Rm Agung Wahyudianto O.Carm
(Matius 7:15–20 | 25 Juni 2025 Dalam keheningan dan keutuhan hidup beriman)
“Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” (Matius 7:16)
Lebih dari lima abad telah berlalu sejak iman Katolik pertama kali berakar di tanah Peru. Gereja-gereja berdiri megah di pusat kota dan desa-desa terpencil. Pesta liturgi dan devosi rakyat mengisi kalender tahunan dengan semangat dan warna. Di banyak tempat, salib menghiasi dinding rumah, Rosario tergantung di kaca mobil, dan nama Yesus diucapkan dalam lagu dan doa.
Namun di balik semua bentuk lahiriah itu, kita pun harus berani mengakui satu kenyataan yang tak nyaman: penghayatan iman sering kali masih dibalut oleh formalisme dan lapisan luar yang tipis. Banyak orang menghadiri Misa, namun relasi dengan sesama tak disentuh oleh sabda. Simbol-simbol kudus dikenakan, tetapi hati tetap sibuk menilai, membandingkan, atau menolak. Terlalu sering, iman berhenti sebagai identitas budaya, bukan sebagai jalan hidup yang utuh.
Yesus, dalam Injil hari ini, tidak mengecam langsung, tetapi memberi petunjuk yang sederhana dan tajam: jangan tertipu oleh penampilan. Lihatlah buahnya. Ia mengajarkan bahwa apa yang sejati tidak perlu dibuktikan dengan kata-kata indah atau penampilan yang saleh. Kehidupan itu sendiri akan menjadi saksinya. Seperti pohon yang tidak bisa memalsukan buah, hati yang dipenuhi kasih akan menghadirkan damai, kebaikan, dan kehadiran yang utuh, tanpa perlu dipromosikan.
Iman bukanlah sesuatu yang terpisah dari tubuh, relasi, atau pekerjaan kita. Ia bukan satu aktivitas di antara banyak, tetapi dasar dari segalanya. Jika hidup doa kita tidak mengubah cara kita mendengarkan orang lain, cara kita menyikapi konflik, cara kita memperlakukan yang lemah, maka mungkin kita masih berada di permukaan. Dan buah yang dihasilkan pun tidak akan membawa kehidupan.
Namun buah sejati tidak bisa dipaksakan. Ia muncul dari kedalaman. Dari hati yang tidak lagi sibuk memisah-misahkan siapa yang layak dan tidak, siapa yang benar dan siapa yang salah. Dari kesadaran yang hadir secara utuh dalam setiap perjumpaan, tanpa menyimpan agenda tersembunyi. Dalam keheningan yang tenang dan jujur, kasih akan tumbuh, seperti benih yang tak terlihat namun terus bekerja di dalam tanah.
Yesus mengundang kita, hari ini, untuk memeriksa bukan bagaimana kita tampak, tetapi apa yang tumbuh dari hidup kita. Buah tidak bisa dipalsukan: apakah kita menghadirkan damai, atau kecemasan? Apakah kita membawa kehangatan, atau ketegangan? Apakah kehadiran kita menguatkan orang lain, atau sekadar mempertahankan citra diri kita?
Lebih dari lima ratus tahun Gereja hadir di Peru bukanlah jaminan bahwa buahnya selalu matang. Namun itu bisa menjadi ladang yang siap dibuka kembali. Bukan untuk membongkar semuanya, tetapi untuk menyadari kembali bahwa yang penting bukan seberapa religius kita terlihat, tetapi seberapa dalam kasih itu tumbuh dan mengalir melalui kita.