Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Minggu Adven II A

Posted by admin on December 6, 2025
Posted in renungan  | No Comments yet, please leave one


(Yes. 11:1-10; Rm. 15:4-9; Mat. 3:1-12)
Rm. Yohanes Endi, Pr.
Saudara-saudariku terkasih, minggu lalu kita telah memasuki masa Adven, masa yang mengundang kita untuk berjaga dan waspada, baik melalui kontemplasi dalam doa maupun aksi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Adven adalah waktu indah yang diberikan Tuhan untuk menyalakan kembali kerinduan akan kedatangan Mesias, Sang Terang yang membawa harapan baru. Dalam masa ini, tiga tokoh besar menuntun kita: Nabi Yesaya, Yohanes Pembaptis, dan Bunda Maria. Hari ini, Injil secara khusus memperkenalkan kepada kita sosok Yohanes Pembaptis yang berseru lantang mempersiapkan jalan bagi Tuhan.
Penampilan dan cara hidup Yohanes begitu sederhana dan keras, jauh dari kenyamanan manusia pada umumnya. Ia hidup di gurun Yudea, memakai pakaian dari bulu unta, berikat pinggang kulit, dan makanannya pun sangat sederhana, belalang dan madu hutan. Di tengah kesunyian padang gurun itu, ia menyampaikan seruan pertobatan dengan kata-kata tegas yang menggugah hati. Namun di balik ketegasannya, tersembunyi kerendahan hati yang mendalam. Yohanes tidak pernah memanfaatkan ketenaran atau kerumunan yang datang kepadanya. Ia tidak mengambil alih peran yang bukan miliknya. Ia tahu betul bahwa dirinya hanyalah utusan, seorang hamba yang mempersiapkan jalan bagi Dia yang jauh lebih besar. “Aku tidak layak melepaskan kasut-Nya,” katanya. Kata-kata itu lahir dari jiwa yang sungguh mengenal tempatnya di hadapan Allah.
Saudara-saudariku terkasih, kehadiran Yohanes Pembaptis adalah penggenapan dari nubuat Nabi Yesaya yang telah disampaikan delapan abad sebelumnya. Yesaya berbicara tentang sosok yang berseru-seru di padang gurun: “Persiapkanlah jalan bagi Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.” Bacaan pertama hari ini pun membawa kita pada gambaran indah tentang Mesias yang akan datang dari keturunan Daud: “Sebuah tunas akan keluar dari tunggul Isai.” Gambaran ini menyampaikan kepada kita bahwa ketika segala sesuatu tampak mati dan tidak lagi memiliki harapan, Tuhan menumbuhkan sesuatu yang baru. Tunas kecil itu adalah tanda bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan umat-Nya.
Roh Tuhan akan menyertai Mesias dengan segala kepenuhan: roh hikmat, pengertian, nasihat, keperkasaan, pengenalan, dan takut akan Tuhan. Karena itu, kedatangan Mesias menjadi kabar penghiburan bagi bangsa Israel yang saat itu merindukan pemimpin sejati, pemimpin yang membawa keadilan dan kedamaian. Yesaya menggambarkan damai itu dengan lukisan alam yang sangat menyentuh: serigala tinggal bersama anak domba, macan tutul berbaring di samping anak kambing, dan
anak sapi bergandengan dengan singa muda. Sebuah harmoni yang begitu indah, di mana tidak ada lagi ketakutan, ancaman, atau saling memangsa.
Namun ketika kita melihat dunia saat ini, kita mungkin bertanya dalam hati: Jika Mesias telah datang dua ribu tahun lalu, mengapa masih ada perang, kekerasan, dan permusuhan? Kita melihat penderitaan di berbagai belahan dunia: peperangan yang merenggut banyak nyawa, kebencian yang merusak relasi, dan kekerasan yang meruntuhkan martabat manusia. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai bahwa yang kuat menekan yang lemah, bukan untuk mengasihi tetapi untuk memanfaatkan atau menaklukkannya. Semua ini terasa jauh dari gambaran damai yang disampaikan Nabi Yesaya.
Saudara-saudariku terkasih, Yesaya sesungguhnya tidak sedang menawarkan mimpi kosong. Ia menunjukkan kepada kita perspektif ilahi, bahwa damai sejati telah dimulai oleh Mesias. Damai itu sudah ditanam dalam hati dunia, bagaikan benih yang siap tumbuh jika manusia mau menyambutnya dengan hati yang terbuka. Mesias telah datang membawa terang dan harapan; kini kita yang diundang untuk memelihara dan mengembangkannya melalui kasih yang sabar dan ketulusan hidup setiap hari.
Karena itu, undangan Yohanes Pembaptis untuk bertobat bukan hanya ajakan moral, tetapi undangan untuk membiarkan damai Allah tumbuh dalam hidup kita. Pertobatan adalah cara kita menyambut Mesias agar damai itu benar-benar hadir di rumah kita, di komunitas kita, di lingkungan kerja kita, dan di dunia yang lebih luas.
Marilah kita mulai dari hal-hal sederhana: saling memaafkan dalam keluarga, memilih kata-kata yang meneguhkan, bersedia mendengarkan, dan mau melayani tanpa pamrih. Dan yang tak kalah penting, marilah kita belajar rendah hati seperti Yohanes Pembaptis, menempatkan Tuhan sebagai pusat hidup kita sehingga hanya nama-Nya yang semakin dimuliakan.
Semoga masa Adven ini menjadi waktu di mana hati kita dipenuhi damai, diperbaharui oleh harapan, dan dipersiapkan dengan indah untuk menyambut kedatangan Tuhan. Kiranya kita semua menjadi pembawa damai di mana pun kita berada. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

