Pesta Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yusuf
31 Desember 2023
Lukas 2:22-40
“Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” [Kol 1:18-19].” Bagi kita, para pembaca modern, kata-kata Santo Paulus ini membuat kita terheran-heran. Paulus memerintahkan wanita untuk tunduk dan menjadi bawahan dari suami? Bukankah pria dan wanita diciptakan sederajat? Apakah Santo Paulus anti perempuan?
Untuk menjawab keberatan-keberatan ini, kita harus memahami konteks historis Santo Paulus dan Gereja di Kolose. Dalam masyarakat Yunani-Romawi pada abad pertama Masehi, perempuan pada dasarnya adalah properti rumah tangga laki-laki. Mereka terutama bertanggung jawab untuk menghasilkan keturunan yang sah bagi suami dan diharapkan untuk merawat rumah tangga. Mereka harus mematuhi suami mereka dalam segala hal. Memang, ada wanita-wanita yang kuat dan dominan, tetapi ini adalah pengecualian. Bahkan bagi para wanita bangsawan, meskipun mereka menikmati kehidupan mewah yang langka, mereka juga menjadi alat politik. Mereka ditawarkan sebagai pengantin untuk mengamankan aliansi politik dan keamanan ekonomi keluarga.
Dalam konteks ini, surat Paulus sebenarnya sesuatu yang revolusioner. Pada bagian instruksi untuk keluarga Kristiani (lihat Kol 3:18-21), Santo Paulus tidak menulis, “Hai suami, beritahukanlah kepada istrimu, bahwa mereka harus tunduk kepadamu!” Sebaliknya, ia menyapa para pembaca wanitanya secara langsung (tidak melalui suami mereka). Gaya penulisan ini menunjukkan pemahaman Paulus yang mendasar tentang hubungan antara pria dan wanita: istri berdiri sejajar dengan suami mereka. Yang lebih luar biasa lagi adalah Paulus menyebutkan perempuan terlebih dahulu dan laki-laki di urutan kedua. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya! Paulus melanggar batasan budaya pada zamannya untuk mewartakan, “Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus [Gal. 3:27-28].”
Sekarang, bagaimana kita memahami kata Paulus, ‘tunduklah’? Paulus menggunakan kata Yunani ‘ὑποτάσσω’ (baca: hupotasso). Secara harfiah kata ini berarti ‘ditugaskan di bawah’. Jadi, para istri ditugaskan di bawah para suami. Namun, ini tidak berarti bahwa perempuan lebih rendah martabatnya dan statusnya dalam keluarga. Paulus memahami bahwa keluarga juga merupakan suatu bentuk komunitas manusia, dan setiap komunitas manusia membutuhkan sebuah ‘tatanan’ (organisasi) untuk berkembang. Seorang pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ‘tatanan’ berjalan dengan baik dan, dengan demikian, menghasilkan kebaikan terbesar bagi semua orang dalam komunitas. Santo Paulus menyatakan bahwa suami adalah pemimpin dari tatanan keluarga.
Paulus memperjelas ‘ὑποτάσσω’ ini dengan instruksinya kepada para suami, “Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” Bagi Paulus, keluarga adalah sebuah tatanan kasih. Ya, para pria adalah kepala keluarga, tetapi mereka bukanlah diktator, melainkan pemimpin kasih. Laki-laki yang secara alamiah lebih kuat secara fisik diharapkan untuk melindungi dan menafkahi keluarga. Paulus mengharapkan para suami untuk menyerahkan hidup mereka bagi keluarga mereka, sebagaimana Kristus telah menyerahkan hidup-Nya bagi Gereja (lihat Efesus 5:25). Dengan demikian, ‘ὑποτάσσω’ berarti istri berada di bawah perlindungan dan kasih dari para suami.
Kita menyadari bahwa cita-cita Paulus tidak selalu terjadi. Karena kelemahan kita dan serangan iblis, kita jatuh ke dalam dosa, dan kita gagal menjadi suami atau istri yang baik. Namun, kita tidak boleh kehilangan harapan karena ini adalah rencana Allah bagi kita, dan kita terus berjuang dalam kekudusan melalui kasih karunia Allah.
Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP