Rm. Yusuf Dimas Caesario

(Yohanes 8:31-42)

“Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku; dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh 8:31-32)

Pernahkah anda merasa seperti hidup ini penuh tuntutan namun kosong arah? Sudah kerja keras, ikut kegiatan rohani, berbuat baik, tapi hati masih gelisah? Bisa jadi kita sedang kehilangan satu hal penting: tinggal dalam firman Tuhan, bukan sekadar mendengarnya, tapi mengizinkan Sabda itu hidup dan mengubah kita dari dalam.

Yesus berkata kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya, namun masih berpegang kuat pada status mereka sebagai “keturunan Abraham.” Mereka berpikir, “Kami ini orang pilihan, kami sudah benar.” Tapi Yesus tidak mencari pengakuan lahiriah. Dia mencari hati yang mau tinggal bersama-Nya. Iman bukan soal status, tapi soal relasi. Bukan soal label rohani, tapi kesetiaan hati.

Belajar dari Tukang Kebun

Seorang tukang kebun tua di desa selalu berkata kepada anak-anak muda, “Kalau kalian mau pohon kalian berbuah manis, jangan hanya siram permukaan. Akar yang dalam itu butuh perawatan. Harus setia tiap hari.” Satu anak muda bertanya, “Tapi aku sudah siram seminggu lalu, kok daunnya tetap layu?” Kakek itu tertawa, “Airmu memang banyak, tapi hatimu belum tinggal di situ. Kau hanya datang lalu pergi.”

Kadang kita pun seperti itu dalam relasi dengan Tuhan. Kita dengar sabda-Nya, ikut misa, mungkin sesekali berdoa. Tapi apakah kita benar-benar tinggal dalam firman-Nya? Apakah Sabda itu hanya sekadar kata-kata, atau sudah menjadi cara kita berpikir, bersikap, dan memilih?

Yesus berkata, “Kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Dan kebenaran itu bukan ide, bukan sistem, tapi pribadi-Nya sendiri. Dialah Sabda yang menjadi manusia, tinggal di antara kita. Dialah yang menyatakan kasih Bapa, yang mengundang kita keluar dari perbudakan dosa ke dalam kebebasan sebagai anak-anak Allah.

Yesus tahu, kita semua pernah jadi hamba-hamba ego, hamba keinginan dunia, hamba luka-luka lama, bahkan hamba dosa yang terus kita ulang. Tapi Dia tak ingin kita tinggal dalam perbudakan itu. Maka Dia mengulurkan tangan-Nya: “Tinggallah dalam Aku. Jadilah murid-Ku sungguhan. Bukan sekadar pengikut di keramaian, tapi sahabat dalam perjalanan.”

Dan itulah yang membawa kita kepada kemerdekaan sejati: bukan bebas melakukan apa saja, tapi bebas menjadi pribadi yang seutuhnya dikasihi dan mengasihi. Bebas untuk memilih kebaikan meski sulit. Bebas dari rasa tidak layak karena tahu kita dikasihi tanpa syarat.

Refleksi Pribadi:

  • Apakah aku tinggal dalam Sabda-Nya setiap hari, atau hanya datang sesekali seperti tamu yang singgah?
  • Apa bentuk perbudakan yang masih mengikatku hari ini? Dosa yang berulang? Luka batin? Ketakutan untuk berubah?
  • Apakah aku sungguh percaya bahwa Yesus mampu memerdekakan aku, aku dan mau membiarkan Dia melakukannya?

Doa :

Tuhan Yesus, aku ingin tinggal dalam Sabda-Mu, bukan hanya mendengar tapi hidup bersama-Mu setiap hari. Bebaskan aku dari hal-hal yang mengikatku, dan ajarlah aku menjadi murid-Mu yang setia, yang mencintai Kebenaran, yaitu Engkau sendiri. Dalam hadirat-Mu, aku ingin merdeka dan bertumbuh. Amin.