Jumat, 20 September 2019

PW St. Andreas Kim Taegon, St. Paulus Chong Hasang, dkk

Bacaan I 1Tim 6: 2c-12

Bacaan Injil Lukas 8: 1-3

KH. Ahmad Dahlan pernah berpesan kepada para muridnya demikian, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah. Namun, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”. Pesan ini disampaikan beliau menjelang wafat, sehingga menjadi warisan wejangan yang dilestarikan oleh para kaum Muhammadiyah. Intinya, beliau mengajak agar orang-orang mencapai rasa memiliki kepada Muhammadiyah. Semampu mungkin, mereka harus berkorban bagi Muhammadiyah, dan jangan sampai mereka mengharapkan imbalan apapun dari Muhammadiyah. Pesan ini terasa senada dengan apa yang kita dengar dalam bacaan I yang mana Paulus memperingatkan Timotius untuk jeli mencermati situasi zaman itu. Ada banyak orang yang mencoba mencari keuntungan dari agama dan iman kristiani. Pelayanan-pelayanan yang mereka berikan hanya sebatas menjadi sarana mencapai pemenuhan individual. Bahkan, ada orang yang dengan sengaja sok tahu tentang ajaran iman, padahal sebenarnya –dikatakan oleh Paulus- berpikiran sesat.

Fenomena zaman Paulus itu masih bisa kita jumpai saat ini. Bukanlah sebuah dongeng jika di gereja-gereja paroki tentu ada orang-orang yang katakanlah menguasai bidang tertentu. Misalnya, penguasa di bidang liturgi, harta benda atau pastoral kemasyarakatan. Gereja menjadi lahan mereka untuk mencari popularitas dan keuntungan pribadi, entah berupa materi atau donasi. Hal itu sangat menjadi batu sandungan bagi keutuhan Gereja. Sebab, Gereja sebagai persekutuan tidak dapat terbentuk jika masih ada pribadi-pribadi yang kurang mampu menghayati pengorbanan tulus tanpa pamrih. Atau, barangkali kita pernah menjadi salah satu bagian dari “para penguasa” Gereja itu??

Maka, mari kita belajar dari Injil yang menceritakan tentang ketulusan pelayanan para perempuan yang menemani perjalanan Yesus dan para murid-Nya. Para perempuan itu tidak mencari posisi atau menuntut pengakuan dari Yesus. Namun, dapat dipastikan bahwa mereka tersentuh oleh Yesus sehingga dengan penuh syukur mereka bersedia melakukan apapun untuk-Nya. Mereka persembahkan apapun yang berharga dari mereka untuk Yesus. Pelayanan yang mereka lakukan itu berdasar atas keinginan hati yang murni sehingga pada akhirnya menjadi berkat bagi siapa saja. Bagaimana dengan kita?? Apakah kita bisa meneladani para perempuan itu dalam pelayanan?? Atau, kita masih terpekur dalam tataran mencari penghidupan di Gereja??