Dua pesan Injil ini juga untuk kita?

Posted by admin on December 5, 2025
Posted in Podcast  | No Comments yet, please leave one

Rm Gunawan Wibisono O.Carm

Audio Podcast Link

Rm Gunawan Wibisono O.Carm

Audio Podcast Link

Kita pun diajak mewartakan Injil Allah

Posted by admin on December 2, 2025
Posted in Podcast  | No Comments yet, please leave one

Rm Gunawan Wibisono O.Carm

Audio Podcast Link

“Injil yang Hidup”

Posted by admin on December 2, 2025
Posted in renungan  | No Comments yet, please leave one

Renungan 3 Desember 2025

Injil Markus 16:15–20

Rm Yusuf Dimas Caesario

Bayangkan jika Yesus hari ini mengetuk pintu rumah kita, bukan untuk mengajak kita ke Yerusalem, tetapi ke whatsapp group keluarga, ke ruang rapat paroki, ke timeline Facebook, atau sekadar ke tetangga sebelah rumah yang sulit tersenyum. Mungkin Ia tak berkata, “Pergilah ke seluruh dunia,” tetapi, “Pergilah ke seluruh sudut hidupmu, tempat Injil belum pernah bersuara.”

Tantangan terbesar pewartaan bukan pada jarak, tapi pada keberanian untuk memulai—bahkan dari jarak sedekat hati sendiri. Kadang kita ingin dunia berubah, tapi kita diam saja. Kita ingin orang lain bertobat, tapi kita nyaman dalam zona aman. Kita membicarakan Injil, tetapi tidak menampilkan wajah Injil.

Yesus tidak meminta kita menjadi pengkhotbah hebat. Ia hanya ingin kita hadir sebagai kabar baik. Seorang ibu yang tetap sabar ketika anaknya keras kepala; seorang karyawan yang tetap jujur meski bisa “main aman”; seorang imam, frater, atau suster yang tidak hanya mengajar tentang Tuhan, tapi juga memancarkan kehadiran-Nya. Itulah pewartaan Injil yang paling hidup: bukan hanya dikatakan, tapi dihidupkan.

Keajaiban bukan soal mukjizat spektakuler. Keajaiban terjadi saat seseorang yang keras kepala akhirnya mau mendengar; ketika hati yang dingin mulai peduli; ketika dosa diakui dan harapan kembali tumbuh. Itu tandanya Tuhan bekerja. Seperti janji-Nya: “Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda.” Dia tidak hanya menyuruh pergilah, tapi juga berjanji, “Aku ikut.”

Pertanyaan Reflektif:

Apakah aku sungguh membawa kabar gembira, atau hanya kabar biasa-biasa saja?

Kepada siapa aku diutus hari ini—bukan jauh, tapi dekat—yang perlu mendengar Injil melalui sikap dan hidupku?

Jika hidupku adalah Alkitab, apakah orang lain ingin membacanya?

Doa:

Tuhan Yesus, utuslah aku hari ini bukan hanya untuk berbicara tentang Injil, tetapi untuk menjadi Injil yang hidup. Jadikan hatiku sukacita, wajahku murah senyum, ringan tangan, dan penuh kasih. Mampukan aku mewartakan-Mu bahkan tanpa kata, karena Engkau tinggal dan bekerja di dalamku. Amin.

Translate »