Header image alt text

indonesian catholic online evangelization

Rabu, 25 September 2019

Posted by admin on September 25, 2019
Posted in renungan 

1. Bacaan 1 : Ezra 9: 5-9

2. Injil : Lukas 9: 1-6

Hari ini Yesus mengutus kedua belas Murid-Nya dengan perintah agar para murid tidak membawa bekal; entah itu pakaian, uang, atau makanan secara berlebih. Perintah ini agaknya ingin mengajak para Murid untuk tidak hanya berfokus pada persiapan-persiapan yang tidak perlu. Dalam menjalankan perutusan dan sebuah tanggungjawab kerap kali kita justru lebih memfokuskan diri pada persiapannya dan malahan melupakan apa yang menjadi inti dari perutusan yang diberikan. Dengan persiapan dan bekal yang minimal, diharapkan para Murid sungguh bisa memfokuskan perhatiannya pada apa yang menjadi inti dalam peritusannya, yaitu mewartakan kabar baik pada banyak orang. Selain agar para Murid menjadi fokus dalam perutusan dan tanggungjawab, bekal yang minim juga mengajak para Murid untuk menyandarkan nasibnya pada penyelenggarana Allah melalu banyak orang yang mereka jumpai. Dengan menggantungkan diri pada orang yang dijumpai, para murid memiliki kesempatan untuk memberikan pewartaan secara personal pada mereka saat mereka menginap di rumah orang yang ada di kota. Semoga sabda Yesus hari ini mampu mengajak kita untuk tidak hanya memfokuskan diri pada banyak hal yang sifatnya hanya pelengkap, namun sungguh memfokuskan diri pada apa yang jadi inti dalam pewartaan kita dengan senantiasa menyandarkan diri pada karya Allah melalui sesama.

Friends with Money

Posted by Romo Valentinus Bayuhadi Ruseno OP on September 22, 2019
Posted in renungan  | Tagged With: ,

25th Sunday in Ordinary Time [C]

September 22, 2019

Luke 16:1-13

There is something strange in our Gospel today. Jesus is praising the cunning steward. Why does Jesus commend his shrewd action? To understand Jesus’ words, we need to comprehend first what really takes place with this servant and his master.

There is a steward who had been entrusted by his master to take care of his master’s house and possession, and yet, instead doing his job, he prefers to squander his master’s wealth and betrays his master’s trust. Angered master does what he is expected to do. He fires his useless servant. Yet, upon this impending judgment, the servant realizes that he is not able to dig, meaning he cannot labor in the farmland or at the construction sites. He is also ashamed to become a beggar. Then, he engineers a way out. He calls all his master’s debtors and cut into half all their debts by manipulating their letter of agreement. By doing this, he is doing a favor to them and making them as their friends. This is to secure way to survive after his expulsion. Surely this is manipulation and corruption, and yet he is praised for doing so. What’s going on?

Jesus gives us an example of how smart the children of this world manage their affairs. In the time of crisis, the wicked servant is able to discern well what is most important in his life, that is his survival. For a while, the servant is attached to the wealth of his master and spending them as if this money is his. But, when he realizes he is in the great trouble, he makes the right choice. He detaches himself from his addiction from wealth and make them as a means to achieve his survival. Jesus then compares the children of this world, and the children of light. If the children of this world can use and manipulate the material possession for their earthly motives, so the children of light shall use the same wealth to attain even a loftier goal.

This teaching of Jesus is important and massive implication. We are not only allowed, but even encouraged to use the material goods and wealth in order to reach heaven. Jesus even uses a stronger term: make friends with dishonest wealth! Surely, it does not mean we can buy heaven, or we can bribe God! We cannot never do those things. These material possession and money serve us as means to live decent lives, help each other and worship God.

The problem is that we, the children of light, are not friends with wealth. We either hate money or we love money. Firstly, some of us may have a perspective that money is evil, dangerous and leading to sin. Thus, when we hate money, we detest also those who have money. The hatred of money may lead to hatred of others, and we may fail to fulfill Christ’s commandment: to love one another. Secondly, many of us love money. We are attached to earthly wealth that we forget their true purpose. We make means into the end, and end into the means. We turn our family, friends, employees, religion, even God as tools to gain more and more money. It is a disheartening reality nowadays that some people create new religions and churches to enrich themselves. We are only to love God and to love each other for the love of God, but never money. We make friends with earthly wealth in order for us to gain heaven.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertobatan dan Mewartakan

Posted by admin on September 20, 2019
Posted in renungan 

Sabtu, 21 September 2019

Pesta St. Matius Rasul

Bacaan I Ef 4: 1-7. 11-13

Bacaan Injil Matius 9: 9-13

Menarik ketika berkontemplasi tentang peristiwa yang terjadi dalam Injil. “Kemudian, ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa, makan bersama-sama dengan Dia dan murid-muridNya.” Saat itu, Matius si pemungut cukai sudah bertobat. Perubahan hidup yang dibuatnya tidak main-main sehingga Yesus kiranya berkehendak untuk makan di rumahnya. Keterpesonaan pada Yesus membuat Matius rela meninggalkan jalan hidup yang telah disusunnya. Inilah pertobatan yang sesungguhnya. Namun, bila dicermati secara mendalam, kita bisa melihat bahwa pertobatan yang dibuat Matius itu tidak dilakukannya sendiri. Matius mengajak teman-temannya untuk berani memulai pertobatan. Buktinya, dapat kita lihat dari ayat yang saya cantumkan di atas. Kedatangan banyak pemungut cukai dan orang berdosa merupakan cara Matius mengajak orang lain untuk memilih jalan pertobatan. Matius ingin memperlihatkan kepada mereka semua tentang Yesus, seseorang yang telah membuatnya berani mengubah hidup dan tidak mengejar keuntungan pribadi saja.

Apa yang dibuat Matius memang belum tentu dimengerti oleh teman-temannya. Bahkan, mungkin pula ada yang mencibir. Namun, Matius telah mengajarkan kepada kita tentang buah-buah pertobatan yang sungguh-sungguh. Kepentingan orang bertobat pertama-tama mengarah kepada dirinya seorang, tetapi buahnya bisa dibagikan kepada orang lain. Maka, dengan mengundang teman-temannya untuk makan di rumah, Matius telah mencoba menjadi pembawa kabar kebenaran. Kita harus paham bahwa tidaklah mudah mempertobatkan pemungut cukai dan orang berdosa, sehingga boleh dikatakan dengan adanya Matius, “tugas” Yesus dan murid-muridNya lebih mudah. Intinya, pertobatan Matius telah membuatnya berani menjadi pewarta bagi kaumnya.

Begitulah, mari kita sekarang berinstropeksi, apakah ketika kita melakukan pertobatan, sudah ada buah yang bisa dibagikan?? Atau, jangan-jangan kita terlena dengan suasana pertobatan yang seringnya membuat kita hanya kagum dengan kemurahan hati Allah tanpa pernah tersadarkan untuk meneruskan langkah sebagai pewarta dalam kualitas dan lingkungan hidup masing-masing. Pertobatan tidak hanya berhenti di titik pengakuan, tetapi juga diteruskan dalam penitensi dan tentu saja realitas perubahan hidup yang dibangun dalam keutuhan kesadaran diri.

Belajar Melayani

Posted by admin on September 19, 2019
Posted in renungan 

Jumat, 20 September 2019

PW St. Andreas Kim Taegon, St. Paulus Chong Hasang, dkk

Bacaan I 1Tim 6: 2c-12

Bacaan Injil Lukas 8: 1-3

KH. Ahmad Dahlan pernah berpesan kepada para muridnya demikian, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah. Namun, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”. Pesan ini disampaikan beliau menjelang wafat, sehingga menjadi warisan wejangan yang dilestarikan oleh para kaum Muhammadiyah. Intinya, beliau mengajak agar orang-orang mencapai rasa memiliki kepada Muhammadiyah. Semampu mungkin, mereka harus berkorban bagi Muhammadiyah, dan jangan sampai mereka mengharapkan imbalan apapun dari Muhammadiyah. Pesan ini terasa senada dengan apa yang kita dengar dalam bacaan I yang mana Paulus memperingatkan Timotius untuk jeli mencermati situasi zaman itu. Ada banyak orang yang mencoba mencari keuntungan dari agama dan iman kristiani. Pelayanan-pelayanan yang mereka berikan hanya sebatas menjadi sarana mencapai pemenuhan individual. Bahkan, ada orang yang dengan sengaja sok tahu tentang ajaran iman, padahal sebenarnya –dikatakan oleh Paulus- berpikiran sesat.

Fenomena zaman Paulus itu masih bisa kita jumpai saat ini. Bukanlah sebuah dongeng jika di gereja-gereja paroki tentu ada orang-orang yang katakanlah menguasai bidang tertentu. Misalnya, penguasa di bidang liturgi, harta benda atau pastoral kemasyarakatan. Gereja menjadi lahan mereka untuk mencari popularitas dan keuntungan pribadi, entah berupa materi atau donasi. Hal itu sangat menjadi batu sandungan bagi keutuhan Gereja. Sebab, Gereja sebagai persekutuan tidak dapat terbentuk jika masih ada pribadi-pribadi yang kurang mampu menghayati pengorbanan tulus tanpa pamrih. Atau, barangkali kita pernah menjadi salah satu bagian dari “para penguasa” Gereja itu??

Maka, mari kita belajar dari Injil yang menceritakan tentang ketulusan pelayanan para perempuan yang menemani perjalanan Yesus dan para murid-Nya. Para perempuan itu tidak mencari posisi atau menuntut pengakuan dari Yesus. Namun, dapat dipastikan bahwa mereka tersentuh oleh Yesus sehingga dengan penuh syukur mereka bersedia melakukan apapun untuk-Nya. Mereka persembahkan apapun yang berharga dari mereka untuk Yesus. Pelayanan yang mereka lakukan itu berdasar atas keinginan hati yang murni sehingga pada akhirnya menjadi berkat bagi siapa saja. Bagaimana dengan kita?? Apakah kita bisa meneladani para perempuan itu dalam pelayanan?? Atau, kita masih terpekur dalam tataran mencari penghidupan di Gereja??

Tekun Berbuat Kasih

Posted by admin on September 18, 2019
Posted in renungan 

Kamis, 19 September 2019

Hari Biasa XXIV

Bacaan I 1Tim 4: 12-16

Bacaan Injil Lukas 7: 36-50

Jika kemarin Injil mengajak kita untuk memiliki keterbukaan hati, hari ini ajaran yang bisa kita petik adalah tentang kebijaksanaan untuk berbuat kasih. Tindakan kasih perempuan berdosa kepada Yesus dengan cara meminyaki kaki-Nya, merupakan bukti bahwa kasih dapat memberi keselamatan kepada mereka yang melakukannya. Kendati memang, setiap perbuatan kasih tidaklah selalu diterima masyarakat secara mentah-mentah. Selalu ada oknum, pihak atau pribadi tertentu yang tidak mendukung perbuatan kasih, tetapi bahwa yang penting perbuatan kasih memberi kepuasan dan kedamaian. Perbuatan kasih yang sempurna adalah tumbuh dari hati, tanpa ada keinginan-keinginan tertentu. Orientasi kasih itu selalu tertuju kepada orang banyak, bukan malah kepada dirinya sendiri. Maka, perempuan berdosa yang meminyaki Yesus itu bisa melakukan kasih kepada Yesus secara tulus. Dan, Yesus mampu merasakan ketulusannya.

Pada zaman ini, yang mana orientasinya lebih cenderung kepada individualis dan egois, kita ditantang untuk tetap membangun kinerja sebagai pelaku kasih. Berbuat sesuatu yang baik adalah sebuah pilihan yang bijak, karena berarti mampu mengesampingkan ego dan kepentingan sendiri. Sekaligus, merupakan tanda bahwa iman kita dihidupi dalam perbuatan untuk sesama. Yesus pun pada akhirnya memberikan kasih-Nya kepada perempuan berdosa itu, yakni dengan mengampuninya. Indah sekali dirasakan betapa kasih telah menjelma menjadi roh yang membuat suasana lebih damai dan tentram.

Melalui bacaan pertama, kita bisa mengambil intisari yakni bahwa dengan berbuat kasih secara tekun, maka kita akan mendapatkan keselamatan. Kita semua sudah diberi karunia untuk mampu berbuat kasih, tetapi perbedaan setiap orang terletak pada kemampuannya untuk peka dan mengembangkan kasih itu secara cuma-cuma. Bagaimana kita harus berbuat kasih?? Sebenarnya bisa dimulai dari lingkungan terdekat. Maka, kita bisa merefleksikan apakah ketika aku mengasihi orang dalam perbuatanku, seluruh diriku mendukungnya? Artinya, hatiku juga bergembira, batinku merasa puas dan seluruh hidupku menjadi bahagia? Semoga, kita sebagai orang beriman dapat merasakan kebahagiaan sempurna ketika kita mampu berbuat kasih kepada sesama.

Translate »