Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Pertobatan dan Keselamatan

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 30, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-26 dalam Masa Biasa [A]
1 Oktober 2023
Matius 21:28-32

Dari konteks Alkitab, kita dapat dengan mudah memahami makna perumpamaan tentang dua putra pemilik kebun anggur. Anak yang awalnya menolak untuk taat kepada ayahnya tetapi akhirnya berubah hati melambangkan orang-orang Yahudi yang berdosa di depan umum, seperti pemungut cukai dan pelacur. Mereka memang orang berdosa, tetapi akhirnya mereka bertobat ketika mereka mendengar khotbah Yohanes dan Yesus. Anak yang pada awalnya mengiyakan ajakan ayahnya, tetapi pada kenyataannya tidak pergi ke kebun anggur, melambangkan para penatua dan pemimpin Israel. Mereka mendengar khotbah Yohanes dan Yesus, tetapi mereka tidak menghiraukan dan bahkan menganiaya mereka.

Namun, perumpamaan ini bukan hanya untuk para penatua dan pemimpin Israel pada zaman Yesus, tetapi juga untuk kita, yang memanggil Yesus sebagai Tuhan, pergi ke Gereja setiap hari Minggu, dan bahkan terlibat dalam banyak pelayanan. Perumpamaan ini sederhana dan mudah dimengerti, tetapi yang dipertaruhkan adalah keselamatan kekal kita. Pesannya jelas: setiap orang harus bertobat dan menaati kehendak Allah. Baik orang yang jauh dari Tuhan maupun mereka yang mengaku dirinya beriman dan religius, semuanya harus berjuang untuk menjadi kudus.

Kita mungkin bertanya, “Apakah tidak cukup hanya dibaptis secara Katolik?” Apakah tidak cukup baik untuk menghadiri misa setiap hari Minggu? Apakah pelayanan-pelayanan kita memiliki arti di hadapan Allah? Tentu saja, semua itu penting dalam kehidupan Kristiani kita dan juga melakukan kehendak Allah. Namun, orang-orang Farisi dan para tua-tua Yahudi pada masa Yesus melakukan hal yang kurang lebih sama. Mereka disunat saat masih bayi (seperti pembaptisan) dan belajar membaca Taurat (Kitab Suci orang Yahudi) sejak kecil. Mereka pergi ke sinagoge (tempat doa orang Yahudi) pada hari Sabat dan juga mempersembahkan kurban ketika mereka berada di Yerusalem. Mereka mungkin juga terlibat dalam banyak kegiatan keagamaan di komunitas mereka. Apa yang kita lakukan tidak jauh berbeda dengan orang-orang Farisi! Jadi, apa yang harus kita lakukan?

Dari perumpamaan ini, kita mengerti bahwa elemen kuncinya adalah melakukan kehendak Bapa dan kehendak-Nya yaitu berbalik dari dosa (atau pertobatan) dan berbalik kepada Allah (atau kekudusan). Ya, kita dibaptis secara Katolik, tetapi apakah kita yakin bahwa iman Katolik adalah iman yang menyelamatkan, dan kita siap untuk membagikannya? Ya, kita pergi ke Gereja setiap hari Minggu, tetapi apakah kita menyembah Allah yang benar atau pergi ke Gereja untuk mencari kenyamanan dan keuntungan pribadi? Ya, kita aktif dalam banyak komunitas dan pelayanan, tetapi apa gunanya jika kita menjadi sombong dan angkuh terhadap orang lain yang tidak dapat melayani seperti kita? Ya, kita menyebut diri kita sebagai pengikut Kristus, tetapi mungkin diam-diam kita tidak mau melepaskan perilaku dosa kita.

