(2Raj 5:14-17; 2Tim 2:8-13; Luk 17:11-19)
Rm. Yohanes Endi, Pr.
Saudara-saudari terkasih, minggu lalu kita diajak untuk merenungkan iman dan
kerendahan hati, bagaimana kita hanya melakukan kehendak Tuhan tanpa menuntut
balasan apa pun. Hari ini, Sabda Tuhan mengajak kita melangkah lebih jauh: untuk
belajar bersyukur, untuk memiliki hati yang tahu berterima kasih.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tahu betapa wajar dan indahnya ketika seseorang
mengucapkan “terima kasih.” Baik dalam hal-hal kecil maupun besar, ucapan
sederhana itu membuat hubungan menjadi hangat. Namun, ketika seseorang tidak
tahu berterima kasih, hati kita bisa terasa kecewa. Kita mungkin bergumam, “Orang
itu tidak tahu terima kasih.” Ungkapan itu sebenarnya muncul karena kita sadar
bahwa syukur adalah bahasa cinta yang mendalam antar manusia.
Namun, bagaimana dengan relasi kita dengan Allah? Sering kali kita menerima begitu
banyak anugerah: napas kehidupan, kesehatan, kasih keluarga, keberhasilan, bahkan
keselamatan, tetapi kita lupa bersyukur. Kita menerima, menikmati, lalu berjalan
tanpa menoleh kepada Sang Pemberi. Inilah yang membuat Yesus bersedih dalam
Injil hari ini. Dari sepuluh orang kusta yang disembuhkan, hanya satu yang kembali dan
berterima kasih. “Bukankah kesepuluhnya telah menjadi tahir?” tanya Yesus dengan
hati yang tersentuh. Hanya satu orang asing yang datang untuk memuliakan Allah, dan
hanya kepadanya Yesus berkata, “Imanmu telah menyelamatkan engkau.”
Saudara-saudari,kesembilan orang lainnya memang sembuh, tetapi mereka berhenti
pada anugerah, bukan pada relasi dengan Pemberi anugerah. Sementara orang
Samaria yang kembali itu menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga: perjumpaan
dengan Yesus sendiri. Itulah buah dari hati yang bersyukur.
Sikap syukur membuka jalan bagi kasih dan iman yang mendalam. Syukur mengikat
kita kembali kepada Allah, bukan karena kita menerima sesuatu, tetapi karena kita
menyadari kasih yang menyertai setiap anugerah itu. Hadiah tidak pernah lebih
penting dari cinta yang ada di baliknya. Demikian juga dalam hidup ini: setiap berkat,
setiap kesulitan, bahkan setiap luka yang kita alami, semuanya dapat menjadi tanda
cinta Allah bila kita mau melihatnya dengan hati yang bersyukur.
Allah ingin agar kita mengenal dan mengalami kasih-Nya. Setiap kebaikan yang kita
terima adalah cara-Nya menghadiahkan diri-Nya kepada kita. Maka, ketika kita
bersyukur, kita sedang mengakui bahwa kasih-Nya nyata dan hidup di dalam kita.
Sebaliknya, hati yang tidak tahu berterima kasih mudah menjadi sombong dan
menutup diri dari rahmat-Nya.
Rasul Paulus dalam suratnya mengingatkan, “Bersyukurlah dalam segala hal, sebab
itulah kehendak Allah bagimu dalam Kristus Yesus.” (1Tes 5:18). Bersyukur tidak
hanya ketika hidup berjalan baik, tetapi juga di tengah salib kehidupan. Bahkan Yesus
sendiri, pada malam Ia diserahkan, mengucap syukur. Dalam Ekaristi, Ia mengajarkan
kepada kita bahwa di tengah penderitaan pun, selalu ada alasan untuk berterima
kasih, sebab di sanalah cinta Allah bekerja dengan cara yang paling indah.
Maka, marilah kita belajar menjadi umat yang tahu berterima kasih, bukan hanya
lewat kata, tetapi lewat sikap dan tindakan nyata. Bersyukur dalam hal kecil maupun
besar, dalam sukacita maupun duka. Karena hati yang tahu berterima kasih adalah
hati yang mengenal Tuhan.
Semoga dalam setiap Ekaristi yang kita rayakan, kita semakin dibentuk menjadi
pribadi yang peka akan kasih Allah dan rela memuliakan-Nya dengan hidup yang
penuh syukur. Tuhan memberkati kita semua. Amin.