Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Yohanes Pembaptis

Posted by admin on December 22, 2020
Posted in renungan 

Rabu, 23 Desember 2020, Luk 1: 57-66

            Kelahiran Yesus dipersiapkan oleh Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan. Kisah Zakaria dan Elisabet yang dikaruniai anak di usia lanjut, menjadi tanda belaskasih Allah. Oleh karena itu mengapa Elisabet menamainya dengan Yohanes, yang artinya Allah yang baik dan murah hati. Kemudian undangan Allah tentang pertobatan diserukan oleh Yohanes Pembaptis. Pertobatan itu mengandaikan sikap kerendahan hati seperti yang diserukan oleh Nabi Yesaya, “luruskanlah jalan,…lembah ditimbun dan bukit diratakan” Ungkapan itu mempertegas seruan pertobatan.

            Allah senantiasa berbelas kasih dan penuh pengampunan. “Tuhan sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.” (2 Ptr 3:9). Masa Advent ini adalah masa pertobatan yang mempunyai dua makna:  pertama, berbalik kepada Allah, orientasi hidup kita diubah. Cara pikir kita juga diubah, misalnya dari sikap mudah menghakimi menjadi sikap yang mendengarkan terlebih dahulu, hidup yang tidak disiplin menjadi hidup yang disiplin waktu, aturan bersama dsb. Sikap ketidaksetiaan menjadi sikap mau mengambil resiko, berjuang dalam kesetiaan meski berat dan sulit jalannya. Bertobat berarti kembali pada jalan yang benar, dan dikehendaki Allah.

            Kedua, bertobat berarti juga berani mengubah mentalitas kita. Perubahan hidup kita tidak berhenti pada ide-ide, rencana-rencana belaka. Tetapi perubahan hidup itu konkrit. Roh jahat seringkali menggoda kita dengan ajakan untuk merencakan banyak hal untuk diubah sehingga yang terjadi kita berhenti hanya pada rencana belaka. Oleh karena itu hindarilah mempunyai banyak rencana pertobatan, berlembar-lembar kalau ditulis. Cukup lakukan pertobatan satu hal saja, tetapi dilakukan dan sungguh-sunguh diwujudkan dalam tindakan. Tokoh Yohanes Pembatis menjadi seorang nabi yang menyerukan pertobatan itu. Baptisan Yohanes dengan air adalah tanda pertobatan, sebagai simbol membersihkan. Sedangkan baptisan Yesus dengan  Roh Kudus, adalah tanda pengampunan dosa.

            Dalam masa adven ini, perlulah kita sejenak mengambil waktu hening, mendalami Sabda Allah, melakukan kebiasaan pemeriksaan batin dan membangun sikap menunggu yang aktif: berjaga, hidup penuh kesadaran, tubuh-jiwa/pikiran-roh kita bersatu. Kita pun melambungkan pujian : Perlihatkanlah kepada kami kasih setia-Mu, ya Tuhan.

Kerinduan dan kehausan akan kehadiran Allah

Posted by admin on December 21, 2020
Posted in renungan 

Selasa, 22 Desember 2020, Luk 1: 46-56

            Dalam suatu webinar, beberapa umat mengungkapkan kerinduan untuk hadir secara fisikuntuk merayakan ekaristi bersama di Gereja dan menerima komuni kudus. Situasi pandemi seperti saat ini telah mengubah kebiasaan hidup kita dalam berbagai hal, cara beribadah, cara belajar, cara bekerja dan sebagainya. Kerinduan dan kehausan akan ekaristi juga menjadi rahmat bagi kita untuk menghayati betapa mengagumkan karya keselamatan Allah yang dinyatakan dalam ekaristi. Kerinduan itu menjadi pintu masuk untuk menghayati secara lebih mendalam arti dan makna ekaristi. Ekaristi menjadi tanda kehadiran Allah melalui diri Yesus yang mengurbankan diri demi cinta kepada umat manusia. Karya keselamatan Allah itulah yeng menjadi ungkapan magnificat Bunda Maria.

            Injil hari ini menuturkan kidung Magnificat Bunda Maria yang mengungkapkan kegembiraan dan sukacita karena kehadiran Yesus. Kidung Magnificat menjadi doa Bunda Maria yang taat dan beriman kepada Allah. Kidung Magnificat mengajarkan kepada kita, mengenai pentingnya kerendahan hati dan kesederhanaan. Orang yang rendah hati dan sederhana akan dimampukan untuk mengalami kegembiraan dan sukacita. Rasa syukur dan kebahagiaan yang sejati itu juga bersumber dari keutamaan kerendahan hati dan kesederhanaan. Marilah kita belajar dari Bunda Maria agar kita mampu menjadi rendah hati dan sederhana dalam menyambut Yesus yang hadir dan memperbarui hati dan hidup kita.

“Tuhan Yesus, bantulah kami untuk menyambutMu dengan iman dan kerendahan hati. Tambahkanlah iman kami dan kuatkanlah harapan kami sehingga hati kami terbakar oleh cintaMu”

Sukacita sejati

Posted by admin on December 20, 2020
Posted in renungan 

Senin, 21 Desember 2020, Luk 1 : 39-45 

            Hari ini, teks Injil yang kita renungkan adalah salah satu peristiwa gembira dalam doa Rosario, yaitu “Maria mengunjungi Elisabet, saudarinya”. Suatu kegembiraan yang begitu mendalam karena kehadiran Yesus di dunia. Kegembiraan Maria berasal dari panggilan atau tugas perutusan dari Allah sendiri untuk menjadi ibu Yesus. Kegembiraan yang berasal dari Roh Kudus. Kegembiraan dan sukacita Bunda Maria sungguh mengalir dari kedalaman hatinya. Bukanlah suatu hal mudah menerima tugas dan panggilan sebagai ibu Yesus. Hal itu terungkap dalam kata-kata Maria: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Namun tugas dan panggilan tersebut menjadi rahmat kegembiraan dan sukacita dari Allah. Itulah yang dialami oleh Bunda Maria. Kegembiraan Bunda Maria juga dibagikan kepada Elisabet, saudarinya. Kegembiraan itu tidak dapat dilepaskan dari iman. Allah menganugerahkan kegembiraan dan sukacita agar kita mampu menghadapi sukacita dan penderitaan.

            Bersama Bunda Maria dan Elisabet, kita memohonkan rahmat kegembiraan dan sukacita menyambut Yesus dalam hati kita, terlebih dalam kondisi pandemi ini. Bacaan hari ini mengundang kita untuk menemukan kegembiraan dan suka cita yang bersumber dari kehadiran Yesus di dunia. Bunda Maria bersukacita karena dipilih Allah menjadi bunda Yesus. Demikian juga Elisabet mengalami sukacita karena kunjungan Bunda Maria yang dikandung dari Roh Kudus.  Sukacita dan kegembiraannya terungkap dari salam yang disampaikan Elisabet: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu” (Luk 1:42). Sudahkah kita juga mengalami kegembiraan dan sukacita karena kehadiranNya? Marilah bersama Bunda Maria, kita berbagi kegembiraan dengan orang lain dan bersama Elisabet kita bersyukur dan berseru siapakah aku ini, sampai Ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?

“Tuhan Yesus penuhilah kami dengan Roh Kudus dan berikanlah kami, kegembiraan dan sukacita karena kehadiranMu. Tambahkanlah iman, harapan serta cinta kami kepadaMu dan sesama”

Mary’s Fiat

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 19, 2020
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

Fourth Sunday in Ordinary Time [B]

December 20, 2020

Luke 1:28-36

Christmas is fast approaching, and the Church is inviting us to reflect on the story of the Annunciation. Allow me to once more focus on the Blessed Virgin’s Fiat. To appreciate her answer to God’s will and plan, we need to see at least two things. Firstly, it is her historical and social context. Secondly, it is the language analysis of her response.

Mary was a young girl. According to tradition, she was around 13 or 14 years old when she got married. For many of us, living in urban settings, Mary’s marriage was remarkably too early. But, this kind of practice was nothing but expected. Lives were hard, and many people died too young due to sickness, famine, calamity, or wars. To sustain a healthy number of populations, young girls were prepared for the duty of motherhood.

Mary was betrothed to Joseph from the family of David. In the Jewish community, betrothal is the first formal step in a Jewish marriage. The exchange of vows was done in this betrothal. Mary and Joseph were spouses in the eye of Jewish law and society, except for the intimate relationship. The couple had to wait around one year before the bride moved to the house prepared by the groom from the betrothal. Usually, there was a light procession from the bride’s original place to the new house, where the wedding ceremony and reception would occur.