Jadi apa yang harus kita lakukan? Pertama, dalam tradisi Katolik, kita memiliki pemeriksaan batin harian, dan ketika dilakukan dengan benar, hal ini membantu kita untuk menyadari tindakan-tindakan kita dan motif di belakangnya. Kedua, bacaan rohani memperkaya jiwa kita. Kita dapat memilih dari Alkitab, kisah dan tulisan dari orang-orang kudus, atau Katekismus Gereja Katolik. Ketiga, kita mengaku dosa secara teratur. Kita tidak boleh membiarkan dosa-dosa menumpuk di dalam hati kita dan lambat laun menumpulkan hati nurani kita. Sakramen pengakuan dosa memberikan pengampunan dan mempertajam perasaan kita akan apa yang berkenan kepada Allah dan apa yang tidak. Tentu saja, ada hal-hal lain yang dapat kita lakukan, tetapi pada dasarnya, jika kita tidak sungguh-sungguh bertobat dari dalam hati kita, kita dapat kehilangan keselamatan kekal kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Repentance and Salvation

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 30, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

26th Sunday in Ordinary Time [A]
October 1, 2023
Matthew 21:28-32

From the Βiblical context, we can easily understand the meaning of the parable of two sons. The son who initially refused to obey his father but eventually changed his heart symbolizes the Jewish society’s public sinners, like the tax collectors and prostitutes. They were indeed sinners, but finally, they repented when they heard the preaching of John and Jesus. The son who initially said yes to his father but, in reality, did not go to the vineyard is representing the elders and leaders of Israel. They heard the preaching of both John and Jesus, but they refused to listen and even persecuted them.

The parable is simple and easily understood, but what is at stake is our eternal salvation. The message is clear: everyone must repent and obey God’s will. Whether the people committing grave sins or claiming themselves as faithful and religious, all have to strive for holiness. However, this parable is not only for the elders and leaders of Israel in the time of Jesus, but for us, who call Jesus Lord, go to the Church every Sunday, and even involve many ministries.

We may ask, “Is it not enough to be baptized Catholic?” Is it not good enough to attend mass every Sunday? Do our ministries have any meanings before God? Surely, these are important in our Christian life and also part of doing the will of God. Yet, the Pharisees and the Jewish elders during the time of Jesus were doing more or less the same things. They were circumcised as babies and learned how to read Torah since childhood. They went to synagogues on the Sabbath and also offered sacrifices when they were in Jerusalem. They may also be involved in many religious activities in their communities. What we do are not particularly different from the Pharisees! So, what shall we do?

Learning from the parable, the key element is doing the will of the Father and His will that we turn away from sins (or repentance) and turn ourselves to God (or holiness). Yes, we are baptized Catholic, but are we convinced that Catholic faith is a saving faith? Yes, we go to the Church every Sunday, but do we worship the true God or go to the Church to look for personal comfort and benefits? Yes, we are active in many communities and ministries, but what is the point if we become proud of ourselves and arrogant toward others who cannot serve like us? Yes, we call ourselves followers of Christ, but perhaps we are secretly clinging to sinful behaviors.

So what shall we do? Repentance can be done every moment. In Catholic tradition, we have a daily examination of conscience, and when done correctly, it helps us to be aware of our actions and motives. Secondly, spiritual readings enrich our souls. We can choose from the Bible, lessons from the saints, or the Catechism of the Catholic Church. Thirdly, we go to the confession regularly. We must not let sins pile up in our hearts and gradually dull our conscience. The sacrament of confession grants forgiveness and sharpens our sense of what is pleasing to God and what is not. Surely, there are other things we can do, but fundamentally, unless we truly repent from our hearts, we might lose our eternal salvation.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

KOMUNIKASI DENGAN TUHAN

Posted by admin on September 25, 2023
Posted in renungan 

Senin, 25 September 2023

Lukas 8:16-18

Tuhan Yesus mendorong kepada para murid-Nya untuk memberikan kesaksian iman dalam tindakan sehingga banyak orang bisa mengenal dan percaya kepada Yesus Kristus Tuhan dan diselamatkan. Dengan demikian kehadiran mereka dimana pun mereka berada dan dalam situasi apa pun yang mereka alami, mereka bisa menghantar banyak orang untuk datang kepada Tuhan Yesus. Seperti pelita yang cahayanya memancarkan kehangatan, demikian juga kesaksian hidup mereka memancarkan harapan, suka-cita, damai, pengampunan, dan keselamatan yang bersumber dari Tuhan. “Tidak ada orang yang menyalakan pelita lalu menutupinya dengan tempayan atau menempatkannya di bawah tempat tidur, tetapi ia menempatkannya di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk ke dalam rumah dapat melihat cahayanya.”(Luk 8:16).

