Hari Minggu ke-27 dalam Masa Biasa [A]
8 Oktober 2023
Matius 21:33-43
Filipi 4:6-9
Di akhir suratnya, Santo Paulus memerintahkan jemaat di Filipi untuk tidak khawatir. Nasihatnya tampak menghibur, namun jika kita perhatikan dengan saksama, Santo Paulus tidak hanya memberikan nasihat tetapi sebuah perintah. “Janganlah kamu kuatir! (Fil 4:6)” Namun, apakah mungkin untuk bebas dari kecemasan atau kekhawatiran? Apakah kecemasan itu? Apakah kecemasan memiliki tujuan dalam hidup kita? Dan, apa nasihat Santo Paulus untuk mengatasi kecemasan ini?
Kecemasan adalah respons alami terhadap stres atau ancaman yang dirasakan. Kecemasan memicu reaksi psikologis dan fisiologis. Kekhawatiran menyebabkan keadaan emosi yang kompleks yang ditandai dengan kegelisahan, ketakutan, kegugupan, dan bahkan kemarahan. Secara fisik, kecemasan dapat menyebabkan jantung berdebar, berkeringat dingin, tegang otot, sakit perut, dan banyak lagi. Kecemasan itu sendiri tidak berbahaya dan dapat memiliki tujuan yang baik. Kekhawatiran mendorong kita untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik saat menghadapi situasi yang rumit dan tak terduga. Namun, seringkali kecemasan cenderung berlebihan, melumpuhkan, dan bahkan bisa berujung pada gangguan mental. Kemudian, ketika kesehatan mental kita terganggu karena kecemasan yang berlebihan, maka jalan terbaik adalah berkonsultasi dengan ahlinya seperti psikiater yang kompeten. Namun, ketika tingkat kecemasan masih dalam rentang emosi yang sehat, nasihat Santo Paulus dapat sangat membantu kita untuk meredakan kecemasan. Jadi, apa saja nasihat Santo Paulus untuk kita?
Pertama, Santo Paulus menulis, “Akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang sedap didengar, semua yang manis,… pikirkanlah semuanya itu” (Flp. 4:8). Singkatnya, Santo Paulus menasihati kita untuk memikirkan hal-hal yang baik, daripada berfokus pada hal-hal yang buruk. Paulus menyadari bahwa faktor penting yang menyebabkan dan mempertahankan kecemasan adalah apa yang kita lihat, nilai dan terus kita pikirankan. Kata Yunani untuk khawatir adalah ‘μεριμνάω’ (- merimnao), dan kata ini mungkin terkait dengan kata Yunani ‘μνήμη’ (mneme), yang berarti memori. Jadi, apa yang kita simpan dalam memori kita akan mempengaruhi kita secara psikologis dan fisik. Hebatnya, fakta kuno ini tidak jauh berbeda dengan data psikiatri modern, yang mengidentifikasi bahwa fungsi kognitif kita memainkan peran penting dalam kecemasan.
Namun, ini bukan hanya tentang ‘berpikir positif’, tetapi juga melihat kehidupan melalui lensa iman. Paulus juga mengatakan bahwa untuk mengatasi kecemasan yang berlebihan, kita harus menyerahkan kekhawatiran kita kepada Tuhan dalam doa dan bersyukur (lihat Flp. 4:6). Ya, menghadapi masalah dan kesulitan dapat menyebabkan kecemasan. Namun, dengan membawanya kepada Tuhan dalam doa-doa kita, kita belajar untuk percaya bahwa Tuhan akan menjaga kita.
Yang lebih penting lagi, kita perlu belajar dari Santo Paulus. Ketika menulis surat ini, ia sedang dibelenggu, dianiaya, dan menghadapi kemungkinan eksekusi. Kondisi-kondisi ini merupakan penyebab kecemasan yang berat bagi Paulus. Namun, Paulus tetap bersyukur dan bahkan bersukacita atas kondisinya. Karena ia tahu betul bahwa penderitaannya adalah bagian dari penyelenggaraan Allah dan pada akhirnya akan bermanfaat bagi Gereja (lihat Kol. 1:24; Flp. 1:21). Oleh karena itu, ia tidak berlarut-larut dalam kecemasan berlebihan atau melarikan diri dengan menyangkal imannya. Ia dengan berani menerima situasinya dan mengucap syukur kepada Allah.
Kesimpulannya, ada dua hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi kecemasan yang berlebihan: pikirkanlah hal-hal yang baik dan percayalah akan pemeliharaan Tuhan atas diri kita.
Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP