Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

The Body of Christ in Our Lives

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on August 18, 2018
Posted in renungan 

Twentieth Sunday in Ordinary Time

August 19, 2018

John 6:51-58

 

“Whoever eats my flesh and drinks my blood has eternal life…(Jn. 6:54)”

 

From Jesus’ time until the present time, the Eucharist is one of Jesus’ most difficult teachings to understand, less to believe. People can easily agree with Jesus when He says that we need to love our neighbors as ourselves. People may have a difficult time to forgive and to love one’s enemy, but they will accept that vengeance and violence will not solve any issue. Perhaps, it is easier if we are simply to accept Jesus with our whole heart and believe that we are saved. However, Jesus does not only teach those beautiful things. Jesus goes to the very length of the Truth about our salvation. He is the Bread of Life, and this Bread of Life is His flesh and blood. Jesus does not only ask us to believe but to eat His flesh and drink His blood so that we may have eternal life.

For the Jews during that time, to eat human flesh is a total abomination and to drink blood, even the blood of an animal, is forbidden. Thus, when Jesus tells them to consume His Flesh and Blood, many Jews would think that He must be out of His mind. The people are following Jesus because they witness Jesus’ power in multiplying the bread, and they want to make him their leader. Yet, Jesus reminds them that they miss the mark if they simply follow Him because he feeds them with the ordinary bread. They should work for the Bread of Life that is Jesus Himself. Many of Jesus’ initial followers murmur, and eventually, they leave Him, because of this very hard teaching.

Going to our time, Eucharist remains the most difficult to understand. Are this small white tasteless bread and a drop of wine truly the Body and Blood of Christ? How can this ordinary food contain the fullness of Jesus’ divinity and humanity? Why should we bend our knee in adoration before an ordinary thing? The greatest minds ever born, from St. Paul to our contemporary scholars, have tried to explain the mystery, but none of their explanation is adequate. St. Thomas Aquinas who was able to write one of the most profound explanations of the Eucharist, eventually had to admit that this is the mystery of faith. He wrote in his hymn to the Blessed Sacrament, Tantum Ergo, “Præstet fides supplementum, Sensuum defectu (Let faith provide a supplement, for the failure of the senses).”

Indeed, the greatest faith is needed to accept the greatest mystery, because the humblest form of food brings us to the eternal life. Yet, this becomes one of the most beautiful Good News Jesus brings. The eternal life is not something only we gain an afterlife, but Jesus makes this life available here and now.  If God is truly present in this small bread, then He is also present in our daily life, no matter ordinary it is. If Jesus is broken in the Eucharist, so He is embracing us in our darkest and broken moments in life. If Jesus who is the Wisdom of God, is contained in this little host, this Wisdom provides us with true meaning in our seemingly senseless lives.

What I am ending my pastoral work in the hospital, and one thing I most grateful is that I am given an opportunity to walk together with many patients, and to minister the Holy Communion to them. The Eucharist as the real presence of Christ becomes their consolation and strength. It becomes the greatest sign that God does not abandon them despite unsurmountable problems they need to face. Through the Body of Christ in the Eucharist and the Word of God in the Bible, we together journey to find meaning in the midst of painful and broken reality of sickness and death. In the Eucharist, our life is not just a bubble of intelligence in the endless stream of meaningless events, but participation in the eternal life of God.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

SUKACITA DI DALAM KRISTUS (audio)

Posted by admin on August 18, 2018
Posted in Podcastrenungan 

oleh Sr Jacinta PKarm

Sabtu, 18 August, 2018
Yehezekiel 18:1-10, 13b, 30-32
Matius 19:13-15
Saudara-saudari terkasih,
Satu pesan singkat untuk kita dari bacaan pertama pada akhir minggu ini: “Orang saleh akan hidup; orang yang tidak bertobat akan mati.” Allah akan menghakimi setiap orang sesuai dengan apa yang dilakukannya, apakah perbuatan itu baik ataupun jahat. Pada akhir bacaan pertama hari ini dikatakan: “Buangkanlah dari padamu segala durhaka yang kamu buat terhadap Aku dan perbaharuilah hatimu dan rohmu! Oleh sebab itu, bertobatlah, supaya kamu hidup!”
Selanjutnya Injil hari ini diceritakan: “bahwa anak-anak dibawa kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tanganNya atas mereka dan mendoakan mereka;” Tetapi ketika para murid melihat itu mereka merasa bahwa anak-anak itu sungguh-sungguh sangat mengganggu, atau mereka merasa sangat terganggu oleh kehadiran anak-anak itu. Namun Yesus menanggapi reaksi para murid itu dengan mengatakan: “Biarkanlah anak-anak itu, jangan menghalang-halangi mereka datang kepadaKu; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.”
Oleh karena itu saudara-saudariku terkasih,
Kunci untuk bisa masuk ke Kerajaan surga adalah hidup saleh, dan menjadi seperti anak kecil. Apa yang dapat kita response dari pesan ini? Dalam kitab nabi Yehezekiel untuk pertama kali kita lihat bahwa ada pendapat yang mengatakan: “dosa tidak pernah akan diturun- temurunkan lagi dari orangtua.” Siapa yang bersalah dihukum, tetapi anak-anaknya tidak akan dipengaruhi oleh kesalahan orangtuanya lagi. Namun Allah tetap setia dan penuh belaskasih kepada bapak dan anak, karena janjiNya akan terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Suatu perjanjian yang akan mengatasi kematian karena dosa-dosa para leluhur; suatu perjanjian yang akan membuka pintu surga untuk setiap orang yang hidup sesuai dengan hukum-hukumNya dan yang setia menjalaninya. Karena Allah mengatakan: “Buangkanlah dari padamu segala durhaka yang kamu buat terhadap Aku dan perbaharuilah hatimu dari rohmu! Mengapakah kamu akan mati, hai kaum Israel?…bertobatlah, supaya kamu hidup!”
Jadi dengan pernyataan diatas, kehadiran anak-anak dalam bacaan Injil hari ini menjadi lebih jelas maksudnya. Kita yang hidup dalam Perjanjian Baru adalah anak-anak itu. Kita adalah orang yang sudah diselamatkan dan dibebaskan dari dosa leluhur kita, dan kita mempunyai kehendak bebas dan tanggunjawab – untuk hidup suci. Semangat hidup seperti anak-anak dan bukan berarti menjadi kekanak-kanakan, menolong kita untuk hidup polos dalam bersyukur, bergembira atas segala rahmat dan berkat yang diperoleh dan yang rela mengikuti bimbingan Roh Allah kepada kehidupan yang bahagia. Semoga kitapun dapat berusaha untuk hidup suci, memelihara semangat hidup seperti anak-anak yang penuh penyerahan kepada Tuhan.
Saudara-saudariku terkasih,
Semoga pesan dari kedua bacaan hari ini menolong kita untuk menjadikannya bahan renungan yang berarti supaya selalu dapat  berjalan dalam kebajikan dengan penyerahan yang total kepada Allah seperti anak-anak yang datang kepada Yesus. Dan sebagai ahliwaris dari keselamatan yang telah dijanjikan kepada para leluhur kita, dan yang telah diperbaharui lagi oleh Yesus Putera Allah, maka kitapun dengan penuh keyakinan mau berdoa: Semoga rahmat dan berkat Allah akan senantiasa menyertai dan mewarnai kehidupan kita dengan menjalankan perintah-perintahNya. Amin.
Hari Kamis, 16 August, 2018
Ezekie 12:1-12
Matius 18:21-19:1
Saudara-saudariku terkasih,
Bacaan-bacaan hari ini, membawa kita kepada suatu permenungan tentang beban dan konsekwensi dosa ataupun kesalahan yang kita perbuat disatu pihak dan kesediaan kita untuk mencari ataupun menemukan pengampunan pada pihak yang lain.
