Rm Agung Wahyudianto O.carm
Mateo 10:1–7 | 7 Juli
Tanggal 7 Juli 2007, dunia menetapkan Machu Picchu sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Baru. Keputusan ini menjadi momen penting bagi Peru, karena sebuah warisan leluhur yang selama berabad-abad tersembunyi dan nyaris dilupakan, kini diakui secara global sebagai lambang sejarah, kebijaksanaan, dan keindahan yang tidak ternilai. Tapi bagi masyarakat lokal di sekitar Cusco, Machu Picchu bukan baru “ada” sejak diakui dunia. Ia telah hidup dalam diam, bertahan dalam keheningan, dan tetap menyatu dengan tanah dan langit Andes.
Injil hari ini menampilkan Yesus yang memanggil dua belas murid dan mengutus mereka: “Pergilah dan wartakanlah: Kerajaan Surga sudah dekat.” Sama seperti Machu Picchu yang tidak dibangun untuk pamer, perutusan para murid juga bukan untuk menjadi pusat perhatian, tetapi menjadi perpanjangan kehadiran Tuhan yang selama ini telah ada—hanya perlu disadari dan disapa.
Perintah Yesus agar murid-murid pergi “kepada domba yang hilang dari umat Israel” menunjukkan bahwa misi mereka bukan soal menjelajah jauh, tetapi tentang hadir dan menyentuh yang terlupakan, yang tersembunyi, yang dianggap kecil. Seperti Machu Picchu, banyak hal suci dalam hidup ini tersembunyi karena diabaikan, bukan karena tidak nyata. Maka murid dipanggil bukan untuk membawa sesuatu dari luar, melainkan untuk membangunkan kembali kesadaran akan kehadiran Allah yang telah lama tinggal bersama umat-Nya.
Dalam kehidupan kita sendiri, panggilan untuk “pergi” sering kali bukan berarti melangkah secara fisik. Bisa jadi kita dipanggil untuk menyadari kembali nilai dari sesuatu yang sudah dekat: keluarga yang mulai terasa asing, sesama yang kita abaikan, bahkan diri sendiri yang sering kita tinggalkan dalam keramaian. Sama seperti Machu Picchu akhirnya diakui dunia karena ada mata yang bersedia melihat lebih dalam, hati kita pun bisa menjadi tempat suci, bila kita sungguh hadir di dalamnya.
Yesus tidak menyuruh para murid membawa apa pun—tidak uang, tidak perbekalan, hanya kehadiran dan pesan damai. Karena kekuatan pewartaan bukan datang dari perlengkapan, tetapi dari kedalaman kehadiran. Seorang murid sejati tidak mengubah dunia dengan suara keras, tetapi dengan keheningan yang terhubung dengan sumber hidup.