Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

YESUS MEMBEBASKAN KITA DARI DOSA

Posted by admin on March 20, 2018
Posted in renungan 

Rabu, 21 Maret 2018

YESUS MEMBEBASKAN KITA DARI DOSA

Yoh 8:31-42

Ketika melayani misa di salah satu penjara di salah satu kota di mana saya pernah bertugas, biasanya ada penerimaan sakramen tobat sebelum misa dimulai. Di sela-sela pembicaraan, tak jarang mereka juga menceritakan pengalaman hidupnya sehari-hari. Mereka kadang menemukan arti hidup dan imannya ketika menjalani masa-masa sulit di dalam penjara. Perasaan bersalah, perasaan diasingkan, jauh dari keluarga, menumbuhkan kerinduan untuk dipulihkan dan disegarkan kembali. Pergulatan batin semacam inilah yang menumbuhkan sikap dan kehendak untuk berubah menjadi lebih baik. Disposisi batin untuk bertobat itulah yang tidak dimiliki orang-orang yahudi pada jaman Yesus seperti yang diceritakan dalam bacaan Injil hari ini.

Mereka menolak untuk percaya bahwa Yesus adalah Mesias yang diutus Bapa untuk membebaskan manusia dari penjara atau belenggu dosa.

Kita memang secara fisik tidak dipenjara oleh tirani penguasa atau penjajah, namun seringkali kita ‘dipenjara’ oleh kecenderungan-kecenderungan kita berbuat dosa, nafsu-nafsu tidak teratur. Tak jarang kita pun masuk dalam jerat dosa dan menjadi budak atau hamba dosa. Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa” (Yoh 8:34). Untuk itulah Yesus mengundang kita untuk percaya dan dengan rendah hati membangun sikap tobat. Bapa mengutus PuteraNya yang tunggal untuk menebus dosa-dosa kita melalui penderitaan sailib. Kita diundang untuk percaya kepada SabdaNya yang memberikan kehidupan kekal. Itulah yang dikatakan Yesus dalam bacaan hari ini, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku” (Yoh 8:32).

“Tuhan Yesus Kristus, tuliskanlah SabdaMu dan Cinta KasihMu dalam hati kami dan buatlah kami menjadi hambaMu dan muridMu yang setia”. Amin

JALAN SALIB, JALAN KEHIDUPAN

Posted by admin on March 19, 2018
Posted in renungan 

Selasa, 20 Maret 2018

JALAN SALIB, JALAN KEHIDUPAN

Yoh 8:21-30

Tak jarang hidup manusia seantiasa dihadapkan pada penderitaan atau kesulitan yang tidak kita harapkan. Hal itulah yang juga terjadi ketika bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir. Mereka mengalami berbagai penderitaan akibat dari keganasan padang gurun dan tentu karena dosa-dosa

mereka dan karena hati mereka begitu keras untuk taat dan mendengarkan kehendak Allah. Kemudian Allah memerintahkan nabi Musa : “ Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.” (Bil 21:8). Tanda ular tembaga itu mengingatkan bangsa Israel mengenai dua hal : sengat dosa membawa kematuian dan penderitaan dan pertobatan menuntun kepada Allah yang menyembuhkan dan berbelaskasih. Demikian juga Salib Kristus menghancurkan dan mengalahkan kuasa dosa dan memberikan pengampunan dosa, penyelbuhan, pengampunan dan hidup kekal kepada mereka yang percaya.

Pada minggu kelima dalam masa prapaskah ini, kita diundang untuk masuk dalam permenungan tentang SALIB. Bagaimana kita menemukan dan menerima Salib sebagai sumber kesembuhan, pemulihan, pengampunan dosa dan kebangkitan dalam hidup kita ? Kesembuhan dan pemulihan senantiasa juga kita rindukan di saat kita mengalami situasi yang bangsa Israel hadapi. Dosa dalam arti sesungguhnya adalah hidup yang terpisah dari Kasih Allah. Kita meninggalkan cara hidup yang berkenan di hadirat Allah. Penyakit jaman sekarang adalah menganggap Allah tidak ada atau hadir sehingga tak jarang manusia ingin “membunuh” Allah, bersikap masa bodoh akan kehadiranNya, bersikap “dingin” menanggapi kehadiranNya, sikap tidak peduli terhadap orang lain. Itulah yang terjadi pada Adam dan Hawa, mereka lari dari kehadiran Allah yang senantiasa melihat dan hadir dalam hidup kita. Padahal kehadiranNya juga memancarkan Kasih dan pengampunan. Allah adalah Bapa yang senantiasa menerima kita dengan tangan terbuka yang penuh kerahiman dan belas kasih. Kita diundang untuk menerima dan mengakui dosa dan kerapuhan kita sehingga kita terdorong untuk bertobat dan kembali kepadaNya.

“Tuhan Yesus, Engkau datang membebaskan kami dari dosa, ketakutan, keraguan dan keangkuhan kami. SabdaMu sungguh memberikan damai, suka cita dan kekuatan untuk mengalami Kasih dan Belas KasihMu”. Amin.