Dari bacaan pertama, Allah lewat nabi Yehesekiel mengingatkan bangsa Israel supaya keluar dari dunia para pemberontak melalui tindakan symbolis. Keluar dari daerah mereka yang “mempunyai mata untuk melihat tetapi tidak melihat dan yang mmempunyai telinga untuk mendengar, tetapi tidak mendengar.” Dengan tindakan symbolis itu mereka harus keluar dari daerah kaum pemberontak sambl memikul barang-barang mereka pada siang dan malam hari dan Yehezekiel sendiri akan membuat lobang di dinding tembok itu. Tindakan symbolis ini mempunyai arti yang sangat dalam bahwa akan ada dinding pemisah antara dia dan komunitasnya, dan dalam hal ini adalah Allah. Sambil keluar ia harus menutup mukanya, dan apabila ditanya, katakanlah: “Ucapan ilahi ini mengenai raja di Yerusalem dan seluruh kaum Israel yang tinggal di sana.”
Saudara-saudari terkasih,
Kalau kita berdosa, maka kita perlu dikirim di dunia pembuangan, tetapi sebenarnya pembuangan itu ada di dalam diri kita sendiri. Karena baik secara psikologis, emosional dan maupun spiritual adalah konsekwensi dari dosa yang kita lakukan itu membuat hidup kita terisolasi. Kita secara otomatis mengisolasikan diri dari Tuhan dan dari satu sama lain. Seperti raja dalam bacaan pertama tadi “yang di tengah-tengah mereka akan menaruh barang-barangnya ke atas bahunya pada malam gelap dan akan pergi keluar; orang akan membuat sebuah lobang di tembok supaya ada baginya jalan keluar; ia akan menutupi mukanya supaya ia tidak akan melihat tanah itu.”
Sementara Yesus dalam bacaan injil hari ini tidak hanya memberi kita resep untuk keluar dari belenggu dosa itu, tetapi bagaimana secara bertahap kita harus dapat mengetrapkannya dalam kehidupan kita setiap hari. Proses pengampunan dan belaskasihan kepada sesama secara psikologis akan membebaskan kita dari belenggu rasa dendam dan marah. Dan kalau pengampunan dan belaskasih itu telah membawa orang ke pertobatan maka yang bersangkutan akan bebas dari rasa malu dan kembali menemukan martabatnya. Sebaliknya, kitapun dibebaskan oleh pengampunan dan belaskasihan Allah yang dapat kita teruskan itu kepada sesama, kalau kita sendiri rela bertobat.
Saudara-saudari terkasih,
Yesus mengatakan: kita harus mengampuni sesama kita tujuhpuluh kali tujuh kali.Tentu saja tidak dapat ditafsirkan secara harafiah, teapi suatu pengampunan tanpa batas (limitless). Tentu saja dalam hal mengampuni sesama, kita tidak harus membiarkan diri kita tenggelam dalam situasi dosa, berarti tanpa memberi kesempatan lagi kepada orang lain untuk berbuat dosa atau kesalahan lagi. Kita masih bisa memberikan pengampunan dalam jarak jauh, atau dengan pengampunan yang diberikan tidak berarti kita lalu mau mengatur dan merobah orang itu. Orang itu masih tetap mempunyai kebebasan untuk menyimak rahmat pengampunan yang diberikan kepadanya.
Dengan demikian kita memungkinkan cinta untuk terus mewarnai kehidupan kita, dan membuka hati agar Tuhan terus tinggal dalam diri kita. Berarti kita mau menyerahkan semua pergolakan hidup ini kepada Tuhan dan memberi kesempatan kepada RohNya yang Kudus untuk menyembuhkan segala luka batin kita, memurnikan kenangan lama yang dirasa melukai batin kita dan dipersembahkan dalam doa-doa kita.
Oleh karens itu ketika kita mampu mempersembahkannya dalam doa-doa kita khusus bagi mereka yang telah melukai kita, maka tanpa kita sadari Yesus sendiri telah membuka hidup kita untuk menerima rahmat dan berkat Allah dan kita pun merasa bebas dari rasa dendam dan marah yang berkepanjangan. Dengan demikian kitapun akan merasa lega, bebas, dan memungkinkan kita untuk bisa berdoa untuk orang yang melukai kita dengan sepenuh hati, Kitapun bisa dengan lega berdoa untuk rahmat Tuhan supaya selalu bekerja di dalam diri kita. Amin.

