Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Iman dan Kepenuhan Hidup

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 15, 2017
Posted in renungan 

Iman dan Kepenuhan Hidup

 

Sabtu pada Pekan Biasa ke-23

Peringatan St. Kornelius

16 September 2017

Lukas 6:43-49

 

“Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?  (Luk 6:46)”

 

Iman berbicara tentang hasrat kita yang terdalam sebagai manusia, kerinduan jiwa kita untuk Tuhan yang akan mengisi kekurangan mendasar di dalam jiwa kita. Melalui iman, kita menemukan Dia yang memberi Makna dalam hidup kita, karena Dia adalah Sang Firman yang mengukir kekosongan jiwa kita. Berbahagialah mereka yang memiliki iman! Sebagai pemazmur bernyanyi, “Jiwaku merindukan Tuhan, lebih dari penjaga untuk fajar. Biarkan penjaga menunggu fajar dan Israel pada Tuhan. Karena pada Tuhan ada rahmat kasih setia dan kepenuhan penebusan (Mazmur 130:6-7).”

Untuk memuaskan dahaga kita akan Tuhan, kita melibatkan diri dalam berbagai kegiatan keagamaan. Orang berduyun-duyun ke gereja dimana ada pengkhotbah yang bagus dan perayaan liturgi yang penuh semangat. Lainnya mencari Misa penyembuhan. Lainnya memilih untuk menghadiri kelompok studi Kitab Suci. Yang lain lebih memilih untuk menjadi bagian dari kelompok Doa Karismatik yang energetik. Yang lain cinta akan kesunyian rumah retret dan meditasi Taize. Sementara beberapa lainnya mendukung kekhidmatan dari Misa Latin tradisional. Kita memiliki banyak pilihan dan dapat menentukan mana yang cocok dengan selera kita.

Namun, Tuhan mengingatkan kita bahwa iman bukan hanya tentang kepuasan spiritual pribadi. Jika tidak, kita hanya memperlakukan iman dan agama seperti hiburan duniawi lainnya yang berguna setiap kali kita merasa kering dan bosan. Lebih buruk lagi, iman hanya berfungsi sebagai obat penenang ketika hidup kita berantakan. Inilah mengapa Karl Marx pernah mengatakan bahwa agama adalah candu bagi masa. Iman dan berbagai kegiatan spiritual menjadi cara mudah untuk memenuhi kepentingan egois kita. Tanpa iman yang sejati, kita tidak lagi bisa menerima kepenuhan hidup, tetapi sebaliknya kita terjun ke jurang keputusasaan dan delusi.

Iman sejati membantu kita menjadi pohon-pohon yang menghasilkan buah-buah yang baik. Iman harus mendorong kita untuk bertindak nyata dalam hidup kita sehari-hari dan untuk mengasihi orang lain lebih dalam. Sungguh menyedihkan jika kita menghadiri kegiatan di paroki dengan semangat hanya untuk menghindari permasalahan di rumah, atau kita menikmati persekutuan doa tetapi kita tidak terlibat dalam perjuangan Gereja melawan ketidakadilan dan kemiskinan dalam masyarakat. Iman harus menjadi sumber kesuburan kehidupan.

“Ite missa est!” Adalah kalimat Latin terakhir yang diucapkan imam di dalam perayaan Ekaristi. Ini kira-kira berarti “Pergi, kita diutus!” Ekaristi, puncak dan sumber kehidupan rohani kita, memerintahkan kita untuk tidak sekedar tinggal di dalam ibadah dan gedung gereja, tetapi untuk pergi ke dunia dan membawa buah dari doa kita kepada orang lain. Dalam World Youth Day di Brazil, Paus Fransiskus mengatakan kepada para pemuda katolik untuk tidak hanya untuk membuat hiruk pikuk selama perayaan WYD, melainkan untuk membuat hiruk-pikuk mereka terdengar di paroki-paroki, keuskupan-keuskupan dan masyarakat mereka sendiri. Pertemuan dengan Allah seharusnya membawa kita menjadi agen perubahan dalam hidup. Iman adalah sumber kekuatan dari transformasi di dalam hidup, keluarga dan masyarakat. Hidupilah iman kita secara penuh dan nikmatilah kepenuhan hidup!

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Perempuan di Kaki Salib Yesus

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 14, 2017
Posted in renungan 

Perempuan di Kaki Salib Yesus
Peringatan Bunda Maria yang Berduka
15 September 2017
Yohanes 19:25-27
“Ibu, inilah anakmu (Yn 19:26).”
Salah satu Sabda Yesus di Salib yang paling tak terlupakan adalah adalah, “Ibu, inilah anakmu”. Mengapa? Karena Yesus yang tersalib tidak pernah melupakan seorang perempuan yang setia hingga di kaki salib-Nya, yakni Maria, sang  Bunda.
Dalam terjemahan bahasa Indonesia, Maria dipanggil oleh Yesus sebagai “ibu”. Tapi, tidak dalam teks kuno Yunani, Yesus tidak pernah memanggil Maria ‘ibu’, tetapi memanggilnya, ‘Perempuan’. Mengapa? Para Bapa Gereja percaya bahwa Maria adalah Hawa yang baru, sang Perempuan, tapi saya percaya bahwa Yesus tidak hanya menyapa Maria, tetapi juga setiap perempuan yang juga berdiri di dekat salib. Perempuan dari masa lalu, di masa ini dan yang akan datang di masa depan. Sementara murid-murid laki-laki lain melarikan diri dan bersembunyi (menyisakan Yohanes yang dikasihi Yesus), perempuan ini dengan setia mengikuti Yesus. Perempuan ini tidak melarikan diri, tidak berlutut, tidak menangis, tapi dia berdiri teguh di bawah salib!
Ada banyak perempuan yang berdiri di samping salib, salib pernikahan, salib keluarga, salib pekerjaan dan salib kehidupan. Dia adalah seorang perempuan yang berdiri di antara suaminya, anak-anak dan pekerjaan. Dia perlu bangun pagi untuk mempersiapkan hal-hal bagi keluarganya, menghabiskan waktu di kantor untuk mendapatkan uang bagi keluarga, dan tidur larut malam karena dia perlu membereskan rumahnya yang berantakan. Dia adalah seorang perempuan dalam jubah biarawati yang bekerja begitu keras untuk kongregasinya dan gereja, tapi dia tidak dihargai dan bahkan dikhianati.
  Beratnya ‘berdiri di kaki salib’ baru masuk ke dalam hati saya saat Romo Edmund Nantes, OP mengajak saya untuk mengunjungi lembaga amal di Marikina City, Filipina. Lembaga amal ini menyediakan tempat tinggal dan pertolongan bagi para perempuan muda dan remaja yang menjadi korban kekerasan fisik dan seksual. Setelah saya berinteraksi dengan mereka dan mendengarkan cerita mereka, hati saya luluh. Saya tidak bisa membayangkan bahwa pria dan wanita lain bisa begitu kejam kepada orang-orang yang dekat dengan mereka. Ini adalah kisah tentang gadis-gadis muda diperkosa oleh ayah mereka sendiri; putri kecil dijual oleh ibu mereka sendiri. Tapi, salah satu relawan berkata kepada saya bahwa gadis-gadis ini beruntung karena lembaga merawat mereka, tapi di luar sana, jutaan perempuan menjadi korban ke kekerasan di dalam rumah tangga dan juga human trafficking, dipaksa menjadi budak seks dan tenaga kerja paksa. Setiap hari, perempuan meninggal saat melahirkan dan bayi perempuan lahir kurang gizi karena kemiskinan. Dan siapa pelaku semua ini? Secara tidak langsung ini adalah kita!
Kita melecehkan para perempuan-perempuan ini jika kita gagal melihat identitas yang indah mereka dan hanya menggunakan mereka sebagai alat untuk mendapatkan kepuasan kita sendiri. Kita lupa kenapa kita di sini sekarang karena ada seorang perempuan yang memutuskan untuk mengambil semua rasa sakit saat melahirkan kita dan berkorban dalam membesarkan kita. Yesus di kayu salib menarik perhatian kita kepada para perempuan berani di sisi salib-Nya. Belum terlambat bagi kita untuk berterima kasih kepada ibu kita sebelum kita tidur hari ini, memeluk istri kita dengan rasa syukur, dan mendengarkan cerita-cerita kecil adik perempuan kita di rumah.
Untuk semua perempuan berdiri di dekat salib.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Refleksi Salib Suci (audio)

Posted by admin on September 13, 2017
Posted in Podcast 

Refleksi Pesta Salib Suci (audio) oleh Sr. Salverina Regina PKarm

Mengapa Salib?