Oleh karena itu, mereka telah menerima anugerah panggilan yang mulia untuk menyebarluarkan Kerajaan Allah, sekalipun mereka tetap sebagai pribadi yang terbatas. Namun kekuatan Roh Kuduslah yang menopang mereka untuk menjalankan Misi mulia tersebut. Dengan demikian, setiap murid Kristus telah dibekali daya Ilahi ( lewat sakramen Baptis) yang tidak akan bisa redup untuk terus menyemangati mereka dalam pelayanan demi meluaskan Kerajaan Allah. “Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita.”(2 Tim 1:14).

Oleh karena itu penting sekali menjaga komunikasi dengan Tuhan Yesus sumber kehidupan dan keselamatan, dengan cara terus menbuka hati untuk mendengarkan Sabda-Nya, sebab dari sanalah komunikasi tersebut dimulai.
“Karena itu, perhatikanlah cara kamu mendengar. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, dari padanya akan diambil, juga apa yang ia anggap ada padanya.”(Luk 8:18). Sebab dengan komunikasi yang lancar bersama dengan Kristus, maka pelita iman akan terus menyala.

Didik, CM

Hidup adalah Kristus

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 23, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: ,

Minggu ke-25 dalam Masa Biasa [A]

24 September 2023

Matius 20:1-16a

Filipi 1:20c-24, 27a

Hari ini, Santo Paulus menulis kalimat sangat menarik, “Aku rindu meninggalkan dunia ini dan bersama dengan Kristus, karena itulah yang jauh lebih baik [Flp. 1:23].” Apakah St. Paulus ini ingin mengakhiri hidupnya atau bunuh diri? Atau ada hal lain yang sebenarnya terjadi?

Kita harus memahami konteks surat Santo Paulus kepada jemaat di Filipi untuk menjawab pertanyaan ini. Surat kepada jemaat di Filipi adalah salah satu surat Paulus dari penjara [termasuk surat ke jemaat di Efesus dan Kolose]. Jika kita mengingat kembali kehidupan rasul besar ini, kita tahu bahwa Paulus dianiaya dan ditangkap oleh orang-orang Yahudi yang menentang pemberitaan Injil Yesus Kristus. Saat menghadapi pengadilannya, Paulus kemudian menggunakan hak istimewanya sebagai warga negara Romawi untuk mengajukan banding kepada Kaisar. Dengan demikian, dia dibawa ke Roma, ibu kota kekaisaran. Sementara dia menunggu Kaisar mendengar bandingnya, dia menjadi tahanan rumah, dan bahkan dirantai. Namun, ia diizinkan untuk terus mewartakan Injil dan mengirim surat ke berbagai komunitas. Salah satu suratnya adalah kepada jemaat di Filipi [lihat Flp. 1:14]. Dalam masa penantian ini, Paulus bisa saja dinyatakan tidak bersalah, tetapi ada kemungkinan besar Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Dari konteks ini, kita memahami bahwa Paulus tidak sedang berpikir bagaimana mengakhiri hidupnya, melainkan tentang kematiannya sebagai martir. Sementara bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup kita sendiri, menjadi martir adalah kematian yang disebabkan oleh kebencian terhadap iman. Namun, yang menarik adalah bagaimana Paulus bereaksi terhadap kematian sebagai martir. Ia tidak takut, tidak cemas berlebihan, dan bahkan tidak mengalami depresi. Sebaliknya, ia menunjukan diri penuh dengan sukacita. Bahkan, jika kita membaca surat kepada jemaat di Filipi, kita akan segera merasakan bahwa suasana umum dari surat ini adalah sukacita. Paulus menulis, “Bersukacitalah selalu dalam Tuhan, aku berkata, Bersukacitalah (Flp. 4:4)! Hal ini sangat membingungkan. Bagaimana Paulus dapat bersukacita ketika ia dianiaya dan menghadapi kematian yang sudah dekat?

