Minggu ke-22 dalam Masa Biasa [C]
31 Agustus 2025
Lukas 14:1,7-14
Kehormatan adalah sebuah konsep dasar yang membedakan kita sebagai manusia. Konsep ini membimbing perilaku dan tindakan kita, dan dalam kasus-kasus ekstrem, dapat juga mendorong orang untuk mati atau bahkan menghabisi nyawa orang lain.
Menentukan makna dari “kehormatan” adalah hal yang tidak mudah karena konsep ini tertanam dalam identitas individu dan komunitas kita sebagai manusia. Kehormatan merujuk pencapaian pada nilai-nilai luhur yang kita junjung tinggi sebagai manusia. Meskipun nilai-nilai ini dapat bervariasi antarbudaya, beberapa di antaranya diakui secara universal seperti kesetiaan, keberanian, kejujuran, kerja keras, dan integritas moral. Kehormatan diperoleh ketika orang lain mengakui usaha kita untuk mencapai nilai-nilai luhur tersebut. Misalnya, seorang siswa menerima “kehormatan” saat dia menerima medali sebagai penghargaan atas prestasi akademiknya yang diraih dengan susah payah.
Pencarian kehormatan, oleh karena itu, adalah pencarian akan idealisme tertinggi kita, sebuah perjuangan menuju keagungan yang membuat kita lebih manusiawi. Sebaliknya, ketidakhormatan menandakan kegagalan dalam memegang teguh nilai-nilai luhur tersebut. Kita kehilangan kehormatan ketika kita mengkhianati seseorang yang kita berjanji untuk setia, atau ketiak kita menghindari kesulitan seperti pengecut. Beberapa masyarakat menghargai kehormatan begitu dalam sehingga mereka melihat kehidupan yang tidak terhormat, seperti kehidupan yang dipenuhi dengan ketidakjujuran, ketidaksetiaan, dan pengecut, sebagai sesuatu yang lebih buruk daripada hidup seekor hewan. Selama Perang Dunia II, banyak tentara dan warga sipil Jepang memilih bunuh diri daripada menanggung malu ditangkap atau pulang dalam kekalahan.
Sebagai Tuhan kita, Yesus memahami bahwa kehormatan merupakan hal yang mendasar bagi kemanusiaan. Namun, Dia juga menyadari bagaimana dosa dapat merusak dan memutarbalikkan arti kehormatan tersebut. Dalam Injil, Yesus mengkritik mereka yang mencari tempat kehormatan tanpa berusaha mewujudkan nilai-nilai yang diwakilinya. Yesus mengajarkan bahwa nilai sejati dari sebuah tempat duduk di perjamuan bukanlah kemegahannya, melainkan keutamaan-keutamaan dari orang yang duduk di sana. Yang lebih penting lagi, Yesus memanggil kita untuk mengejar idealisme sejati dan menolak nilai-nilai yang korup, memperkenalkan kerendahan hati sebagai keutamaan yang mendatangkan kehormatan yang sejati.
Kritik Yesus terhadap orang-orang pada zamannya tetap sangat relevan hingga hari ini. Di masyarakat pascamodern, kita sering mengganti “kursi kehormatan” dengan hal-hal lain seperti merek pakaian, kendaraan, dan jumlah rekening bank. Meskipun harta benda sejatinya tidak jahat, mereka menjadi berbahaya ketika kita menganggapnya sebagai standar kehormatan kita, dan dalam prosesnya, kita mengorbankan idealisme sejati seperti kejujuran dan kesetiaan untuk mendapatkannya. Kesetiaan suami-istri pernah sangat dihormati, tetapi kini beberapa budaya memuji kebebasan seksual. Kita pernah memuji kerja keras, tetapi kini seringkali hanya merayakan hasil akhir, bahkan jika dicapai melalui tipu daya.
Mengikuti Yesus berarti terus-menerus mengkaji nilai-nilai kita. Ini berarti menolak nilai-nilai yang tidak membawa pada kemajuan manusia dan menghidupi nilai-nilai yang memupuk pertumbuhan sejati. Yesus, Tuhan kita, tidak menginginkan apa pun selain pertumbuhan menyeluruh kita sebagai manusia yang pada akhirnya membawa kita pada kepenuhan hidup sebagai manusia dan kekudusan.
Surabaya
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan Panduan:
Idealisme apa yang kita perjuangkan? Apakah idealisme tersebut mendukung perkembangan kita sebagai manusia? Apakah kita merasa malu ketika gagal mencapai idealisme kita atau ketika kita berbuat dosa? Apakah kita mengajarkan anak-anak kita tentang arti sebenarnya dari rasa kehormatan yang sejati?