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 13, 2017
Posted in renungan 

Mengapa Salib?

Pesta Salib Suci

14 September 2017

Yohanes 3: 14-17

 

Demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal (Yoh 3: 14-15).”

 

Salib selalu dikaitkan dengan agama dan umat Kristiani. Namun, dari sekian banyak simbol, mengapa harus salib? Jika kita melihat salib dari sudut pandang orang-orang yang hidup di zaman Yesus, salib adalah sebuah metodologi penyiksaan yang sangat kejam dan mengerikan. Salib adalah hukuman mati bagi para pemberontak dan pembuat onar terhadap otoritas kekaisaran Romawi kuno. Coba kita bayangkan sekarang penderitaan yang terjadi saat penyaliban: paku raksasa dan berkarat (karena dipakai berulang-ulang) menembus tangan dan kaki kita; tubuh kita ditelanjangi dan digantung pada sebuah kayu besar, kitapun dipanggang di bawah terik matahari dan membeku oleh angin malam yang sangat dingin; perlahan-lahan tubuh kita kehilangan darah, air dan nafas, sementara lapar dan dahaga menyiksa perut dan tenggorokan. Yang lebih menyiksa adalah kita menjadi tontonan masa dan terkadang sanak keluarga dipaksa menonton proses penyaliban sampai akhir. Kita beruntung jika kita meninggal secara cepat, tapi terkadang kita akan tergantung selama beberapa hari sebelum kita menemui ajal kita. Salib menjadi simbol sempurna dari sikap brutal dan kebiadaban manusia.

Hari ini, kita menghormati salib suci, dan mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya pada diri kita sendiri mengapa kita perlu menghormati salib dan menempatkannya di tengah-tengah kehidupan kita. Saya tidak punya niat untuk mengembalikan kekejaman salib, tidak juga untuk menyalibkan Yesus sekali lagi, tapi kita bisa menemukan keindahan dari sebuah Salib Suci. Pertama, salib tidak dapat dipisahkan dari Kristus. Almarhum Uskup Fulton Sheen dari Amerika, salah satu uskup pertama yang menggunakan media massa untuk pewartaan, mengingatkan kita bahwa Yesus tanpa salib adalah Allah yang jauh dan asing, dan salib tanpa Yesus adalah hanya sebuah tanda kekejaman manusia. Sentimen yang sama juga dimiliki oleh umat Katolik perdana. Pada saat Pentakosta yang pertama di Yerusalem, Santo Petrus berkhotbah tentang iman kepada Yesus yang disalibkan (Kis 4:10) dan di suratnya, St. Paulus mengingatkan kita bahwa ia hanya mewartakan Kristus dan Dia yang tersalibkan (lih 1 Kor 1:22). Jika kita menganalisis keempat Injil, kita menyadari bahwa tidak semua penginjil menulis kisah kelahiran Yesus (hanya Matius dan Lukas), tapi empat penulis suci setuju untuk menempatkan Penyaliban, Kematian dan Kebangkitan Yesus sebagai pusat tulisan-tulisan mereka. Kita mencatat juga bahwa meskipun salib muncul di semua Injil, penginjil tidak tertarik pada kekejaman berdarah di kayu salib, tetapi fokus pada Yesus yang mengasihi kita sampai akhir. Sejak itu, kata “kerygma” mengacu pada inti pewartaan Kristiani yang merupakan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus.

Kedua, salib tidak dapat dipisahkan dari umat Kristiani. Yesus menuntut murid-muridnya untuk memikul salib mereka sehari-hari (Luk 9:23). Mengikuti Yesus bukanlah jalan yang mudah. Ini adalah jalan salib. Untuk tidak membalas dendam kepada musuh-musuh kita sangat sulit, tapi Yesus ingin kita mengasihi mereka! Untuk membantu diri kita sendiri kadang-kadang melelahkan, namun Yesus meminta kita untuk juga memberikan tangan Anda kepada orang-orang miskin di sekitar kita.

