Minggu Biasa ke-18 [B]
1 Agustus 2021
Yohanes 6:24-35

Banyak orang mencari Yesus karena mereka ingin makan roti lebih banyak, mereka berharap perut mereka kenyang. Namun, Yesus mengingatkan mereka agar mereka tidak mencari makanan yang dapat binasa, melainkan makanan yang bertahan untuk hidup yang kekal. Sayangnya, mereka gagal untuk paham. Mereka mengira makanan yang Yesus beri seperti manna Perjanjian Lama yang terus-menerus diberikan kepada orang Israel di padang gurun selama empat puluh tahun. Mereka mengira bahwa akan ada roti bagi mereka setiap hari secara cuma-cuma. Perut mereka selalu terisi dan mereka selalu dijauhkan dari penderitaan. Namun, ini bukanlah roti yang Yesus tawarkan.

Kembali ke Perjanjian Lama, kita mendengarkan kisah orang Israel yang mengeluh karena lapar. Namun, hanya beberapa jam sebelumnya, mereka baru saja menyaksikan bagaimana Tuhan melalui Musa membelah laut merah dan menghancurkan kekuatan besar Mesir. Mereka tahu betul bagaimana Tuhan membuat orang Mesir bertekuk lutut dengan 10 tulah. Namun, ketika perut mereka kosong, mereka melupakan semua ini, dan menuntut kembali ke tanah perbudakan. Mereka bahkan menuduh Tuhan merencanakan kematian mereka di padang gurun. Dalam hal naluri bertahan hidup, orang Israel terlalu bersemangat untuk memilih perbudakan, daripada tetap setia kepada Tuhan kemerdekaan.

Yesus mengingatkan kita bahwa hidup ini lebih dari sekadar mengisi perut kita. Memang, makan dan memelihara tubuh kita adalah hal yang sangat penting, tetapi bahkan makanan fisik ini juga berasal dari pemeliharaan Tuhan. Seringkali, kita terlalu sibuk mencari roti duniawi dalam berbagai bentuknya, karier yang sukses, pengaruh politik, ketenaran, dan kekayaan. Kami mencari hal-hal ini sampai kami bersedia kembali ke perbudakan dosa, dan meninggalkan Tuhan kebebasan.

Saat pandemi ini, kita mungkin menemukan diri kita berada di posisi orang Israel. Beberapa dari kita lapar karena kita baru saja kehilangan stabilitas ekonomi kita. Beberapa dari kita sedang berjuang melawan penyakit. Beberapa dari kita kehilangan anggota keluarga tercinta. Beberapa dari kita tidak dapat melakukan apa yang dulu suka dilakukan. Beberapa dari kita tidak dapat pergi ke Gereja dan melakukan pelayanan kita. Dalam kebutuhan yang mendesak ini, kita menghadapi godaan untuk mengeluh kepada Tuhan. Kita mungkin kecewa dan marah kepada Tuhan. Kita lebih siap untuk meninggalkan Tuhan. Kita dengan mudah melupakan perbuatan-perbuatan besar yang Tuhan telah lakukan dalam hidup kita. Seperti nenek moyang kita, orang Israel, kita tenggelam dalam penderitaan kita, dan menyalahkan Tuhan atas kemalangan kita. Kita melupakan Tuhan kita yang membiarkan penderitaan ini adalah Tuhan yang mengendalikan kekuatan alam.

Mari kita belajar dari orang-orang kudus. Ignatius dari Loyola adalah salah satu contoh yang sangat baik. Dia dulunya adalah seorang pria yang haus akan kemuliaan duniawi. Bahkan, dia mempertaruhkan nyawanya hanya untuk membuktikan kegagahannya dalam mempertahankan benteng Pamplona. Namun, ketika kakinya terluka parah, dan menjadi pincang secara permanen, ambisinya hancur. Namun, pada saat yang sama, dia membaca kehidupan Kristus dan orang-orang kudus, dan dia menyadari bahwa kemuliaan yang lebih besar yang tidak dapat ditawarkan dunia. Jalan keagungan yang sebenarnya adalah bekerja untuk kemuliaan Tuhan yang lebih besar. Dia meninggalkan segalanya dan bekerja untuk makanan yang tidak akan binasa. Akhirnya, dia berakhir sebagai santo.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP