Rabu, 18 September 2019
Hari Biasa XXIV
Bacaan I 1Tim 3: 14-16
Bacaan Injil Lukas 7: 31-35
Injil hari ini mengisahkan tentang bagaimana orang-orang pada zaman Yesus hidup, sukar sekali membuka hati terhadap kedatangan-Nya. Gejala demikian berimbas pada keinginan mereka untuk senantiasa mencari cacat-cela para pewarta kebenaran, dibandingkan menerima kabar kebenaran secara sukarela. Mereka mencari alasan untuk menolak Yohanes Pembaptis yang datang membawa warta tobat. Mereka juga mencari alasan menolak Yesus yang datang, tentu dengan alasan-alasan yang coba dibuat logis. Alhasil, mereka tidak pernah paham tentang warta kebenaran, sekaligus hidup mereka juga tidak bisa berubah menuju pada kebenaran. Kenyamanan hidup telah membuat mereka susah membuat perubahan dan gerak pertobatan, sehingga merekapun menutup diri atas kedatangan Yesus.
Menarik untuk kita renungkan lebih jauh tentang tanggapan mereka itu, yakni betapa sebetulnya setiap manusia mudah memandang sesamanya secara negatif, dibandingkan memberi penghargaan dan nilai positif. Apalagi, jika orang tersebut memiliki persaingan dalam porsi tertentu, pastilah sisi negatif itu lebih kuat mendominasi. Banyak hal bisa kita lakukan untuk menyebarluaskan sisi negatif orang tertentu, misalnya melalui media sosial, isu, hasutan, dsb; yang bisa jadi tidak mengandung kebenaran secara utuh. Dan, memang sisi negatif seseorang merupakan berita yang laris untuk dikonsumsi secara publik. Kita bisa merenungkan, sejauh ini apakah kita pernah menyebarluaskan berita kebaikan dan penghargaan seseorang tertentu kepada publik? Bukankah di akun-akun sosial media milik kita -kalau sedang membahas pribadi-pribadi tertentu- lebih mudah kita berkomentar negatif daripada positif?
Apa yang disabdakan Yesus hari ini seharusnya menjadi pesan reflektif untuk kita. Artinya, kita harus memiliki keterbukaan hati dalam perjumpaan. Jangan sampai hidup kita didominasi oleh ketiadaan hasrat untuk berjumpa kepada semakin banyak orang. Karena, hanya melalui perjumpaan-lah kita akan mengalami kepuasan, kebahagiaan dan kepenuhan afektif. Maka, mari kita mengusahakan diri menjadi pribadi yang terbuka dan selalu berusaha menjadi pewarta kebenaran; bukan sekadar tukang gosip, penjual isu dan desas-desus, tetapi yang senantiasa mampu memandang setiap orang dari sisi positifnya dulu.