Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Kata

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 15, 2018
Posted in renungan 

Sabtu dalam Pekan Biasa ke-10

16 Juni 2018

Matius 5:33-37

 

Mengucapkan sebuah kata adalah sebuah tindakan yang penuh daya. Dalam Kitab Kejadian, Allah menciptakan alam semesta melalui firman-Nya, “Jadilah terang!” Dan setelah ia selesai dengan penciptaan, Allah membagikan kekuatan kreatif ini dengan Adam dengan menugaskan dia untuk memberi nama makhluk-makhluk ciptaan lainya. Adam kemudian menjadi ‘rekan pencipta’ dengan membawa makhluk-makhluk lain ke dalam cahaya dan harmoni: untuk membedakan siang dari malam, cahaya dari kegelapan, dan kebenaran dari kepalsuan. Melalui kata juga, kita menjalin hubungan dengan satu sama lain dan membangun keluarga dan komunitas. Melalui kata “Ya, saya bersedia”, sang mempelai pria dan wanita menjadi satu tubuh dan membangun keluarga Kristiani.

Namun, kata ini tidak hanya kuat untuk membangun tetapi juga menghancurkan. Adolph Hitler adalah salah satu orator terbaik dalam sejarah dunia, tetapi dia menggunakan kata-katanya untuk menyebarkan kebencian ke dalam hati bangsanya, dan ini menyebabkan Perang Dunia II yang mengerikan, dan hilangnya nyawa jutaan orang.

Kata Yesus sungguh penuh kuat. Tetapi, kekuatannya tidak bergantung pada kekerasan, ancaman atau penipuan, tetapi kebenaran dan belas kasih. Itu adalah kata yang menyembuhkan ketika dia berkata kepada orang yang tuli di Galilea, “Efata! Terbukalah!” Ini adalah kata yang mengampuni ketika dia memberi berkata kepada wanita yang berdosa itu,“Pergilah dalam damai! Dosa Anda telah diampuni. ”Ini adalah kata yang membawa pertobatan ketika ia mengundang Matius, “Ikutlah Aku!” Ini adalah firman yang membawa kehidupan ketika ia membangkitkan Lazarus,“ Lazarus! Marilah ke luar!” Ini adalah kata yang mengubah dan menyelamatkan manusia ketika menghadapi pengkhianatan, penyangkalan dan kematian, Dia memberikan dirinya kepada teman-temannya, “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu!”

Kita, para pengikut Kristus, diundang oleh sang Guru dan Tuhan untuk mengucapkan kata-kata yang membangun komunitas dan keluarga, yang menyembuhkan luka-luka, yang membawa kedamaian, dan yang membebaskan kebenaran. “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak!”

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pernikahan di Era Digital

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 14, 2018
Posted in renungan 

Jumat dalam Masa Biasa ke-10

15 Juni 2018

Matius 5:27-32

 

Kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang sangat canggih dengan semua kemajuan teknologi dan ilmiah. Namun, dengan segala kamajuan yang kita nikmati, kita tetap saja bergulat dengan permasalah di dalam pernikahan dan tidak dapat berdamai dengan diri kita sendiri dan pasangan hidup kita. Pernikahan menghadapi jalan bergelombang, dan terkadang jalan buntu. Pasangan menemukan kehidupan mereka tidak bahagia dan penuh masalah. Ada saatnya, terjadi kekerasan verbal, emosional dan fisik. Perselingkuhan ternyata menjadi godaan besar bahkan untuk pasangan bahagia. Tak heran jika suami dan istri akhirnya menemukan perpisahan, deklarasi pembatalan nikah, dan bercerai sebagai solusi instan. Generasi muda menemukan hidup penikahan tidak lagi relevan dan lebih memilih untuk tinggal bersama tanpa komitmen permanen. Beberapa umat Kristiani pun memilih menikah sipil, berpikir bahwa pernikahan di Gereja membawa kerumitan besar dan beban keuangan.

Hal Ini tidaklah mengejutkan, dan pola pikir digital kita  memberikan kontribusi juga pada semakin ruwetnya permasalahan dalam pernikahan saat ini. Paus Francis dalam Seruan Apostoliknya, Evangelii Gaudium, menulis, “Kadang-kadang kita tergoda untuk mencari alasan dan mengeluh, bertindak seolah-olah kita hanya bisa bahagia jika seribu kondisi dipenuhi. Hal ini karena ‘masyarakat teknologi’ kita telah berhasil mengandakan kesempatan meraih kenikmatan, namun telah menemukan sangat sulit untuk menemukan sukacita sejati (# 7).” Kita langsung beralih saluran TV  ketika kita merasa bosan. Kita ketagihan untuk ‘Like’ dan ‘comments’ di Facebook. ‘Friend’ dan ‘Unfriend’ menjadi kosa kata baru. Kita selalu dalam perlombaan untuk gadget terbaru dan membuang model usang meskipun pada kenyataannya mereka masih berfungsi dengan baik.