Cinta dan kesetiaan Allah kepada umatNya, abadi.

Posted by admin on August 15, 2018
Posted in renungan 

Yehezekiel 16:1-15, 60, 63
Matius 19:3-12
Saudara-saudari terkasih,
Sepintas, bacaan-bacaan hari ini sepertinya tidak punya kesulitan mengingatkan kita bahwa kita adalah manusia yang tidak sempurna. Hal itu benar, bahwa kadangala kita begitu gampang menjadi orang yang tidak bisa bersyukur, tidak bisa setia, keras kepala dan mudah tidak taat kepada Allah. Pernyataan itu benar karena apapun yang kita ucapkan diatas kedengarannya sangat tidak enak untuk diingat ataupun dinyatakan. Tetapi bukan tidak mungkin  bahwa teguran yang mengingatkan kita akan pernyataan itu akan sangat membantu kita dalam usaha untuk menilai dan mengoreksi kepekaan kita kepada suara hati kita dari hari ke hari.  Supaya kita selalu sadar bahwa kita selalu berada di jalan yang benar. Dengan sendirinya kitapun akan diingatkan bahwa Sabda Tuhan hari ini tidak hanya tentang diri dan kehidupan kita tetapi juga tentang kehadiran Allah dalam kehidupan kita.
Para ahli kitab Suci menafsirkan bacaan pertama dari kitab Yehezekiel sebagai suatu alegori tentang relasi antara kaum Israel dengan Allah. Suatu ungkapan yang sangat romantis melalui suatu proses keintiman yang luar biasa. Tetapi pada akhirnya orang yang dikasihi itu bahkan mengkhianati cinta Allah. Meskipun demikian jahatnya manusia itu Allah tetap setia dan terus menyatakan cinta dan perhatianNya kepada umatNya. Dan kita tahu bahwa cinta Allah tidak hanya abadi, tetapi lebih dari itu cinta Allah itu dinyatakan dalam diri PuteraNya sendiri.
Saudara-saudari terkasih,
Berangkat dari bacaan pertama hari ini kitapun sekali lagi oleh Matius dalam bacaan Injil hari ini disuguhkan lagi dengan peristiwa cinta Allah yang luar biasa dimana Allah memberikan sesuatu yang terbaik untuk kita. Sebagaimana Allah menyatakan cintaNya yang tak terbatas dalam kehidupan ini, maka kepada kita diberikan kesempatan untuk melihat dan menemukan keindahan cinta abadi Allah dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu kepada kaum Pharisi Yesus memberikan jawaban yang berhubungan dengan hakekat sakramen perkawinan yakni monogamy, tak ada perceraian dan setia sampai mati. Perkawinan itupun melambangkan hubungan yang tak terpisahkan antara Kristus dan GerejaNya. Dan sebagai sakramen, perkawinan itu memberi kesempatan kepada pasangan untuk saling mencintai dengan rahmat Allah seperti Kristus telah menyatakan cintaNya kepada GerejaNya.
Dengan kata lain fokusnya tidak terletak pada hukum perceraian, tetapi pada keindahan, dan kekuatan serta kebahagiaan dari sakramen perkawinan itu. Janji nikah harus terpancar  dari ketakterpisahnya janji Allah kepada umatNya, suatu sakramen yang mencerminkan dan mencontohi relasi kita dengan Allah. Meskipun secara sipil diberikan surat cerai, bukan berarti decree itu membatalkan keabsahan cinta dan janji kestiaan Allah kepada kita umatNya
Oleh karena itu kebenaran ini membuat kita menjadi lebih yakin dan percaya bahwa “yang telah disatukan Allah tidak boleh dipisahkan oleh manusia.” Karena janji Allah kepada umatnya adalah abadi. Marilah kita bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi kita kesempatan untuk menghadirkan cinta dan kasih setiaNya agar kita pun mammpu merealisasikan cinta dan kasih Allah itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Amin.
Translate »