Keteladan hidup St. Yosef

Posted by admin on March 18, 2018
Posted in renungan 

Senin, 19 Maret 2018

Keteladan hidup St. Yosef

Mat 1,16.18-21.24a

Hari ini Gereja merayakan Hari Raya SantoYosef, suami Maria. Keempat Injil tidak banyak mengkisahkan tentang pribadi Santo Yosef, bahkan tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan oleh Santo Yosef dalam peristiwa sekitar kelahiran Yesus. Injil Lukas dan Matius menyebut namanya tetapi tidak menuliskan apa yang dikatakannya. Ia adalah seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab. Dia bersama Maria mencari Yesus di Bait Allah. « AyahMu dan saya, kami mencariMu dengan penuh kecemasan, demikian yang dikatakan Maria, ibuNya. Hal itu memberikan gambaran kepada kita siapa pribadi santo Yosef. Ia juga membawa Bunda Maria dan Bayi Yesus untuk mengungsi ke Mesir. Ketaatan dan kesetiaannya akan rencana Allah sungguh menjadi teladan bagi kita. Meski tidak ada kisah yang menceritakan akhir hidup dan kematiannya, tanpa diragukan Santo Yosef adalah gambaran indah seorang ‘Ayah’, seorang kepala keluarga yang juga menampilkan seorang pribadi yang taat kepada kehendak Allah, yang setia memegang janji, yang sederhana dan sekaligus pribadi yang hening menerima segala kesulitan.

Dari kisah Injil yang kita renungkan hari ini, kita diundang merenungkan dua keteladanan yang ditunjukkan oleh pribadi santo Yosef. Yang pertama adalah sikap taat, menerima kehendak Allah. « Yosef, anak Daud jangan takut mengambil Maria sebagai isterimu », demikian sapaan malaikat Gabriel kepadanya. Dan ia pun taat kepada apa yang dikehendaki Allah. Yang kedua adalah sikap untuk merenungkan segala peristiwa hidup dan akhirnya ia mampu mengambil keputusan yang benar. Santo Yosef memberikan keteladanan dalam menerima kesulitan dan sanggup menjalankan apa yang dikehendaki Allah. Masa prapaskah adalah kesempatan baik bagi kita untuk menemukan apa yang dikehendaki Allah atas hidup kita.

“Allah yang Maha Kasih, kami bersyukur atas keteladanan hiduup Santo Yosef. Buatlah hidup kami mampu untuk menghidupi kesederhanaan, kesetiaan dan ketaatan yang diteladankan oleh Santo Yosef.” Amin.

St Yoseph pelindung Sang Penebus (audio)

Posted by admin on March 18, 2018
Posted in Podcast 

 

 

Renungan/Podcast oleh Sr Salverina Regina PKarm

image coutersy of www.sjcratlam.com

Die and Live

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on March 17, 2018
Posted in renungan  | Tagged With:

Fifth Sunday of Lent
March 18, 2018
John 12:20-33

“Amen, amen, I say to you, unless a grain of wheat falls to the ground and dies, it remains just a grain of wheat; but if it dies, it produces much fruit. (Jn. 12:24)”

The hour of Jesus’ suffering and death has come. Jesus knows well that Jewish leaders want him dead, and there is no other punishment worse than crucifixion. Yet, Jesus does not see His suffering and death as defeat and shame, but in fact, it is the opposite. His crucifixion shall be the hour that He will be glorified and draw all men and women to Himself. It is the moment of victory because Jesus sees Himself as a grain of wheat that falls to the ground and dies, and then bears many fruits. It is not a kind of positive thinking technique to vilify the suffering or a pep talk to ignore the pain, but rather Jesus chooses to embrace it fully and make it meaningful and fruitful.

In the theological level, Jesus’ suffering, death, and resurrection are the summits of the work of redemption, our salvation. Jesus is the resurrection and life so that whoever knows and believes in Him may have the eternal life. Jesus’ choice of a grain of wheat, a basic material for making bread, may allude to the sacrament of the Eucharist through which Jesus gives the fullness of Himself to us in the form of a bread. Thus, through our participation in the Eucharist, we share this fruit of salvation.

However, through His sacrifice and death, Jesus also offers us a radical way to live this life. Truly, there is nothing wrong in pursuing wealth, success and power because these are also gifts from God and necessary for our survival and growth. Yet, when we are too captivated by these alluring things, and make other things and people simply tools to gain these, we choose to live the way of the world. Since the dawn of humanity, the world has offered us an inward-looking and self-seeking way of life. It is “Me First,” my success, my happiness at the expense of others and nature. Some people exploit nature and steal other people’s hard-earned money to enrich themselves. Some objectify and abuse even their family members, people under their care, just to have an instant pleasure. Some others manipulate their co-workers or friends to have more power for themselves. These are precisely what the world offers. These are good as far as they fulfill our transitory needs as a human being, but when we make them as the be-all and end-all, we begin losing our lives. Science calls this effect the hedonic treadmill: We work hard, advance, so we can afford more and nicer things, and yet this doesn’t make us any happier. We fail to find what truly makes us human and alive, and despite breathing, we already dying. As Jesus says, “Whoever loves his life, loses it (Jn 12:25).”

Paradoxically, it is in dying to ourselves and in giving ourselves, our lives to others that we may find life and bear fruits. Sometimes, we need to offer our lives literally. St. Maximillian Kolbe offered his life in exchange for a young man who had children in the death camp Auschwitz. Later Pope John Paul II canonized him and declared him as a martyr of charity. Not all of us are called to make the ultimate sacrifice like St. Maximillian, and we can die to ourselves in our little things, and give ourselves for others in simple ways. The questions then for us: how are we going to die to ourselves? How shall we give ourselves to others? What makes our lives fruitful for ourselves and others?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »