Minggu ke-5 dalam Masa Biasa [C]
9 Februari 2025
Yesaya 6:1-2a, 3-8
Dalam bacaan pertama Minggu ini, kita menemukan kisah Yesaya, yang dipanggil untuk menjadi nabi Allah. Yesaya melihat Bait Allah surgawi, di mana para Serafim, malaikat tertinggi, berseru: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan semesta alam!” Melalui kata-kata para Serafim, Alkitab mengungkapkan salah satu karakteristik Allah yang paling mendasar: kekudusan-Nya. Di ayat lain, Allah secara eksplisit memerintahkan kita: “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus” (Im 19:2). Namun, apa yang dimaksud dengan kudus? Mengapa kata itu diulang tiga kali? Dan bagaimana kita dapat mencapai kekudusan?
Dalam Alkitab, kata “kudus” (Ibrani: קָדוֹשׁ, baca: kadosh) dapat dimengerti sebagai “sesuatu yang menjadi milik Tuhan”. Tempat kudus, waktu kudus, benda kudus, dan orang yang kudus adalah hal-hal yang dikhususkan untuk Tuhan karena hal-hal ini adalah milik-Nya. Menjadi milik Allah berarti juga mereka dipisahkan dari hal-hal yang bukan milik Tuhan. Proses transisi dari yang tidak kudus menjadi kudus sering disebut konsekrasi atau pengudusan.
Namun, apa yang dimaksud dengan kata “kudus” ketika kita mengatakan bahwa Allah itu kudus? Dalam Alkitab, “kudus” adalah kata yang paling sering digunakan untuk menggambarkan Allah Israel. Seringkali, kata ini diulang sebanyak tiga kali, seperti dalam penglihatan Yesaya. Ini adalah cara umum bahasa Semit untuk mengekspresikan kata superlatif – dengan kata lain, mengatakan “yang paling kudus.” Kekudusan, ketika diterapkan kepada Allah, berarti:
- Transendensi – Allah sama sekali berbeda dengan ciptaan-Nya. Dia sempurna; kita tidak. Dia maha kuasa; kita lemah. Dia maha tahu; kita hanya memahami sebagian kecil dari realitas. Dia adalah kesempurnaan.
- Immanensi – Terlepas dari transendensi-Nya, Allah tidak jauh. Dia terlibat secara secara dekat dalam sejarah manusia, dalam kehidupan kita, dan dalam pergumulan kita sehari-hari. Dia adalah Allah yang memberikan kehidupan, memperhatikan kita, dan mengasihi ciptaan-Nya. Dia adalah kasih.
- Kesempurnaan Moral – Kekudusan Allah juga mengacu pada keadilan dan kebenaran-Nya yang mutlak. Setiap tindakan-Nya adalah baik dan adil. Dia adalah baik dan adil.
Ketika Allah memanggil kita untuk menjadi kudus sebagaimana Dia kudus (Ima 19:2), Dia mengundang kita untuk mengambil bagian dalam kesempurnaan-Nya. Tetapi bagaimana mungkin kita, sebagai makhluk yang tidak sempurna, dapat mencapai standar seperti itu? Sekilas, perintah ini mungkin tampak mustahil. Dan memang benar – jika kita hanya mengandalkan kekuatan kita sendiri. Namun, bagi Allah, tidak ada yang mustahil. Kekudusan hanya dapat dicapai ketika kita bersatu dengan-Nya dan bersandar pada rahmat-Nya.
Secara manusiawi mustahil untuk setia kepada suami atau istri secara khusus melalui masa-masa sakit, cobaan, dan kesulitan ekonomi, tetapi rahmat Allah menguatkan kita untuk mengasihi sampai akhir. Secara manusiawi mustahil untuk tetap setia pada panggilan kita, tetapi dengan rahmat Allah, hal yang mustahil menjadi mungkin. Secara manusiawi mustahil untuk mengampuni dan berbuat baik kepada mereka yang telah menyakiti kita, tetapi rahmat Allah memampukan kita dan kesembuhan menjadi mungkin.
Namun, kehidupan rahmat tidaklah otomatis. Kita harus melakukan bagian kita untuk mengizinkan rahmat Allah mengubah kita. Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk: Berdoa dengan setia, membaca Alkitab secara teratur, berpartisipasi dalam Ekaristi setiap hari Minggu dengan penuh hormat, pergi ke pengakuan dosa secara rutin. Praktik-praktik rohani ini membuka hati kita untuk menerima rahmat, yang memungkinkan kita untuk bertumbuh dalam kekudusan. Sungguh, kekudusan tidak mungkin terjadi tanpa Allah, tetapi Allah juga ingin agar kita dengan bebas berpartisipasi dalam kekudusan-Nya.
Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan Refleksi
Apakah kita sungguh-sungguh ingin hidup kudus? Apakah kita dengan bebas mengundang Allah ke dalam hidup kita? Bagaimana kita memupuk kekudusan dalam rutinitas kita sehari-hari? Sudahkah kita mengalami rahmat Allah dalam hidup kita? Bagaimana kita mengalaminya?