Yesus tidak menawarkan solusi instan untuk permasalahan dalam pernikahan kita. Bahkan, Dia menegaskan kembali bahwa percerai bukanlah kehendak Allah. Dia bahkan mengkritik sikap instan orang-orang Farisi. Yesus tampaknya agak kejam terhadap orang-orang yang menghadapi begitu banyak masalah pernikahan. Namun, Yesus tahu bahwa pernikahan dan komitmen adalah sebuah panggilan bagi sebuah pilihan radikal untuk mencintai. Sebagai Pencipta kita, Dia menyadari bahwa kita mampu untuk pemberian diri yang radikal. Kita menjalin sebuah pernikahan tidak untuk menghasilkan banyak kenikmatan belaka, tetapi untuk menemukan sukacita sejati bahkan di tengah-tengah masalah dan penderitaan. Kita diciptakan bukan untuk sekedar kontrak sempetara, tetapi perjanjian abadi.

Yesus mengajak kita untuk mengubah sikap kita dan perspektif dalam hidup dan pernikahan suci, dan menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Dan ini dimulai dengan hal-hal sederhana. Ini berarti akan melawan budaya gratifikasi instan, dan bersikap kritis dengan pola pikir teknologi kita. Ini berarti membuat usaha ekstra dalam membangun dan mempertahankan persahabatan, dan jangan terburu-buru untuk mengakhirinya saat situasi mulai sulit. Ini berarti menikmati apa yang kita telah miliki seberapapun kecilnya. Ini berarti tekun dalam karya yang sulit namun bermakna, dan menghargai orang lain yang telah memberikan kontribusi positif untuk hidup kita, tidak peduli seberapa kecilnya. Ini mungkin langkah-langkah kecil, tapi saat ketekunan dan komitmen telah menjadi kebiasaan kita, pencarian bagi keindahan  dan kebahagian dalam pernikahan dan kehidupan akan datang secara alamiah. Kemudian, kita menyadari Yesus tidak salah untuk menegakkan hokum Tuhan bahwa pernikahan sejati tidaklah terceraikan.

Kita juga berdoa bagi pasangan suami-istri yang sedang menghadapi badai kehidupan.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Lebih Baik dari Farisi

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 13, 2018
Posted in renungan 

Kamis dalam Pekan Biasa ke-10

14 Juni 2018

Matius 5: 20-26

 

“Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Mat 5:20)”

 

Kata ‘Farisi’ memiliki konotasi negatif bagi kita. Dalam Injil, mereka adalah lawan-lawan Yesus. Mereka sering berdebat dengan Yesus dan Yesus mengkritik cara hidup mereka. Bahkan beberapa merencanakan untuk menyingkirkan Yesus (lihat Mat 12:14). Pada zaman sekarang, istilah ‘Farisi’ sering kali diasosiasikan dengan kemunafikan.

Namun, jika kita melihat dari sudut pandang yang lain, orang-orang Farisi tidak seutuhnya jahat. Dalam zaman Yesus, mereka memiliki peran penting, yakni merevolusi masyarakat Yahudi. Apa yang mereka lakukan? Mereka membawa Hukum Taurat, berbagai ritual dan praktek devosi dari Bait Allah di Yerusalem ke komunitas-komunitas dan keluarga-keluarga Yahudi di Israel. Banyak orang-orang Farisi mengelola rumah-rumah ibadat setempat di berbagai penjuru Palestina dan memastikan bahwa orang-orang akan melaksanakan dengan baik Hukum Taurat dan tradisi, seperti Sabat dan ritual pembersihan. Berbeda dengan imam yang bertugas di Bait Allah, orang-orang Farisi adalah orang-orang awam yang mencintai Hukum Taurat di dalam kesederhanaan hidup sehari-hari mereka. Dengan demikian, ketika Bait Allah dihancurkan oleh tentara Romawi pada tahun 70 Masehi, kasta imam juga menghilang, tapi budaya dan agama Yahudi terus hidup karena orang-orang Farisi ini yang adalah orang-orang awam.

Yesus mengkritik mereka bukan karena mereka mencintai Hukum Taurat dan tradisi, tetapi bagaimana mereka ‘menginterpretasi’ Hukum tersebut. Tak diragukan lagi orang-orang Farisi mencintai Hukum Musa, tetapi bahayanya adalah mereka bisa jatuh ke dalam fundamentalisme. Mereka memutlakkan setiap huruf Hukum Taurat dan tradisi, dan melupakan tujuan utama Hukum tersebut: melayani: Allah dan sesama manusia. Untuk menjadi fundamentalis itu mudah karena kita memilih untuk mengikuti huruf-huruf mati yang tertera di Kitab suci. Jauh lebih sulit untuk berdialog dengan Dia yang ada di balik huruf-huruf tersebut dan mereka yang ada di depan huruf-huruf tersebut.