Legally, Mary was Joseph’s wife, and if something wrong happened, it was judged to be adultery. The Law of Moses abhors adultery since it reflects Israel’s infidelity toward Yahweh, breaking the sacred covenant. Thus, for those who were unfaithful, severe punishment awaited them. In Deu 20:22, the Torah explicitly stated that if a betrothed woman commits adultery, she and the man shall be stoned to death.  As a good Jew, Mary was aware of this terrible consequence when archangel Gabriel announced the glad tiding. If she gave her affirmation, she might face certain, untimely death. Nobody would believe her if she tried to defend her supernatural virginal conception. “She must be insane!” some would say. However, despite this imminent horrible future, Mary accepted her mission.

Now, why did she say her Fiat? I used to think that Mary’s fiat is about surrendering everything to God.  She did not understand, but her faith enabled her to trust in God’s providence. In the face of ominous dangers, to have this kind of faith is extremely remarkable. However, as I read more about this Fiat, I discover that Mary’s Fiat is more than an act of self-surrender. The Greek word used by Mary is “genomai.” This word is rather special because it expresses not an act of submission but an act of longing. This tiny detail spells the great difference. Mary did not just submit to the will of God, but she longed to do it. She was not passively accepting her fate but rather proactively fulfilling God’s plan in her. There were no traces of fear, doubt, and worry. Her yes was driven by passion, hope, and eagerness. Despite bleak tomorrow, she knew that she was about to depart into an unimaginably amazing journey. For her, the Lord’s plan is always the best and the only way to reach our utmost potential.

Do we have what it takes to have Mary’s Fiat?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Rejoice Always!

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on December 12, 2020
Posted in renungan  | Tagged With: , ,

Gaudete Sunday. Third Sunday of Advent [B]

December 13, 2020

John 1:6-8, 19-28

This Sunday is special. We are still in the season of Advent, and yet we see a different liturgical color. It is a rose color [not pink!]. This beautiful color symbolizes joy and hope, and it is in line with the spirit of the third Sunday of Advent, the Gaudete Sunday. Gaudete is a Latin word meaning “Rejoice!” The name is rooted in the introit or the opening antiphon of the Mass, from Phil 4:4-5, “Rejoice in the Lord always; again I will say, Rejoice. 5 Let your gentleness be known to everyone. The Lord is near” In the second reading, St Paul reiterates the motif, “Rejoice always. Pray without ceasing. In all circumstances give thanks, for this is the will of God for you in Christ Jesus. [1 The 5:16].”

Yet, the real question is, “Is the Church too naïve in inviting us to rejoice in these difficult times?” This deadly and fast-spreading virus covid-19 has devastated practically the entire planet. While it does not physically destroy the earth like a nuclear bomb, it does kill countless people. It slows down the economy and forces many governments, even the strongest, to panic and struggle. The number of victims keeps increasing, and there is no sign of abating. Indeed, we are going to have a different experience of Christmas this year. Indeed, covid-19 is not the only thing that makes our day so bad. Personal issues, family problems, conflicts in the community, and many other things are still haunting our lives. How do you expect us to rejoice? If we examine the words of St. Paul in 1 Thes 5:16, we discover that to rejoice is not an option, but God’s will for us! It gives us more reason to ask how it is possible?

The key is to understand joy neither as a simple absence of pain nor bodily and emotional pleasure. The Greek word is “kaire” and Angel Gabriel uses the same word to address Mary [Luk 1:28]. If we look at the life of Mary, she does not have a fairy-tale-kind life. Her life will turn upside-down, a sword will pierce her soul, and she will see her son die on the cross. Nothing pleasurable and sensational about that! Yet, she says, “My spirit rejoices in God my savior [Luk 1:47]! Mary is able to discover something precious despite tons of ugly things in her life. She discovers Jesus.

In 1 The 5:16, rejoice cannot be separated from unceasing prayer and giving thanks in all circumstances. That is another key. Through prayer, we are connected to God, and in prayer, we learn to see God and His plan in our lives. Sometimes, we can only see good things in good time, but the Gospel has told us the opposite: there is God in the dirty manger, and even there is God on the horrible cross. When we see God in these broken pieces of lives, we cannot but give thanks. And, when we are always grateful, we are inspired to rejoice.  That is the spirit of Christmas, and we are trained in the school of Gaudete Sunday.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Check also my youtube channel “bayu ruseno” for more videos on catholic faith..

Translate »