Kita menghormati salib suci, bukan karena kita memuja kekejaman yang dibawanya, tetapi karena Tuhan ada di sana. Salib mendorong kita untuk mengasihi melebihi diri kita sendiri. Hanya karena kasih, kita menemukan keselamatan kita. St. Yohanes dari Salib telah mengatakan bahwa pada akhir hidup kita, kita akan diadili oleh seberapa besar kita mengasihi. Romo Nicanor Austriaco, OP, seorang ahli mikrobiologi dan pakar etika dari Amerika, mengusulkan bahwa pada akhir hidup kita, Yesus akan menyodorkan pertanyaan yang sama Dia ditujukan kepada Petrus, Apakah engkau mengasihi Aku?”  Dan kita hanya bisa menjawab pertanyaan ini jika kita telah memanggul salib kita sampai akhir.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Paradoks Sabda Bahagia

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 12, 2017
Posted in renungan 

Paradoks Sabda Bahagia

 

Rabu pada Pekan Biasa ke-23

Peringatan St. Yohanes Krisostomus

13 September 2017

Lukas 6:12-19

 

“Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. (Luk 6:20)”

 

Setiap orang tentunya ingin bahagia, dan kita melakukan banyak hal untuk mendapatkan kebahagiaan ini. Kita bekerja keras karena ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan harapannya dengan kehidupan yang lebih baik, kita bisa lebih bahagia. Kita ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kita ingin memiliki kekayaan yang lebih banyak, kita ingin memiliki mobil terbaru dan rumah lebih mewah. Mantranya adalah jika kita memiliki lebih banyak, menjadi lebih gembiralah kita. Ini adalah kebahagiaan yang dicapai melalui “Upward Mobility” atau “Pergerakan ke atas”.

Hari ini, Yesus juga menawarkan jalan kebahagiaan yang tertuang dalam Sabda Bahagia. Namun, setelah kita membaca Sabda Bahagia ini, kita mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Apa yang Yesus tawarkan justru bertolak belakang dengan apa yang biasa kita lakukan. Tentunya, kita sudah mendengar Injil ini berkali-kali sehingga daya tariknya tidak lagi kita rasakan, tetapi jika kita mendengar kata-kata Yesus untuk pertama kalinya ditengah-tengah kesibukan kita di dunia dan pekerjaan, kita mulai menyadari bahwa pesan Yesus adalah sesuatu yang radikal.  Yesus menawarkan sebuah pergerakan ke bawah atau “Downward Mobility”.

Saat kita sibuk menjadi sukses dan mengumpulkan banyak hal, Yesus justru meminta kita menjadi sederhana dengan berbagi dengan mereka yang berkekurangan dan hidup secukupnya. Saat kita fokus untuk menikmati hidup, bersenang-senang, Yesus malah mengajar para murid-Nya untuk ikut berbelas kasih dengan mereka yang masih kelaparan. Saat kita mencoba mendapatkan yang terbaik dari hidup bahkan dengan cara-cara yang tidak jujur, Yesus mengajarkan untuk rendah hati dan tidak serakah.

Ajaran Sabda Bahagia ini sebuah hal yang radikal dan bertentangan dengan budaya materialisme yang menjadi roh penggerak ‘Upward Mobility’, tetapi ini bukanlah hal yang mustahil. Bahkan melalui Sabda Bahagia, Yesus ingin menunjukkan kepada kita bahwa berada di posisi yang paling atas dan memiliki segalanya bukanlah kebahagiaan sejati. Hanya saat kita berani mengikuti Kristus, saat kita berani berbagi, saat kita mulai keluar dari dunia materialisme yang sempit, kita mulai merasakan ada kebahagiaan yang lebih mendalam. Hanya dengan melepaskan hasrat dan ambisi kita untuk terus memiliki, terus mencari diri sendiri, kita akan menemukan Kristus dan makna kehidupan sejati.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »