TAHUN BARU TERAKHIR DENGAN OPA
Keluarga besar saya mempunyai tradisi untuk merayakan Tahun Baru
bersama-sama. Biasanya kami semua datang ke rumah Opa dan Oma di pusat
kota Jakarta, karena mereka adalah pasangan paling sepuh. Akhir-akhir
ini acara pergantian Tahun Baru diadakan di tempat lain seperti villa
atau rumah salah satu anggota keluarga lain di luar kota supaya tidak
terlalu merepotkan Oma dan Opa yang harus menyiapkan dan membersihkan
rumah setiap acara.
Menyambut Tahun Baru 2015 kemarin kami pergi ke sebuah kompleks
penginapan di Sawangan. Perayaan kali ini lain dari biasanya. Saya
berkesempatan untuk pulang ke Indonesia dan ikut hadir. Ternyata ini
juga terakhir kali saya bertemu Opa, yang memang sudah sakit-sakitan
dan berumur 94 saat itu. Beberapa waktu sebelumnya, kondisi Opa sudah
menurun. Ia susah untuk makan dan seperti kehilangan semangat untuk
hidup. Tapi yang terjadi di malam pergantian tahun itu seperti suatu
mujizat.
Di tengah-tengah keluarga besar kami, Opa seperti mendapat energi
baru. Ia bercanda, tertawa ria dengan kami semua, walaupun harus duduk
di kursi roda. Ia ikut menyanyi lagu-lagu kesayangannya, dari lagu
zaman Belanda sampai lagu-lagu Batak. Kami membentuk kelompok-kelompok
di mana setiap kelompok mementaskan lagu atau komedi, terutama
ditujukan untuk Opa dan Oma. Dan kelihatan sekali bahwa Opa sangat
menikmati dan terhibur. Di usianya yang sudah senja itu, Opa dan Oma
tetap terjaga sampai tengah malam dan ikut menikmati acara kembang api
yang dimainkan oleh anak cucunya.
Opa meninggal bulan Juni, sebulan setelah ulang tahunnya ke-95, tepat
di hari ulang tahun Oma yang ke-90. Ia meninggal dengan tenang saat
tidur di sisi Oma. Tentu saya sedih, tapi kesedihan itu tidak seberapa
karena saya merasa sudah mengucapkan selamat tinggal dengan sempurna,
dengan memori yang begitu penuh keceriaan dan semangat menikmati
hidup. Pada saat Opa meninggal, saya sempat menuliskan sedikit
refleksi. Kehidupan Opa, baik di dunia maupun yang baru di surga,
memberikan inspirasi untuk saya.
“Tano Batak”
Di suatu malam di bulan Mei 1996, kami merayakan sebuah pesta
besar-besaran. Opa dan Oma memasuki tahun kelima puluh perkawinan
mereka, tahun emas. Kami para anak dan cucu bersama Opa dan Oma
melakukan prosesi memasuki gedung luas di Jakarta Convention Center.
Semua mata tertuju pada kami. Seketika juga, band dan paduan suara
mulai menyanyikan sebuah lagu yang tidak pernah saya dengar dan dalam
bahasa yang tidak saya mengerti. Walau demikian, saya bisa merasakan
kesenduan irama lagu itu yang sangat menyentuh hati. Baru di kemudian
hari setelah saya mencari tahu, lagu itu adalah O Tano Batak.
O Tano Batak, haholonganku. (O Tanah Batak, kesayanganku)
Sai na masihol, do au tu ho. (Selalu rindu aku padamu)
Dang olo modom, dang nop matakku (Tak bisa tidur, tak bisa terpejam mataku)
Sai na malungun do au, sai naeng tu ho.(Selalu kurindukan, kuingin
kembali kepadamu)
Opa dan Oma, seperti kebanyakan orang Indonesia pada sekitar tahun
1960-an, pindah ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik
di ibukota negara ini. Mereka pergi meninggalkan Tanah Batak yang
mereka cintai, tempat mereka lahir dan dibesarkan. Di Jakarta mereka
membangun sebuah keluarga besar, yang termasuk bukan hanya mereka yang
berhubungan darah saja, tapi semua orang yang mereka bantu dengan
sukarela dalam mengadu nasib di ibukota. Setiap tahun baru,
berpuluh-puluh orang datang ke rumah mereka yang sederhana untuk
mengucapkan selamat sebagai tanda terima kasih dan kasih sayang pada
Opa dan Oma. Jalan Cibanten yang sempit itu tidak mampu menampung
sedemikian banyak mobil-mobil tamu yang parkir. Rumah yang kecil itu
penuh sesak, tetapi kami selalu merasakan kebahagiaan bisa berjumpa
dengan seluruh keluarga besar.
Selama di Jakarta, Opa dan Oma tidak pernah melupakan tanah asal
mereka. Mereka tetap berhubungan dengan keluarga yang masih ada di
Medan dan sekitarnya. Dalam beberapa pesta, mereka sering ikut
menyanyi lagu-lagu Batak dan menari tortor. Mereka selalu bersemangat
menceritakan hidup di Tapanuli jaman dahulu. Sampai akhir hidupnya,
Opa tetap tinggal di Jakarta. Tetapi rasa cintanya pada Tanah Batak,
tanah asalnya, tidak pernah luntur.
O Tano Batak, sai naeng hutatap (O Tanah Batak, aku selalu ingin memandangmu)
Dapotonoku, tano hagodangonki (aku ingin pergi ke tanah tempatku dibesarkan)
O Tano Batak, andigan sahat (O Tanah Batak, jikalau mungkin)
Au on naeng mian di ho, sambuloki (aku ingin kembali padamu, tanah asalku)
Di dalam tradisi umat Kristen, kita percaya bahwa semua manusia
berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Dalam Kitab Wahyu,
Yohanes menceritakan bahwa dia mendapat penglihatan tentang Yerusalem
yang baru:
Lalu saya melihat langit yang baru dan bumi yang baru. Langit pertama
dan bumi pertama pun hilang, serta laut lenyap. Maka saya melihat kota
suci itu, yaitu Yerusalem yang baru, turun dari surga dari Allah….
Lalu saya mendengar suara dari takhta itu berseru dengan keras,
“Sekarang tempat tinggal Allah adalah bersama-sama dengan manusia! Ia
akan hidup dengan merka, dan mereka akan menjadi umat-Nya. Allah
sendiri akan berada dengan merka dan menjadi Allah mereka. Ia akan
menyeka segala air mata dari mata mereka. Kematian tidak akan ada
lagi; kesedihan, tangisan, atau kesakitan pun akan tidak ada pula.
Hal-hal yang lama sudah lenyap. (Wahyu 21:1-4)
Opa telah pergi untuk hidup tinggal dengan Tuhan. Tidak ada lagi
kesakitan dan kesedihan baginya. Ia telah pergi ke Yerusalem yang
baru, atau mungkin bagi Opa tempat itu adalah Tanah Batak yang baru,
tempat asalnya yang selalu dirindukannya, tempat di mana dia
diciptakan dan sekarang hidup senantiasa dalam kepenuhan kasih Allah
Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Selamat jalan, Opa. Sampai nanti kita
bertemu lagi di Tano Batak yang abadi.