Tanpa disadari, banyak dari kita yang bertindak seperti orang Farisi. Seperti mereka, kita mengasihi Tuhan, Hukum-Nya dan Gereja-Nya, tapi kadang-kadang, kita terlalu sibuk dengan hal-hal sepele. Saya sedih ketika tidak sedikit orang berdebat tentang bagaimana menerima Ekaristi Kudus, berlutut, berdiri, dengan tangan atau langsung ke mulut. Beberapa menuduh misa Karismatik itu sesat. Beberapa lainnya menyatakan bahwa Misa Latin sebagai ultra-konservatif. Saya juga sedih dengan seorang teman dan juga apologis Katolik muda di Filipina yang rajin berdebat di internet, namun tidak melakukan apa-apa untuk membantu ibunya yang sedang sakit. Ya, Kitab Suci dan Liturgi merupakan bagian penting dari iman kita dan juga sarana keselamatan, tetapi jika kita terpecah-belah dan menjadi fundamentalis-fundamentalis kecil, kita melepas tujuan utama iman kita.

Kita lupa untuk mengubah kasih kita kepada Allah dan Gereja-Nya ke dalam kasih bagi orang lain. St. Dominikus de Guzman menjual buku-bukunya yang mahal terbuat dari kulit binatang sehingga ia bisa memberi makan orang-orang miskin, dan berkata, “Apakah kamu mau saya belajar dari ini kulit mati ini ketika kulit hidup mati kelaparan?” Siapa di antara kita yang terlibat memberi makan orang miskin sekitar kita? Siapa di antara kita melakukan sesuatu yang berarti bagi korban ketidakadilan di masyarakat? Siapa di antara kita memiliki kesabaran terhadap saudara dan saudari kita yang bermasalah dalam keluarga atau masyarakat? Ingat bahwa kita dipanggil untuk melampaui kebenaran orang-orang Farisi.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Hukum: Sebuah Permasalahan Hati

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 12, 2018
Posted in renungan 

Rabu Pekan ke-10 dalam Masa Biasa

Peringatan Santo Antonius Padua

13 Juni 2018

Matius 5:17-19

 

Hukum adalah hal yang mendasar bagi kehidupan manusia. Bahkan, tanpa hukum atau peraturan, komunitas manusia akan jatuh dalam kekacauan. Hukum membangun hubungan, menjaga harmoni, dan mencegah anarki. Oleh karena itu, hukum dan peraturan diperlukan bagi setiap komunitas manusia, dari yang paling sederhana seperti keluarga sampai yang paling kompleks seperti negara. Pada tahun 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan mereka tidak lupa untuk memasukkan dalam pernyataan proklamasi tersebut sebuah kalimat pendek: “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan, dll, diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.” Para proklamator cukup sadar bahwa tanpa adanya hukum dasar yang mengatur ‘kekuasaan’, Indonesia yang baru lahir akan segera jatuh ke dalam keadaan kacau. Hal ini tidak jauh dalam kehidupan berkeluarga. Salah satu kunci untuk pernikahan yang langgeng adalah pasangan mampu bersama-sama membentuk aturan-aturan dasar yang akan mengarahkan hidup mereka bersama.

Namun, ada masalah kecil. Kita diciptakan dengan kebebasan, dan dengan kebebasan ini, kita tidak hanya memiliki kemampuan untuk mentaati hukum, tetapi juga melanggarnya  dan mengunakannya sesuai dengan kepentingan kita pribadi. Peraturanpun kadang dirasakan sebagai pembatasan dari kebebasan dan ekspresi kita. Dengan demikian, pelanggaran dan penyelewengan berlangsung hampir di mana-mana.

Untuk mengatasi masalah ini, penegak hukum dibentuk. Namun, masalah terus berlanjut karena elemen penegak hukum bukanlah manusia super dan mereka juga mengalami godaan yang sama seperti orang biasa lainya. Para bapak pendiri Amerika Serikat membayangkan Negara mereka akan menjadi Negara yang besar dan Kristiani, tetapi kita bisa melihat sekarang bagaimana melalui struktur hukum yang diciptakan bapak pendiri mereka, wakil-wakil rakyat AS telah melegalkan aborsi.

Yesus sepenuhnya menyadari tujuan sejati dari hukum serta kecenderungan manusia untuk memanipulasinya. Dengan demikian, Yesus tidak mengusulkan sebuah hukum yang lebih ketat ataupun juga menetapkan sebuah badan penegak hukum lebih tegas, tetapi Dia datang ke inti permasalahan. Dan sungguh, inti permasalahannya ada di hati kita. Lokus semua keinginan untuk melanggar hukum sejatinya ada di dalam hati kita. Yesus, oleh karena itu, menginstruksikan kita untuk menyadari berbagai gerakan di dalam hati kita dan mengajak untuk mendidik hati kita. Tanpa pembentukan hati nurani, undang-undang yang tertulis menjadi sarana kejahatan bagi mereka yang berhati jahat. Namun, bagi mereka yang berhati murni, hukum menjadi panduan yang baik dan pengingat ramah.

Saya selalu ingat kata-kata profesor saya, Rm. Enrico Gonzales, OP, “Hati dari pendidikan adalah pendidikan dari hati kita.” Sebuah hukum ada untuk mengatur harmoni hidup dan menjaga kebebasan manusia, dan hanya yang murni hati dapat melihat ini. Apakah kita memahami esensi dari hukum? Apakah kita menolak godaan untuk menghancurkan hukum? Apakah kita memiliki kemauan dan waktu untuk mendidik hati kita?

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mengapa Garam?

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on June 11, 2018
Posted in renungan 

Selasa dalam Pekan Biasa ke-10

12 Juni 2018

Matius 5:13-16

 

“Kamu adalah garam dunia (Mat 5:13).”

 

Yesus mengatakan bahwa kita adalah garam dunia. Yesus tidak berkata kita ‘seperti’ garam dunia. Keduanya sangat berbeda, seperti ‘saya adalah Bayu’ jauh berbeda dengan ‘saya seperti Bayu.’ Kalimat pertama memberi hubungan esensial antara subjek dan predikat, sedangkan kalimat kedua hanya hubungan kesamaan yang sementara. Yesus pun tahu persis hal ini.

Yesus melihat bahwa menjadi garam dunia adalah bagian sangat penting dan menentukan dari identitas dan misi para murid-Nya. Kita tidak bisa menjadi garam dunia hanya pada hari kerja dan berubah menjadi gula dalam akhir pekan. Kita adalah garam setiap detik dari kehidupan kita. Ini adalah apa yang kita sebut panggilan. Menjadi garam dunia adalah panggilan kita.

Biasanya, garam digunakan sebagai bumbu. Kita tidak suka jika makanan terlalu asin, tapi kita lebih tidak suka jika makanan hambar. Saat saya masih di Seminari Mertoyudan, kita makan makanan tanpa garam sebagai bentuk pantang dan puasa pada masa Pra-Paskah. Sungguh, rasanya benar-benar mengerikan. Tapi karena kami lapar, santapan tetap saja habis. Ini adalah saat saya menghargai pentingnya garam. Menjadi garam, kita harus membuat perbedaan di dunia dengan perbuatan baik kita, namun tidak ‘terlalu asin’ sehingga kita hanya menarik perhatian untuk diri kita sendiri. Sekali lagi, kita berbuat baik sepanjang waktu, tidak hanya ketika orang lain melihat kita, tidak hanya ketika kita merasa baik dan termotivasi, tidak hanya ketika kita mengharapkan imbalan. Seorang ibu tentu tidak akan berbuat baik kepada anak-anaknya hanya Senin sampai Jumat. Atau ayah hanya akan membesarkan anak berpotensi sukses dan menelantarkan yang lain.

Namun, kita juga bertanya: mengapa kita harus menjadi garam? Kita menyadari bahwa selain untuk bumbu, garam praktis tidak memiliki nilai gizi. Bahkan beberapa ilmuwan menghubungkan kelebihan garam dengan masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi. Mengapa tidak sesuatu yang lebih bermanfaat seperti nasi, pasta, atau mie? Jawabannya sebenarnya sederhana: bukan panggilan kita untuk menjadi sumber nutrisi utama dan kehidupan. Ini milik Yesus. Maka tidak salah jika dalam Injil Yohanes, Yesus menyatakan bahwa diri-Nya adalah Roti Hidup (Yoh 6:35). Ia adalah sumber kehidupan yang sejati, bukan kita. Di Filipina, kita memiliki roti populer bernama  ‘pandesal’ (secara harfiah berarti roti garam). Ini adalah roti kecil yang terbuat dari tepung, ragi, telur, gula dan garam. Sebenarnya terasa sedikit manis daripada asin. Jumlah garamnya pun tidak signifikan, tetapi garam tetap ada untuk meningkatkan cita rasa roti, membuatnya semakin nikmat di lidah. Jadi garam bukanlah hal yang sebenarnya, melainkan roti.

Seperti garam, bukan kita yang memberikan hidup, tetapi panggilan kita adalah untuk membawa Yesus kepada orang lain sehingga mereka dapat memiliki hidup. Kebaikan kita bukan untuk menarik pujian bagi diri kita sendiri, tetapi melalui perbuatan baik kita, Tuhan akan semakin terasa di kehidupan banyak orang.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Translate »