Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Selasa, 22 Desember 2015, Luk 1: 46-56

 

Kalau kita amati dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak begitu mudah menemukan kegembiraan dan sukacita dengan hal-hal sepele dan sederhana. Itulah yang saya temukan ketika saya masih bertugas di Kamerun. Setelah makan siang, biasanya saya menemui anak-anak SD yang mampir di Seminari untuk sekedar minum air dan mengisi air di botol yang mereka bawa. Di daerah sekitar seminari, air merupakan sesuatu yang langka dan berharga. Seminari menyediakan air untuk penduduk sekitar, dan hal itu sangat berarti bagi mereka. Suatu hari, di bawah teriknya sinar matahari yang menyengat, terdengar suara anak-anak yang sedang berebut untuk minum air dari salah satu kran yang letaknya di halaman seminari. Terlihat kegembiraan dan keceriaan di wajah mereka setelah meneguk segelas air yang bisa membasahi tenggorokan mereka. Kegembiraan dan sukacita itu terungkap dari hati yang polos dan sederhana seperti yang dimiliki anak- anak itu.

Injil hari ini menuturkan kidung Magnificat Bunda Maria yang mengungkapkan kegembiraan dan sukacita karena kehadiran Yesus. Kidung Magnificat menjadi doa Bunda Maria yang taat dan beriman kepada Allah. Kidung Magnificat mengajarkan kepada kita mengenai pentingnya kerendahan hati dan kesederhanaan. Orang yang rendah hati dan sederhana akan dimampukan untuk mengalami kegembiraan dan sukacita, seperti anak-anak yang memiliki hati yang polos dan sederhana. Rasa syukur dan kebahagiaan yang sejati itu juga bersumber dari keutamaan kerendahan hati dan kesederhanaan. Marilah kita belajar dari Bunda Maria agar kita mampu menjadi rendah hati dan sederhana dalam menyambut Yesus yang hadir dan memperbarui hati dan hidup kita.

opaTAHUN BARU TERAKHIR DENGAN OPA

Keluarga besar saya mempunyai tradisi untuk merayakan Tahun Baru
bersama-sama. Biasanya kami semua datang ke rumah Opa dan Oma di pusat
kota Jakarta, karena mereka adalah pasangan paling sepuh. Akhir-akhir
ini acara pergantian Tahun Baru diadakan di tempat lain seperti villa
atau rumah salah satu anggota keluarga lain di luar kota supaya tidak
terlalu merepotkan Oma dan Opa yang harus menyiapkan dan membersihkan
rumah setiap acara.

Menyambut Tahun Baru 2015 kemarin kami pergi ke sebuah kompleks
penginapan di Sawangan. Perayaan kali ini lain dari biasanya. Saya
berkesempatan untuk pulang ke Indonesia dan ikut hadir. Ternyata ini
juga terakhir kali saya bertemu Opa, yang memang sudah sakit-sakitan
dan berumur 94 saat itu. Beberapa waktu sebelumnya, kondisi Opa sudah
menurun. Ia susah untuk makan dan seperti kehilangan semangat untuk
hidup. Tapi yang terjadi di malam pergantian tahun itu seperti suatu
mujizat.

Di tengah-tengah keluarga besar kami, Opa seperti mendapat energi
baru. Ia bercanda, tertawa ria dengan kami semua, walaupun harus duduk
di kursi roda. Ia ikut menyanyi lagu-lagu kesayangannya, dari lagu
zaman Belanda sampai lagu-lagu Batak. Kami membentuk kelompok-kelompok
di mana setiap kelompok mementaskan lagu atau komedi, terutama
ditujukan untuk Opa dan Oma. Dan kelihatan sekali bahwa Opa sangat
menikmati dan terhibur. Di usianya yang sudah senja itu, Opa dan Oma
tetap terjaga sampai tengah malam dan ikut menikmati acara kembang api
yang dimainkan oleh anak cucunya.

Opa meninggal bulan Juni, sebulan setelah ulang tahunnya ke-95, tepat
di hari ulang tahun Oma yang ke-90. Ia meninggal dengan tenang saat
tidur di sisi Oma. Tentu saya sedih, tapi kesedihan itu tidak seberapa
karena saya merasa sudah mengucapkan selamat tinggal dengan sempurna,
dengan memori yang begitu penuh keceriaan dan semangat menikmati
hidup. Pada saat Opa meninggal, saya sempat menuliskan sedikit
refleksi. Kehidupan Opa, baik di dunia maupun yang baru di surga,
memberikan inspirasi untuk saya.

“Tano Batak”

Di suatu malam di bulan Mei 1996, kami merayakan sebuah pesta
besar-besaran. Opa dan Oma memasuki tahun kelima puluh perkawinan
mereka, tahun emas. Kami para anak dan cucu bersama Opa dan Oma
melakukan prosesi memasuki gedung luas di Jakarta Convention Center.
Semua mata tertuju pada kami. Seketika juga, band dan paduan suara
mulai menyanyikan sebuah lagu yang tidak pernah saya dengar dan dalam
bahasa yang tidak saya mengerti. Walau demikian, saya bisa merasakan
kesenduan irama lagu itu yang sangat menyentuh hati. Baru di kemudian
hari setelah saya mencari tahu, lagu itu adalah O Tano Batak.

O Tano Batak, haholonganku. (O Tanah Batak, kesayanganku)
Sai na masihol, do au tu ho. (Selalu rindu aku padamu)
Dang olo modom, dang nop matakku (Tak bisa tidur, tak bisa terpejam mataku)
Sai na malungun do au, sai naeng tu ho.(Selalu kurindukan, kuingin
kembali kepadamu)

Opa dan Oma, seperti kebanyakan orang Indonesia pada sekitar tahun
1960-an, pindah ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik
di ibukota negara ini. Mereka pergi meninggalkan Tanah Batak yang
mereka cintai, tempat mereka lahir dan dibesarkan. Di Jakarta mereka
membangun sebuah keluarga besar, yang termasuk bukan hanya mereka yang
berhubungan darah saja, tapi semua orang yang mereka bantu dengan
sukarela dalam mengadu nasib di ibukota. Setiap tahun baru,
berpuluh-puluh orang datang ke rumah mereka yang sederhana untuk
mengucapkan selamat sebagai tanda terima kasih dan kasih sayang pada
Opa dan Oma. Jalan Cibanten yang sempit itu tidak mampu menampung
sedemikian banyak mobil-mobil tamu yang parkir. Rumah yang kecil itu
penuh sesak, tetapi kami selalu merasakan kebahagiaan bisa berjumpa
dengan seluruh keluarga besar.

Selama di Jakarta, Opa dan Oma tidak pernah melupakan tanah asal
mereka. Mereka tetap berhubungan dengan keluarga yang masih ada di
Medan dan sekitarnya. Dalam beberapa pesta, mereka sering ikut
menyanyi lagu-lagu Batak dan menari tortor. Mereka selalu bersemangat
menceritakan hidup di Tapanuli jaman dahulu. Sampai akhir hidupnya,
Opa tetap tinggal di Jakarta. Tetapi rasa cintanya pada Tanah Batak,
tanah asalnya, tidak pernah luntur.

O Tano Batak, sai naeng hutatap (O Tanah Batak, aku selalu ingin memandangmu)
Dapotonoku, tano hagodangonki (aku ingin pergi ke tanah tempatku dibesarkan)
O Tano Batak, andigan sahat (O Tanah Batak, jikalau mungkin)
Au on naeng mian di ho, sambuloki (aku ingin kembali padamu, tanah asalku)

Di dalam tradisi umat Kristen, kita percaya bahwa semua manusia
berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan. Dalam Kitab Wahyu,
Yohanes menceritakan bahwa dia mendapat penglihatan tentang Yerusalem
yang baru:

Lalu saya melihat langit yang baru dan bumi yang baru. Langit pertama
dan bumi pertama pun hilang, serta laut lenyap. Maka saya melihat kota
suci itu, yaitu Yerusalem yang baru, turun dari surga dari Allah….
Lalu saya mendengar suara dari takhta itu berseru dengan keras,
“Sekarang tempat tinggal Allah adalah bersama-sama dengan manusia! Ia
akan hidup dengan merka, dan mereka akan menjadi umat-Nya. Allah
sendiri akan berada dengan merka dan menjadi Allah mereka. Ia akan
menyeka segala air mata dari mata mereka. Kematian tidak akan ada
lagi; kesedihan, tangisan, atau kesakitan pun akan tidak ada pula.
Hal-hal yang lama sudah lenyap. (Wahyu 21:1-4)

Opa telah pergi untuk hidup tinggal dengan Tuhan. Tidak ada lagi
kesakitan dan kesedihan baginya. Ia telah pergi ke Yerusalem yang
baru, atau mungkin bagi Opa tempat itu adalah Tanah Batak yang baru,
tempat asalnya yang selalu dirindukannya, tempat di mana dia
diciptakan dan sekarang hidup senantiasa dalam kepenuhan kasih Allah
Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Selamat jalan, Opa. Sampai nanti kita
bertemu lagi di Tano Batak yang abadi.

 

Yesus, sumber Kegembiraan dan Sukacita

Posted by admin on December 20, 2015
Posted in renungan 

Senin, 21 Desember 2015, Luk 1 : 39-45 

 

Ketika saya mengikuti misi umat di salah satu paroki yang terletak di daerah pegunungan Philipina selatan, saya terkesan dengan penghayatan iman umat di paroki tersebut. Dalam perayaan ekaristi HR Tubuh dan Darah, biasanya diadakan upacara sambut komuni pertama bagi anak-anak. Di daerah tertentu, upacara sambut komuni pertama menjadi acara yang istimewa bagi suatu keluarga. Dan tak jarang setelah misa, diadakan acara pesta yang mengundang kerabat dan umat untuk makan bersama. Hal yang sama juga saya jumpai ketika saya bertugas di Kamerun. Setelah selesai memimpin misa, saya diundang oleh salah satu keluarga untuk makan bersama sebagau ungkapan syukur anaknya sudah menerima komuni pertama. Saya pun melihat kegembiraan dan sukacita di wajah anak tersebut dan kedua orang tuanya. Dalam hati saya bergumam, sungguh indah misteriMu Tuhan, mereka merasakan dan mengalami kegembiraan dan suka cita karena Engkau hadir dalam diri kami melalui perayaan ekaristi. Dalam kesederhanaan, keluarga ini merayakan kegembiraan dan sukacita. Bacaan hari ini juga mengundang kita untuk menemukan kegembiraan dan suka cita yang bersumber dari kehadiran Yesus di dunia.

Injil hari ini mengisahkan mengenai kunjungan Bunda Maria ke rumah Elisabet, ibunda Yohanes Pembaptis. Bunda Maria dan Elisabet mengalami suka cita dan kegembiraan. Suka cita yang dialami Bunda Maria karena dipilih Allah menjadi Bunda Yesus. Demikian juga Elisabet mengalami sukacita karena kunjungan Bunda Maria yang dikandung dari Roh Kudus. Sukacita dan kegembiraannya terungkap dari salam yang disampaikan Elisabet: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu” (Luk 1:42). Kegembiraan dan suka cita mereka bersumber dari kehadiran Yesus dalam hidup mereka. Sudahkah kita juga mengalami kegembiraan dan sukacita karena kehadiranNya? Marilah bersama Bunda Maria, kita berbagi kegembiraan dengan orang lain dan bersama Elisabet kita bersyukur dan berseru siapakah aku ini, sampai Ibu Tuhanku (bersama Yesus) datang mengunjungi aku?

Artikel di The Southern Cross – San Diego

Posted by admin on December 19, 2015
Posted in renungan 

SOUTHERN-CROSS-LUBUK-HATI-ARTICLE-12-2015

Sabtu, 19 Desember 2015

Posted by admin on December 18, 2015
Posted in renungan 

Sabtu, 19 Desember 2015

Seperti Zakharia, kita adalah manusia yang senantiasa menanti dalam iman dan harapan akan keselamatan dan penebusan yang datannya dari Allah. Zakharia dalam Injil hari ini menanti dengan penuh kesabaran bahwa Allah akan memenuhi semua janji-Nya sebagaimana yang Allah janjikan kepadanya? Zakharia yang awalnya tidak yakin bahwa mujikzat sebesar itu akan terjadi akhirnya dihantar Tuhan pada keyakinan seteguh batu karang bahwa segala sesuatu yang mustahi bagi manusia, mungkin bagi Allah.

Zakharia yang setia pada Allah sungguh mendengarkan seruan Allah. Kesetiaan dan imannya yang berkanjang pada janji Allah memperoleh pahala yang setimpal. Ia mendengarkan sendiri janji teramat manis dari malaikat Gabriel: “Zakharia, doamu sudah dikabulkan. Engkau akan mempunyai seorang anak dan dia akan menjadi nabi besar yang akan membawa semua orang pada Allah, pada keselamatan.”

Saudara/i, Adven adalah waktu yang tampan untuk membaharui iman dan pengharapan kita pada Tuhan. Janji dan kesetiaan Tuhan kepada kita adalah seteguh janji-Nya kepada Zakharia dan Elisabet. Dalam mempersiapkan jalan bagi Mesias, sang penyelamat dan penebus, kita menyaksikan keajaiban Tuhan yang bekerja lewat dua pasangan tua yang dianggap mandul oleh manusia tetapi kemudian berkat rahmat dan mujikzat Allah memberikan jalan kehidupan bagi kelahiran seorang nabi agung bernama Yohanes Pembaptis.

Sama seperti pengalaman Zakharia, kadang-kadang kita perlu membiarkan Allah berbicara dalam keheningan batin kita. Ketika kita masuk ke dalam hadirat-Nya, mungkin Allah ingin agar kita juga dapat berdiam diri dalam keheningan dan kesyahduan seperti Zakharia, sehingga kita lebih jelas mendengarkan apa yang sebenarnya ingin Allah sampaikan dalam hati kita dan kebijakan apa saja yang diwahyukan dalam hidup pikiran kita.

Zakharia dan Elisabeth percaya sepenuhnya bahwa misteri keajaiban karya Allah itu nyata dalam keheningan dan kesederhanaan. Mereka menyerahkan seluiruh kehidupan mereka sepenuhnya ke dalam tangan Allah. Dan Allah memberikan kepada mereka hadiah paling indah dalam masa tua mereka: seorang anak yang kelak akan menjadi nabi besar bagi orang Israel dan bagi kita. Sebagai pengikut Kristus, mari kita tetap berkanjang dalam iman dan harapan bahwa Allah akan tetap melakukan hal-hal ajaib dalam kesederhanaan hidup kita setiap hari. Amin.

Translate »