Jawabannya adalah karena Paulus telah melihat nilai sejati dari Yesus Kristus. Paulus menulis, “Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus [Flp. 3:8].” Paulus mengerti betapa berharganya Kristus, dan karena kebijaksanaan ini, Paulus memiliki hirarki prioritas yang benar dalam hidupnya. Segala sesuatu, termasuk kehidupan itu sendiri, haruslah di dalam Kristus dan untuk Kristus. Dengan demikian, Paulus, yang telah memberikan segalanya untuk Kristus dan hidup di dalam Kristus, bersukacita dalam menghadapi kematian karena ia tahu bahwa ia akhirnya dapat bersatu dengan Kristus.

Paulus memberi kita sebuah kiat berharga untuk keselamatan: kenali Kristus, dan betapa pentingnya Dia bagi kita. Kita perlu menetapkan prioritas kita dengan benar. Kristus dahulu, dan yang lain akan jatuh pada tempatnya. Ya, kekayaan materi memang penting, makanan dan tempat tinggal sangat penting, dan pendidikan juga penting, tetapi semua itu adalah sarana untuk hidup di dalam Kristus dan untuk Kristus. Kita mungkin kehilangan uang atau harta benda, dan itu tidak masalah, tetapi jika kita kehilangan Kristus, kita akan kehilangan keselamatan dan sukacita kekal. Saat kita kehilangan Kristus, segala kesuksesan di dunia ini akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bersukacitalah karena bagi kita, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Life is Christ

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 23, 2023
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

25th Sunday in Ordinary Time [A]

September 24, 2023

Matthew 20:1-16a

Phil 1:20c-24, 27a

Today, St. Paul wrote a disturbing line, “I long to depart this life and be with Christ, for that is far better [Phil 1:23].” Did the great saint want to end his life?

We must understand the context of St. Paul’s letter to the Philippians to answer this question. The letter to the Christians in Philippi is one of Paul’s prison letters. If we recall the life of this great apostle, we know that Paul was persecuted and arrested by his fellow Jews who opposed his preaching of the Gospel. During his trials, Paul used his privilege as a Roman citizen to appeal his case to Caesar. Thus, he was transported to Rome, the capital of the empire. While he was waiting for Caesar to hear his appeal, he was under house arrest, and he was literally in chains. Yet, he was allowed to continue preaching the Gospel and sending letters to different communities. One of the letters is to the Philippians [see Phil 1:14]. Paul could be proclaimed innocent, but there was also a big possibility that Caesar placed him on death row.

From this context, we recognize that Paul was completing nothing about suicide but rather his martyrdom. While suicide is willfully taking one’s own life, martyrdom is death brought by hatred of faith. However, what is interesting is how St. Paul reacted to his martyrdom. He was not afraid, not overly anxious, and undoubtedly not depressed. On the contrary, he was full of joy. If we read the letter to the Philippians, we quickly feel that the general atmosphere of the letter is joy. Paul even wrote, “Rejoice always in the Lord, I say, Rejoice! [Phil 4:4]. Now, this is highly puzzling. How could St. Paul rejoice when he was persecuted and facing imminent death?

Firstly, we need to recognize that here, Paul did not have a mental problem that made him unable to feel pain or regulate his emotions. If we read his other letters, Paul articulated his emotions well. He was angry when he needed to correct and to grieve when his children did not live according to the Gospel. So, why joy amid suffering and in the face of death?

The answer is that Paul has seen the actual worth of Jesus Christ. Paul wrote, “I regard everything as loss because of the surpassing value of knowing Christ Jesus my Lord. I have suffered the loss of all things for his sake, and I regard them as rubbish [Phil 3:8].” Paul has the correct hierarchy of priorities in his life. Everything, including life itself, should be in Christ and for Christ. Thus, Paul, who has given everything for Christ and lived in Christ, rejoices in the face of death because he knew he could finally be united with Christ.

Paul gives us a life hack to salvation: know the value of Christ, which is eternal. We need to set our priorities right. Yes, material wealth is substantial, food and shelter are essential, and education is necessary, but these are means to live in Christ and for Christ. We may lose money or material belongings, which is okay, but if we lose Christ, we may also lose our salvation and eternal joy despite our earthly success. Thus, rejoice because, for us, life is Christ and death is gain.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »