh karena itu persoalan apa pun tidak lagi membuat orang kehilangan damai dan suka cita jika ia percaya dan bersandar pada kekuatan Allah. Penyerahan diri pada kekuatan Allah menumbuhkan kekuatan dan harapan dalam hidup.

Sebaliknya jika orang melupakan Tuhan dan lebih mengandalkan kekuatan diri-sendiri, maka muncul pengalaman cemas, takut dan stress yang hebat karena begitu banyak yang dihadapi namun kekuatan diri manusia terbatas. Yesus Kristus hadir memberikan kekuatan dan harapan bagi mereka yang percaya. Olah karena itu seruan “jangan takut” akan menjadi kenyataan jika iman sungguh-sungguh dihayati.

Bagaimana agar kita bisa lebih mendalam dalam menghayati iman? Iman adalah relasi dengan Yesus Kristus. Relasi yang didasari oleh kasih kepada Nya. Dengan kasih, maka kita akan berani menyerahkan segalanya demi kemuliaanNya dan melakukan kehendakNya. Dengan menjalin relasi dengan Kristus maka iman akan semakin kuat sehingga segala peristiwa hidup sekalipun yang tidak menyenangkan bisa kita hadapi. Semua bukan karena kekuatan dan kehebatan kita, tetapi karena kekuatan Kristus sendiri. Saat berjalan bersama dengan Kristus maka segalanya bisa dihadapi. Oleh karena itu kita tidak akan takut lagi jika kita percaya dan bersandar pada kekuatan Kristus.

SETIA PADA PANGGILAN

Posted by admin on January 25, 2018
Posted in renungan 

SETIA PADA PANGGILAN

Lukas 10:1-9

Menjadi murid Kristus berarti siap untuk diutus kemana saja. Allah menempatkan dimana kita lahir dan hidup bukanlah sesuatu yang kebetulan. Artinya Allah sudah memilih dan menentukan yang terbaik untuk masing-masing umat Nya. Setiap murid Kristus diutus dimana ia tinggal dan berkarya untuk mewartakan kebaikan Allah. Dia selalu mengasihi umat Nya, dan bahkan Allah telah hadir dalam setiap hati yang percaya kepada Nya. Penyertaan Allah adalah bukti bahwa sebagai murid Kristus, kita sungguh dicintai Nya.

Pengalaman dicintai Allah inilah yang menjadi sumber dan isi dari pewartaan kita. Dalam situasi apa pun setiap murid Kristus harus menjadi saksi-saksi kebenaran Allah yang sungguh mengasihi manusia. Dalam tugas mewartakan Allah, setiap murid Kristus disadarkan bahwa ukuran dari keberhasilan seorang pewarta adalah bukan pada hal-hal materi dan fisik tetapi kesetiaan iman sampai akhir. Oleh karena itu jika dalam pelayanan dijumpai ada penolakan-penolakan, maka itu artinya kita ditantang untuk tetap bertahan dan setia melakukan apa yang baik yang menjadi tugas dan panggilan kita.

Oleh karena itu, hal-hal yang tidak menyenangkan bukan menjadi hambatan namun menyadarkan kembali bahwa mengikuti Kristus berarti siap untuk memanggul salib dan setia melakukan kehendakNya. Orang-orang yang setia pada panggilan Kristus tidak banyak hal itu menunjukkan bahwa tidak semua orang siap untuk memanggul salib, hanya orang-orang yang berani mengandalkan Allah saja lah yang mampu setia. Dengan demikian penting sekali, setiap murid Kristus menyadari bahwa “pengosongan diri” adalah jalan untuk sampai pada persatuan dengan Kristus dan kesetiaan pada Nya. Hambatan yang bisa muncul dalam diri manusia adalah kesombongan. Penyangkalan diri adalah cara untuk membentengi diri untuk tidak jatuh dalam kesombongan sehingga kita bisa selalu siap untuk mewartakan belas kasih Allah kepada sesama.

Translate »